4. Being Crazy

1167 Words
Alis Camelia bertaut. "Berbeda bagaimana?" "Tentu saja jauh lebih cantik." Camelia pun tertawa mendengar godaan Narendra. Dia memang paham betul calon suaminya itu suka bergurau. Mudah baginya mendekati pria yang mudah bergaul seperti Narendra. Berbeda dengan Camelia, dia tak mengingat Narendra dengan baik. Dalam memorinya tidak terputar pertemuannya saat kecil dengan pria yang kini berstatus calon suaminya itu. "Kamu juga jauh lebih tampan," puji Camelia. Dia tidak bohong mengenai ketampanan Narendra. "Pria tampan ini calon suamimu." Lagi-lagi Camelia tertawa. Dia memang banyak tertawa selama bersama Narendra daripada Nial. Karena memang Narendra dan Nial berbeda. "Aku menyesal ...." "Menyesal kenapa, Narendra?" Camelia bertanya lagi, meski sudah tahu jika pria di depannya akan menggombal lagi. "Aku menyesal baru bertemu denganmu lagi sekarang. Kenapa tidak dari dulu? Kita bisa lebih awal menjalin hubungan." Camelia malah memukul ringan pundak Narendra. "Aku kira kenapa! Kamu membuatku takut!" Giliran Narendra yang tertawa berhasil menggoda Camelia. "Kenapa? Kamu takut aku menyesal karena apa?" Tentu saja Camelia takut jika Narendra menyesal telah melamarnya, atau mungkin Narendra sudah tahu rencana Camelia mendekatinya. Ternyata pria beralis tebal itu hanya menggodanya dan bergurau. "Aku takut kamu menyesal telah mengenalku." "Hey, tentu saja tidak. Bahkan aku sangat bahagia!" "Benarkah?" tanya Camelia berbinar. Narendra mengangguk mantap, dan itu membuat Camelia kembali tersenyum. 'Berbahagialah dulu, Narendra. Setelah kita menikah, aku akan mulai melancarkan rencanaku membuatmu terluka.' Camelia membatin. Selanjutnya hanya ada canda tawa yang berderai dari bibir Narendra dan Camelia. Mereka benar-benar seperti pasangan yang berbahagia, namun yang berbahagia sesungguhnya hanyalah Narendra. Pria itu tulus mencintai Camelia, tanpa ia sadari calon istrinya tak menaruh hati sama sekali padanya. "Aku benci jika hari semakin malam." Lagi-lagi ucapan Narendra membuat Camelia keheranan. Gadis di hadapannya itu hanya mengangkat satu alisnya tanda ia tak mengerti maksud kekasihnya. "Aku benci karena itu tandanya aku akan berpisah denganmu." Narendra melanjutkan. Sontak hal itu membuat Camelia mencubit lengan Narendra dengan gemas sampai pria itu meringis. "Auh, sakit Camelia." "Berhenti menggodaku, Rendra!" Camelia mengerucutkan bibirnya sebal. "Aku penasaran berapa gadis yang kamu goda sebelum aku?" Camelia menyipitkan matanya seraya mendekatkan wajahnya pada Narendra, mencoba menyelidiki berapa banyak wanita yang berhasil kekasihnya itu taklukan dengan rayuannya. "Oh, astaga. Aku bukan pria seperti itu, Camelia." Narendra berdehem menghilangkan kegugupannya. "Aku hanya menggodamu." Camelia memutar bola matanya tak percaya, lebih tepatnya sangsi jika pria setampan dan mudah bergaul seperti Narendra tidak pernah menggoda wanita selain dirinya. Melihat hal itu Narendra mengerti bahwa Camelia meragukan perkataannya. "Kamu tidak percaya padaku?" Narendra menyipitkan matanya, tahu jika Camelia meragukannya perkataannya. "Ya, ya, aku percaya padamu." Camelia menjawab seadanya. "Aku tidak sabar kita menikah dan tinggal satu atap. Jadi aku tidak perlu mengantarmu pulang, bahkan mungkin kita tidak perlu kemana-mana." Narendra mengerlingkan matanya pada Camelia yang sedang minum, dan itu membuat Camelia tersedak. "Sudah ku bilang berhenti menggodaku, Narendra Devanka!" protes Camelia, yang membuat Narendra makin tergelak puas. *** Camelia sampai di rumah dengan terus tersenyum seraya melihat cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Ya, cincin pemberian Narendra yang baru saja melamarnya. "Camelia, ada apa denganmu?" Sadar dengan apa yang sedang ia lakukan, Camelia segera menarik tangannya dan menyembunyikannya di belakang badannya. Tiba-tiba Rachel muncul dan bertanya kenapa Camelia tersenyum-senyum sendiri. "Tidak apa-apa, Bibi." Melihat gelagat aneh dari keponakannya, Rachel mendekat dan berjalan memutari Camelia. Dia menarik tangan kanan Camelia saat menyadari ada cincin yang tersemat di jari manis Camelia. "Apa ini?" selidik Rachel. "Cincin." Camelia menjawab datar. "Bibi tahu ini cincin." Rachel menarik napas gusar. "Apa ini dari Narendra? Kamu begitu bahagia mendapat cincin darinya sampai tak sadar senyum-senyum seorang diri?!" Nada Rachel meninggi. "Ayolah, Bibi Rachel. Aku hanya melihat cincin ini. Kapan aku senyum-senyum sendiri? Memangnya aku tidak waras?" elak Camelia. "Kamu memang tidak waras sejak merencanakan balas dendam yang tak masuk akal! Kamu juga sudah tidak waras setelah memutuskan untuk menikah dengan Narendra!" sentak Rachel, seraya menghempaskan tangan Camelia yang tadi dipegangnya. "Terserah Bibi menganggap aku tidak waras atau gila! Tidak ada yang boleh menghentikan rencanaku, termasuk Bibi Rachel dan Nial sekalipun!" Mendengar ucapan Camelia, tangan Rachel terangkat hendak menampar keponakannya, namun terhenti tepat sebelum mendarat di pipi Camelia. Dia menarik tangannya dan mengepalkannya menahan amarah. Rachel hampir menampar keponakannya yang tidak mau menurutinya. "Kenapa tidak jadi? Tampar saja aku, Bi! Ayo tampar aku!" Camelia terus memajukan wajahnya pada Rachel, namun bibinya itu hanya diam saja. "Bahkan kedua orang tuaku tidak pernah menyakitiku barang seujung kuku. Mencubit saja mereka tidak pernah. Tapi Bibi Rachel hendak menamparku?!" "Camelia, Bibi tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya terpancing emosi," sanggah Rachel. "Kamu tahu Bibi menyayangimu seperti halnya aku menyayangi Kate, anakku sendiri. Aku tidak mau sesuatu terjadi padamu karena mendekati keluarga Samuel." "Bibi memang merawatku setelah kedua orang tuaku meninggal belasan tahun lalu, dan aku berterima kasih untuk itu. Tapi tetap saja Bibi Rachel bukan orang tuaku. Jadi aku harap, Bibi bisa menempatkan diri!" Saat Rachel hendak menjawab lagi ucapan Camelia, namun Camelia tidak memberinya kesempatan. Gadis itu berbalik dan meninggalkan Rachel yang masih mematung. Sedangkan Rachel hanya bisa memandang Camelia yang menaiki tangga dengan mata mengabur, karena air sudah memenuhi matanya. "Ibu, ada apa ribut-ribut?" Kate menghampiri ibunya dengan rasa kantuk di mata karena terbangun dari tidurnya. Mendengar suara putrinya, Rachel buru-buru menghapus air matanya dan berbalik menghadap Kate. "Tidak apa-apa, Kate. Lebih baik kamu kembali tidur." "Apa Ibu menangis? Apa ini semua gara-gara Camelia?" Kate tentu tidak percaya begitu saja jawaban ibunya. Sebagai seorang anak, Kate tahu bahwa Rachel sedang tidak baik-baik saja. Bahkan air mata yang belum kering sepenuhnya bisa dengan jelas terlihat. Rachel pun menggelengkan kepalanya dan merangkul Kate untuk kembali ke kamar. "Ayo, Ibu antar ke kamar." *** "Narendra, apa kamu benar-benar serius ingin menikahi Camelia?" Angelina duduk di seberang putranya yang terlihat tengah serius memeriksa beberapa dokumen. Mendengar ibundanya bertanya hal itu, Narendra pun mendongak menatap wanita yang telah melahirkannya dengan tatapan heran. "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" Narendra bertanya balik. "Tentu saja aku serius, Bu. Aku mencintai Camelia, hanya dia yang bisa membuatku jatuh cinta." Angelina terkekeh mendengar gombalan yang dilontarkan anak laki-laki semata wayangnya. "Baiklah jika itu sudah menjadi pilihanmu. Ibu hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk kalian berdua." Sementara Narendra mengaminkan harapan Angelina, dalam hati wanita yang masih terlihat muda walau sudah berumur setengah abad sebenarnya terselip keraguan. Angelina sendiri tidak tahu apa yang membuat hatinya itu ragu, namun ia terus meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. "Ibu tinggal dulu, lanjutkan pekerjaanmu." Angelina bangkit dari duduknya, sedangkan Narendra pun hanya mengangguk tersenyum melihat ibunya ke luar dari ruang kerjanya. Narendra yang sedang bekerja malah jadi memikirkan Camelia karena pertanyaan ibunya. “Gara-gara Ibu, aku jadi rindu calon istriku.” Dia mengambil ponselnya dan berniat menelepon Camelia. Panggilan Narendra tak mendapat respon dari Camelia, meski begitu dia tetap terus mencoba menghubungi wanita yang menjadi calon istrinya itu. “Kenapa Camelia tidak mengangkat teleponku?” gumam Narendra, seraya menatap ponselnya. Tentu saja Camelia tidak mengangkat panggilan telepon Narendra, karena saat ini Camelia sedang bersama Nial. Meski merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam tas, Camelia memilih mengabaikannya, karena dia sudah bisa menebak jika Narendra yang menghubunginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD