1. Ketika Jerry Jatuh Cinta
"Ran! Kurasa … aku beneran menyukainya,” ucap Jerry, membuat tangan Rania berhenti mengusap wajah dengan pembersih.
Wanita itu menolehkan kepala pada ranjang sebelah yang ditempati oleh Jerry; suaminya.
“Maksud kamu … gadis bernama Hani itu?” jawab Rania menebak. Pasalnya, sebelum malam ini Jerry pernah bercerita padanya tentang kehadiran sosok gadis yang menarik perhatian seorang Jery Soebiyanto.
“Ya. Siapa lagi memangnya,” jawab Jerry lalu beranjak bangun dari rebahannya. Menolehkan kepala dan samar melihat pada wanita yang sudah hampir dua tahun lalu dinikahinya, sedang duduk di depan meja rias. Posisi keduanya hanya dipisahkan oleh sebuah partisi pembatas ruangan yang menghubungkan antara kamar utama di mana terdapat sebuah ranjang utama yang cukup luas jika untuk ditiduri berdua. Namun sayangnya, pasangan suami istri tersebut memilih untuk tidur terpisah di ranjang yang berbeda meski keduanya masih berada di satu kamar yang sama.
Semua terjadi atas kesepakatan bersama. Tidak ada paksaan dan tidak ada yang saling dirugikan. Benar-benar murni atas kehendak masing-masing yang ingin menjalani kehidupan rumah tangga seperti itu, tanpa adanya ikut campur dari kedua belah pihak atas kehidupan masing-masing.
Pernikahan yang didasari atas perjodohan dan berlatar belakang pernikahan bisnis, membuat Jerry dan Rania harus rela menjadi korban keegoisan keluarga mereka. Beruntung keduanya sudah sama-sama saling mengenal baik sebelumnya, sehingga di saat keduanya harus menikah, maka tidak sulit bagi keduanya untuk berpura-pura bahagia dengan pernikahan mereka. Dan lagi, mereka terlalu keras kepala untuk saling membuka diri dan belajar menumbuhkan benih cinta. Rania dengan segala ambisinya untuk menjadi CEO wanita terhebat negeri ini. Pun halnya dengan Jerry yang mendapat tekanan dari papanya untuk membangun jaringan bisnis di semua lini usaha sehingga di dalam otak mereka hanya bisnis dan kerjaan saja. Mengesampingkan kehidupan pribadi.
“Kau yakin?”
Anggukan kepala Jerry tak terlihat oleh Rania karena wanita itu kembali fokus pada kegiatan yang sempat terhenti tadi. Aktfitas malam yang selalu Rania lakukan menjelang tidur malam. Membersihkan wajah dengan mengaplikasikan skincare malamnya.
“Iya. Aku sangat yakin. Aku sungguhan jatuh cinta padanya. Dia yang tak hanya cantik wajahnya tapi juga sederhana.” Bisa-bisanya Jerry malah memuji wanita lain di depan istrinya.
Rania hanya mencebikkan bibirnya dan hal itu juga tak bisa Jerry lihat. Posisi mereka yang terhalang partisi menyulitkan keduanya untuk bisa saling pandang dan hanya saling bersahut-sahutan suara saja. Ya, semenjak menikah dan mereka memutuskan tinggal bersama, memang Jerry dan Rania tidur di satu kamar yang sama demi mengelabuhi keluarga agar tidak ada yang tahu tentang bobroknya rumah tangga mereka.
Meski demikian keduanya tidak lantas tidur di satu ranjang yang sama, melainkan memiliki ranjang masing-masing. Ranjang utama yang cukup luas ditiduri oleh Rania. Lalu Jerry memilih menempatkan satu ranjang lagi yang ukurannya lebih kecil di dalam ruang kerjanya. Ruang kerja yang terdapat di dalam kamar dan hanya disekat oleh sebuah partisi yang juga berfungsi sebagai tempat televisi.
“Jadi … apa rencanamu setelah ini?”
Hening untuk sejenak karena sepertinya Jerry tengah berpikir hingga hela napas panjang terdengar dan itu Jerry yang melakukannya. “Entahlah. Mungkin aku akan menikahinya.”
Sontak Rania menoleh kembali menatap tak percaya pada ranjang sebelah yang mana Jerry terlihat tenang setelah mengatakan hal tadi.
“Kamu jangan bercanda, Mas!”
“Kenapa? Apa kamu keberatan jika aku menikah lagi?”
“Tentu saja tidak. Kamu berhak mengejar kebahagiaanmu dan aku tidak akan menghalangi niatmu jika itu ingin menikah dengan wanita pilihan hatimu.”
“Thank you, Ran.”
“Tapi, Mas. Bagaimana dengan keluarga kita?”
“Itu … aku yang akan mengurusnya.”
“Jadi kamu sudah siap mengatakan pada mereka jika selama ini kita hanya berpura-pura bahagia dalam pernikahan kita?”
“Entahlah. Tapi aku tidak pura-pura jika mengatakan aku bahagia. Toh, kita berdua juga tidak ada masalah, kan? Kita juga tidak pernah saling menyakiti satu sama lain. Apa kamu merasakan hal yang sama denganku?”
“Aku tidak tahu dan jangan tanyakan hal ambigu seperti itu lagi karena aku tidak akan pernah tau jawabannya.”
Jerry terkekeh seolah mengejek pada istrinya. “Ya … ya. Kamu kan wanita dan yang diotak kamu itu hanya ada bisnis dan bisnis. Dan aku paham betul yang membuatmu bahagia bukanlah manusia tapi pekerjaan.”
Rania diam karena apa yang Jerry bicarakan tidak salah. Tapi juga tidak sepenuhnya benar. Bagaimana pun dia tetaplah wanita yang ingin hidup bahagia dengan pasangannya. Tapi entah mengapa hanya untuk mencapai kebahagiaan dengan seorang pasangan sangat sulit ia wujudkan. Berbeda dengan perasaan bahagia ketika dia bisa menang tender dan mendapatkan keuntungan besar. Rasa bahagia akan membuncah tanpa diminta. Entahlah, Rania sendiri juga kadang heran apakah dia ada kelainan sampai-sampai tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Ah, dia merasa kalah dengan Jerry yang sudah menemukan tambatan hatinya dan sosok wanita yang telah sukses membuat pria itu jatuh cinta.
“Ran!” Panggilan Jerry menyentak lamunan Rania.
“Apa!” jawabnya ketus.
“Kamu baik-baik saja, kan?”
“Tentu aku baik-baik saja. Kenapa kau tanya begitu?”
“Habisnya kau diam saja. Aku hanya takut jika kau sebenarnya tidak rela jika aku menikah lagi.”
“Ngimpi saja sono! Mana ada yang namanya Rania sampai tidak rela membiarkan kamu menikah lagi. Memangnya kamu siapa, Mas? Hanya suami di atas kertas saja.”
Hati Jerry mencelos mendengar jawaban istrinya. “Iya kau benar. Ah, sudahlah, kita bicarakan lagi hal ini lain hari. Selamat malam dan selamat tidur, istriku!”
“Hem!” Ada kepahitan dari jawaban singkat Rania ketika mendengar Jerry menyebut kata istriku.
***
Esok paginya Rania bangun dengan badan yang terasa sakit dan hati yang tidak enak. Efek dari tidurnya yang kurang nyenyak. Entah apa yang membuatnya sampai kepikiran hingga membuat jam tidurnya berantakan. Menolehkan kepala pada ranjang sebelah yang partisinya berupa kisi-kisi hingga Rania bisa memperhatikan sosok lelaki yang biasanya tidur di sana. Tapi pagi ini tak terlihat lagi. Rania tebak Jerry tengah mandi dan … yap! Benar sekali dugaannya karena tak lama, pria itu sudah keluar dari dalam walking kloset, sudah dengan penampilannya yang rapi. Kemeja dan celana kerja yang melekat pas di tubuh tegab pria itu.
“Sudah bangun kamu? Sejak tadi aku enggak bangunin kamu karena kupikir kamu sengaja ingin bangun lebih siang. Mungkin kamu kecapekan sampai tidurmu lasak sekali semalam.”
“Benarkah?” tanya Rania kurang percaya akan ucapan suaminya.
“Ya, lihat saja bagaimana berantakannya ranjang yang kamu tiduri.”
Benar saja. Rania bisa melihat bagaimana seprei yang kusut dan selimut yang terbang entah ke mana. Mengacak rambutnya frustasi dan gegas beranjak turun dari atas ranjang.
Wanita itu menuju kamar mandi. Dan baru saja tangannya hendak membuka pintunya, panggilan dari Jerry menolehkan kepalanya.
“Ran!”
“Apa?”
“Hari ini aku akan melamar Hani. Doakan semua lancar, ya? Aku janji akan mempertanggung jawabkan semua yang aku lakukan ini di depan keluarga kita.”
Rania tak sanggup berkata-kata dan hanya anggukan kepala yang dia berikan sebelum benar-benar pergi masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Jerry dengan senyuman yang sulit diartikan.