Bab 08

1004 Words
Laura memerhatikan hidangan di depannya yang memang enak-enak semua. Menelan salivanya kasar dan menunduk. Walau pernikahan ini pernikahan kontrak, tetap saja, Laura takut kalau dirinya akan mempermalukan dirinya sendiri dan membuat wanita paruh baya itu akan marah padanya kalau salah memakan makanan di atas meja ini. “Kenapa diam? Kau tidak mau makan?” Tanya Laisa datar. Laura menggeleng kuat. “Ah! Bukan seperti itu Bu–” “Jangan panggil saya Ibu! Saya tidak suka dipanggil Ibu. Panggil Mama. Karena sebentar lagi kau menjadi istri anakku yang bajiingan ini. Aku harap kau bisa menjadi menantu yang baik dan tidak hanya mengharap harta anakku saja. Karena kau hanya seorang pelayan bukan?” Laura terdiam. Tangannya terkepal dibawah meja, memang dirinya diterima oleh wanita paruh baya itu. Tapi kata hinaan juga terdengar oleh dirinya dari mulut wanita paruh baya itu membuat dirinya sakit hati mendengarnya. Namun harus sabar. Laura tidak punya hak untuk marah di sini. Laura mengangguk. “Iya, M-ma. Saya m-mencintai Regan. Tidak mengharapkan hartanya.” Ucap Laura terbata. Regan meremas paha Laura kuat. Menoleh ke samping pada Laura, memperingatkan Laura untuk tidak gugup menjawab pertanyaan ibunya. Laura mengangguk kaku. Laisa menaikan sebelah alisnya menatap interaksi Regan dan Laura. Laisa mendengkus sinis, dia yang terpenting putranya mendapatkan istri dan memberinya cucu. *** Laisa menatap Laura dengan ekspresi datar, mencoba membaca lebih dalam ke dalam gadis yang tampak gugup dan tidak percaya diri di depannya. "Jadi, kapan kalian berdua berencana menikah?" tanya Laisa, nadanya datar namun sarat akan otoritas seorang ibu yang ingin memastikan semuanya berjalan sesuai keinginannya. Laura terperangah mendengar pertanyaan itu. Jantungnya seakan melompat ke tenggorokan, dan untuk beberapa saat, ia hanya bisa memandang kosong ke arah Laisa. Dengan gugup, ia melirik Regan, berharap pria itu mengambil alih situasi. Regan, yang duduk dengan tenang di sebelahnya, hanya tersenyum tipis sebelum menjawab, "Kami akan mengatur waktu yang tepat, Ma. Tapi sebelumnya, aku akan menemui ayah Laura untuk meminta restunya. Aku ingin memastikan semuanya sesuai tradisi." Kata-kata Regan terdengar begitu tenang dan penuh keyakinan, seperti seseorang yang selalu tahu apa yang harus dilakukan. Laisa mengangguk kecil, seolah setuju dengan langkah itu. Namun, raut wajahnya tidak menunjukkan antusiasme. "Kalau begitu, aku akan ikut denganmu nanti. Aku ingin melihat rumah calon besan kita," ujar Laisa tanpa ragu. Laura membeku. Kalimat itu seperti pukulan keras di dadanya. Membawa keluarga kaya raya ini ke rumahnya? Rumahnya yang kecil, reot, dan berantakan? Rumah dengan dinding yang penuh retakan dan lantai yang mulai berlubang? Ia merasa mustahil Laisa tidak akan merasa jijik, atau lebih buruk lagi, mengalami serangan jantung karena syok melihat betapa kontrasnya kehidupan mereka. Regan tetap tenang, meski jelas ia bisa merasakan ketegangan Laura. "Terserah Mama saja," jawab Regan akhirnya, memberikan ruang kepada ibunya untuk memutuskan. Laura menelan saliva. Tubuhnya terasa semakin berat oleh beban situasi ini. Seolah belum cukup sulit, Laisa kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh kendali. "Kalau begitu, pernikahan seperti apa yang kau inginkan, Laura? Pesta seperti apa yang kau bayangkan? Konsepnya?" Pertanyaan itu seperti perangkap. Laura merasa tidak pantas untuk memiliki opini, apalagi tentang sesuatu yang sebesar pesta pernikahan. Dia tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. "Saya... serahkan semuanya pada Regan saja, Ma," jawabnya pelan, hampir berbisik. Laisa mengangkat alis, menatap Regan seolah meminta jawaban darinya. Regan berdeham pelan, lalu dengan suara rendah namun mantap, ia berkata, "Tema putih. Aku rasa itu yang terbaik. Bukankah pernikahan itu sakral? Tema putih melambangkan kesucian dan kesakralan, cocok untuk hari yang sepenting itu." Kata-katanya membuat Laisa sedikit mengangguk, tampak setuju. Namun yang lebih mengejutkan adalah reaksi Laura. Dalam hatinya, ia tak bisa menahan decak kagum. Hebat sekali pria ini menjawab pertanyaan seperti itu dengan begitu tenang dan sempurna, pikirnya. Dia tahu persis bagaimana membuat semuanya terlihat mudah. Namun, di balik kekagumannya, kegelisahan Laura tidak berkurang. Ia tahu, perjalanan ke depan tidak akan mudah. Membawa keluarga ini ke rumahnya yang sederhana dan mempersiapkan diri untuk hidup sebagai istri dari pria seperti Regan adalah tantangan besar yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya. Laisa mengangguk pelan, tampak setuju dengan tema pernikahan yang disebutkan oleh Regan. Namun, ekspresinya masih datar, penuh wibawa seorang ibu yang selalu ingin memastikan segalanya berjalan sempurna. Ia menatap putranya dengan tatapan tajam, seperti hendak menekankan sesuatu. "Regan," ujar Laisa dengan nada tegas namun tenang. "Ingat, jangan main-main dengan pernikahan ini. Pernikahan adalah tanggung jawab besar. Dan satu hal lagi…" Laisa berhenti sejenak, tatapannya beralih pada Laura, lalu kembali ke Regan. "Aku ingin segera melihat cucu darimu. Jangan buang waktu." Laura tersentak mendengar itu. Wajahnya seketika memerah, dan ia menunduk, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ucapan Laisa terasa seperti palu yang menghantam kepalanya. Ia bahkan belum benar-benar memahami bagaimana hubungan pernikahan kontrak ini akan berjalan, apalagi membayangkan hal sebesar memiliki anak. Walau itu salah satu syarat dari Regan. Regan mendengkus pelan, nyaris tidak terdengar, tetapi cukup jelas untuk Laura yang duduk di sebelahnya. Ia terlihat jengah dengan tuntutan ibunya, tetapi seperti biasa, wajahnya tetap tenang. Dengan senyuman yang jelas tampak dipaksakan, ia menjawab, "Baiklah, Ma. Aku akan memberikan cucu secepatnya. Kau tidak perlu khawatir." Laisa mengangguk puas, meskipun jelas dia tidak sepenuhnya percaya pada janji itu. "Bagus kalau begitu," ujarnya singkat. "Aku hanya ingin memastikan keluarga ini tetap berjalan dengan baik. Laura," ucapnya tiba-tiba, mengalihkan perhatian pada gadis muda yang masih menunduk. "Kau siap untuk itu, bukan?" Laura tersentak lagi, merasa tubuhnya hampir membeku. "Sa-saya..." Ia tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. "Saya akan mencoba yang terbaik," akhirnya ia berkata dengan suara kecil, berusaha terdengar meyakinkan meski hatinya penuh keraguan. Laisa mengamati Laura sejenak sebelum akhirnya menghela napas, seolah masih belum sepenuhnya yakin dengan gadis itu. "Baiklah. Kita lihat saja nanti. Aku akan pergi dulu. Banyak yang harus kupersiapkan untuk pesta kalian," katanya sambil bangkit dari tempat duduknya. "Regan, pastikan semuanya berjalan sesuai rencana," tambahnya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Laura dan Regan dalam keheningan yang canggung. Laura tahu dia tidak akan bisa lari dari sini. Dia akan terjebak dalam pernikahan kontrak dan memberikan pewaris untuk keluarga ini. Seandainya Laura banyak uang, pasti tidak akan ada yang namanya pernikahan kontrak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD