8. Narendra's Touch

1004 Words
Di balik selimut, Camelia melihat dia masih lengkap memakai piyamanya, lalu apa yang Narendra maksudkan? Ia menatap suaminya dengan penuh pertanyaan. "Kenapa kamu terlihat begitu terkejut? Kemarin kan hari pernikahan kita, Sayang." Narendra menaruh gelas kopinya dan mendekat pada Camelia. "Apa kamu tidak mau melakukannya denganku?" Camelia tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya, mengusir kegugupannya. Kedua tangannya terulur dan melingkarkannya pada leher Narendra. "Kenapa aku tidak mau melakukannya denganmu? Tentu saja aku mau, kamu kan suamiku." Dalam hatinya Camelia berecih. Sebenarnya ia tidak mau memberikan hal paling berharganya pada Narendra, namun tak mau terlihat begitu kentara jika dia menolak. Narendra memajukan wajahnya dan bibirnya menyentuh bibir Camelia. Dia memejamkan mata, menikmatinya. Tapi tidak dengan Camelia yang sedikit terkejut, berusaha membalas dan akhirnya saling memagut. Pelan tapi pasti, Narendra perlahan mendorong Camelia hingga terbaring. Sampai oksigen di antara mereka berdua hampir habis, Narendra melepaskan ciumannya. Dia menatap istrinya yang kini di bawah kukungannya. Bukannya melanjutkan, Narendra malah menarik diri dan terduduk. Melihat suaminya yang menghentikan aktivitas mereka, Camelia merasa sedikit kecewa. Sentuhan Narendra begitu memabukkan sampai Camelia tidak bisa menolak, dan bahkan turut menikmatinya. "Kenapa, Rendra?" "Masih terlalu pagi untuk melakukannya," jawab Narendra, seraya tangannya mengusap pipi Camelia. "Mandilah. Aku ada sedikit pekerjaan." Dia turun dari tempat tidur dan mengambil ipadnya, kemudian menjauh dari Camelia. Camelia memandang suaminya yang berjalan menjauh dengan rasa kesal. Apa dia kecewa karena Narendra tidak melanjutkan sentuhannya? Camelia segera menggelengkan kepalanya, menyadarkan dirinya, bahkan menampar pelan pipinya sendiri. Mengabaikan rasa kesal yang hinggap, Camelia berjalan menuju kamar mandi dan membasuh tubuhnya menggunakan air shower. Mendinginkan pikirannya agar bisa berpikir jernih. Setelah ini dia harus segera melakukan rencana selanjutnya, mencari bukti. "Dimana aku dapat menemukan bukti? Mungkin saja ada di rumah Samuel. Aku hari menemukannya bagaimanapun caranya." Camelia bergumam sendiri, seraya membasuh rambutnya yang masih berbusa karena shampoo yang ia gunakan. "Rendra, aku lapar." Camelia menghampiri suaminya masih sibuk dengan ipadnya. "Oke, kita sarapan." Narendra dengan cepat menghentikan pekerjaannya dan fokus pada istrinya. "Apa yang sedang kamu kerjakan?" selidik Camelia. "Sebuah proyek besar, Camelia. Aku tidak boleh gagal, ayahku menaruh harapan besar padaku." Narendra begitu terlihat bersemangat, sedangkan Camelia hanya tersenyum tipis. Haruskah aku hancurkan proyek besarmu ini, Narendra? batin Camelia. *** Camelia bersikeras tinggal di rumah orang tua Narendra, meski suaminya telah menyiapkan rumah untuk mereka berdua. Dia beralasan ingin dekat dengan orang tua Narendra, karena sudah lama tak memiliki figur orang tua. Sebenarnya sang suami sedikit keberatan, karena dia ingin hidup mandiri, lebih tepatnya ingin mencoba hidup hanya berdua dengan Camelia. Bukan, sebenarnya Narendra ingin bebas melakukan apa saja jika di rumah mereka sendiri. Narendra sedang menunggu istrinya di ruang tamu, sedangkan Camelia sedang berada di kamarnya mengambil barang-barang yang ia perlukan. Terdengar pintu kamarnya terbuka lalu tertutup. Camelia pun menoleh, dan bibinya berdiri disana. "Ada apa lagi, Bibi Rachel?" Dia sebenarnya malas beradu argumen lagi dengan Rachel. "Aku hanya mau mengucapkan selamat atas pernikahannmu." Rachel maju beberapa langkah. "Dimana kamu dan Narendra akan tinggal?" tanyanya. Camelia memutar bolanya malas dan menyahut. "Kenapa Bibi ingin tahu?" "Camelia!" Nada Rachel meninggi, karena keponakannya itu sama sekali tidak menghormatinya sebagai adik kandung ayahnya. Camelia menegakkan badannya, dia melangkah mendekati Rachel. "Kenapa, Bibi? Bukankah sudah aku katakan jangan ganggu rencanaku?!" "Tapi--" "Besok aku harap Bibi Rachel siapkan dokumen penyerahan perusahaan untukku!" titah Camelia. "Aku sudah cukup bersabar selama hampir 13 tahun." Setelah mengucapkan itu, Camelia menarik kopernya dan meninggalkan Rachel begitu saja. Mata Rachel terlihat memanas menahan tangis. Hubungannya dengan keponakannya itu memang tidak begitu baik sejak dulu. Apalagi setelah orang tua Camelia meninggal, Camelia menjadi gadis yang sulit diatur. "Ayo, kita pergi Rendra!" Camelia menarik tangan suaminya untuk segera pergi. "Aku belum berpamitan dengan Bibimu." Narendra menahan tangan Camelia. Rachel terlihat menuruni tangga, seperti biasa ia memberikan tatapan tidak suka pada Narendra. "Bibi Rachel, aku pamit dulu. Bibi tidak usah khawatir, aku akan menjaga Camelia." Narendra berkata ramah, sedangkan yang diajak bicara sama sekali tidak menanggapi. Camelia menatap Rachel dengan tatapan malas. "Sudahlah, Rendra. Kita pergi saja!" Dia segera menarik Narendra dan tidak mempedulikan Rachel. Di dalam mobil, Camelia terlihat kesal dan hanya diam saja. Narendra tahu pasti istrinya dan Rachel bertengkar lagi. Dia juga tidak mengerti kenapa Rachel tidak menyukainya, tapi dia juga tidak begitu peduli. Narendra mencintai Camelia, dan tidak perlu izin orang lain untuk itu. Selama Camelia di sisinya, Narendra merasa semuanya akan baik-baik saja. "Kamu bertengkar lagi dengan Bibi Rachel?" tanya Narendra, mengusir keheningan di antara mereka berdua. Camelia memasang wajah kesal. "Ya, seperti biasa. Dia terlalu cerewet." "Tapi bagaimanapun dia bibimu, Camelia. Bibi Rachel merawatmu selama ini kan? Jangan terlalu keras padanya, aku lihat dia sepertinya menangis." Narendra melihat sisa-sisa air di mata Rachel saat berpamitan. "Pasti Bibi Rachel sangat menyayangimu," lanjutnya. Camelia berdecak, menyanggah perkataan suaminya. "Aku selama ini mengurus diriku sendiri, Rendra." Tak mau melanjutkan perdebatan mereka, Narendra pun mengangguk. "Aku tahu kamu gadis yang mandiri." *** "Camelia, aku senang sekali kamu mau tinggal disini." Angelina memeluk menantu perempuannya singkat. "Jadi ada teman untuk memasak dan berbelanja," lanjutnya. "Ayah juga senang, karena akhirnya mendapatkan anak perempuan. Dan anak itu anak dari sahabatku sendiri," imbuh Samuel. Camelia hanya tersenyum pada kedua orang tua Narendra. "Aku istirahat dulu, Ibu, Ayah." Dia mengangguk sopan. "Ayo, kita ke kamar!" ajak Narendra, seraya membawakan koper milik istrinya. "Pengantin baru tidak sabar ke kamar, Bu!" bisik Samuel pada Angelina, namun masih terdengar oleh Camelia dan Zayn. "Ayah, sirik saja!" Narendra menjulurkan lidahnya, meledek sang Ayah. Kamar milik Narendra begitu luas, ranjang berukuran king size dengan dekorasi simple di d******i berwarna cokelat muda dan terlihat rapih. "Ini kamarmu?" tanya Camelia heran. "Iya, kenapa?" "Aku tidak menyangka kamar seorang pria begitu rapih seperti ini," kekeh Camelia, seraya mendudukan diri di atas ranjang. "Aku tidak ada waktu untuk membuatnya berantakan, Camelia." Narendra mendekati Camelia, dan duduk di samping istrinya. "Tapi sepertinya mulai hari ini, kamar ini akan selalu berantakan." Camelia yang sedang memindai ruangan dengan pandangannya pun menoleh pada Narendra. "Maksudmu?" Narendra memajukan wajahnya hingga tinggal beberapa sentimeter dari wajah Camelia. "Kamu benar-benar tidak tahu apa maksudku, Camelia?" tanya Narendra, dengan setengah berbisik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD