Bab 10

1010 Words
Regan melarang Laura dan ayahnya untuk pulang ke rumah kumuh mereka itu. “Kalian tinggal di apartemen sini saja. Karena aku tidak bisa ke rumah kumuh itu menemui kalian.” Ucapan Regan barusan membuat Darma dan Laura saling melihat satu sama lain mereka ingin menolak. “Saya tidak menerima penolakan! Akh! Untuk Pak Darma, anda bisa bekerja di perusahaan saudara saya menjadi OB tidak perlu menjadi kuli angkut lagi di pasar.” Ucap Regan tidak mau dibantah. Darma hanya bisa mengangguk dan melihat pada putrinya yang mau protes namun Darma menggeleng pelan, orang kaya tidak akan bisa mereka lawan. Lebih baik diam saja. “Dan … saya mau pinjam putri anda sebentar Pak Darma. Saya mau mengajaknya ke acara pesta teman saya.” Ucap Regan menarik pinggang Laura mendekat padanya. Sehingga Laura sekarang dipeluk oleh Regan. Darma mengangguk tapi setelahnya tersenyum. “Kalian jangan terlalu sering keluar bersama. Kalian mau menikah sebentar lagi. Pamali, karena darah calon pengantin itu manis. Lebih baik menghabiskan waktu di rumah saja.” Regan berdecak pelan. “Ck! Anda masih percaya dengan hal mistis itu? Hal yang tidak berguna untuk dipercayai Pak Darma. Tidak ada yang namanya semua itu. Sudahlah! Memang susah berbicara dengan orang kampung.” Regan mengibaskan tangan dan membawa Laura keluar dari dalam apartemen. *** Regan menatap Laura keluar dari ruang ganti di dalam mall mengenakan gaun merah sejengkal dari pahanya. Gaun itu memeluk tubuh Laura dengan sempurna, memperlihatkan kulitnya yang putih dan mulus. Mata Regan berbinar-binar, senyum kecil terukir di wajahnya. Dengan spontan, ia bersiul pelan, memancarkan rasa kagum yang tak bisa ia sembunyikan. "Wow, Laura. Kamu cantik sekali," ucap Regan dengan suara rendah namun penuh kekaguman. Laura, yang awalnya merasa sedikit canggung, hanya tersenyum tipis. Ia memandangi bayangannya di cermin, memastikan gaun itu benar-benar cocok untuk pesta yang akan mereka hadiri nanti malam. Tapi sebelum ia bisa berlama-lama merenung, Regan sudah melangkah mendekat. Ia menarik pinggang Laura dengan lembut, memeluknya erat, membuat Laura sedikit tersentak. "Ini sempurna," bisiknya di telinga Laura sambil mengusap pipinya pelan. Kehangatan dari tangan Regan terasa jelas di kulitnya, membuat Laura memejamkan mata untuk sesaat. "Regan, jangan di sini," bisik Laura sambil mencoba menjauh, tapi Regan tak melepaskannya. "Kenapa? Kamu malu? Kamu tahu, Laura, aku nggak akan pernah malu membawa kamu ke mana pun," ucap Regan dengan nada yakin. Ia kemudian menambahkan, "Apalagi ke pesta teman-temanku. Kamu terlalu cantik untuk disembunyikan." Mendengar kata-kata itu, Laura merasakan pipinya memerah. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya. Bukan karena ia tak terbiasa dengan pujian, tetapi ada sesuatu dalam cara Regan mengatakan itu yang membuatnya merasa dihargai dan istimewa. Setelah membayar gaun itu, mereka meninggalkan mall. Malam itu, Laura berdiri di depan cermin di kamar hotel disewa Regan. Ia mengenakan gaun merah yang tadi dibeli, dipadukan dengan sepasang sepatu hak tinggi yang mengkilap. Rambutnya ia tata dengan sederhana, tetapi cukup untuk memberikan kesan elegan. Laura memandang dirinya sendiri dengan cemas. "Aku nggak yakin ini ide bagus," gumamnya, tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, pintu kamar terbuka. Regan muncul, mengenakan setelan jas yang rapi. Ia memandang Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum. "Kamu nggak perlu ragu, Laura. Kamu sempurna," katanya. Laura tersenyum kecil, meski rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang. Ketika mereka tiba di pesta yang dimaksud Regan, Laura mendapati dirinya berdiri di depan salah satu klub malam yang mewah. Suara musik berdentum dari dalam, lampu warna-warni menyala terang di pintu masuk. Laura terdiam sejenak, memandangi suasana itu dengan perasaan campur aduk. Bagian dari dirinya merasa tak asing dengan tempat seperti ini. Ia pernah bekerja di klub malam sebelum memutuskan berhenti demi memulai hidup baru bersama Regan. "Ayo, Laura," ajak Regan sambil menggenggam tangannya, membawanya masuk ke dalam klub. Suasana di dalam begitu ramai. Orang-orang tertawa, berdansa, dan berbincang di meja-meja. Regan membawa Laura ke arah seorang pria yang duduk di salah satu sofa VIP. Pria itu berpakaian santai, tetapi aura berwibawa terpancar darinya. "Roberto!" sapa Regan dengan hangat. Ia menjulurkan tangan, dan mereka berjabat dengan cara khas lelaki, penuh semangat. Roberto memandang Regan dengan senyum lebar, tetapi matanya segera tertuju pada Laura. Pandangannya penuh rasa ingin tahu. "Siapa ini?" tanya Roberto sambil mengangkat alis, menatap Laura dari kepala hingga kaki. Regan tertawa kecil, kemudian memeluk bahu Laura dengan bangga. "Ini Laura, calon istriku." Roberto tersenyum tipis, tetapi ada kilatan aneh di matanya. "Calon istri, ya? Beruntung sekali kamu, Regan. Dia cantik sekali." Laura hanya tersenyum sopan, merasa sedikit canggung dengan cara Roberto memandangnya. Ia merasa seperti sedang dinilai, meskipun ia tahu Regan ada di sisinya. Malam itu berlalu dengan cepat. Regan sibuk berbicara dengan teman-temannya, sementara Laura lebih banyak diam, mengamati suasana di sekitarnya. Ia tidak menyangka dirinya akan kembali ke tempat seperti ini, meskipun kali ini sebagai tamu, bukan pelayan. Ia merasa seperti sedang melawan bayangan masa lalunya sendiri. Ketika pesta selesai, mereka berjalan keluar klub. Regan terlihat senang, tetapi Laura masih tenggelam dalam pikirannya. "Kenapa diam saja?" tanya Regan sambil memandangnya. Laura menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Cuma... aku masih belum terbiasa dengan semua ini." Regan menghentikan langkahnya, menggenggam kedua tangan Laura. "Dengar, Laura. Kamu nggak perlu khawatir. Masa lalumu nggak penting lagi. Yang penting sekarang adalah kamu dan aku, masa depan kita. Aku menjadi suami kontrakmu." “Laura, aku sangat ingin menyentuh dirimu sekarang. Ahh… kau tidak perlu takut sayang, aku tidak akan memasukan penisku ke dalam vaginamu yang perawan itu. Kau hanya perlu untuk mengulum p***s ku sampai aku merasakan kepuasan. Dan menumpahkan cairanku di dalam mulutmu itu sayang.” Ucap Regan mengusap lembut bibir Laura yang sedikit terbuka. Laura mendengar hal itu menelan salivanya. Dia sungguh takut dan tidak pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya dengan lelaki manapun. Bagaimana bisa…? “Kau tidak perlu takut Laura. Kau harus belajar untuk melayani diriku. Karena sebentar lagi kita akan menikah, dan kamu harus tahu bagaimana caranya memuaskan seorang lelaki.” Regan menuntun Laura ke kamar VVIP dalam klub malam. Yang tersedia ranjang empuk. Regan mendorong Laura ke atas ranjang, dan melihat gaun merah Laura tersingkap menampilkan celana dalam Laura berwarna merah. Sial! Hanya melihat itu saja membuat kejantanan Regan menjadi tegang!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD