Unforgettable Night

1576 Words
Kendra’s POV Ini malam pertama Gara menginap di rumah. Dia sempat flapping (mengepakkan/mengibaskan kedua tangannya berulang-ulang) pertanda dia merasa tak nyaman dan ingin menanggulangi perasaan atau emosi negatifnya. Sempat menangis juga. Dia belum bisa memanggil ayah dan bundanya. Untuk bisa mengucapkan sesuatu, dia masih harus dituntun. Mungkin dia mencari di mana ayah dan bundanya. Aku yakin dia bisa merasakannya. Axel dan Shera berusaha mengajaknya bermain dan menenangkannya. Sementara aku masih merasa seperti diantara mimpi dan nyata. Kadang aku berharap ini semua adalah mimpi. Bagian yang masih saja menorehkan sakit di hati adalah ketika aku menyadari apa yang terjadi adalah kenyataan dan aku telah kehilangan kakakku untuk selamanya. Aku terkadang merasa seperti linglung, kehilangan arah. Mataku menatap sesuatu tapi jika menelisik ke dalamnya, yang ada hanya tatapan kosong. Di setiap sudut seakan terekam kenangan kami di masa kanak-kanak hingga pertemuan terakhir kami, saat kak Deka menitipkan Gara karena mau pergi ke bandara menjemput temannya. Sebagian diriku seakan hilang. Aku tak menyangka akan kehilangannya secepat ini. Jarak usia kami hanya terpaut tiga tahun. Kami bermain layang-layang bersama, bersepeda bersama, dia membantuku mengerjakan PR saat aku masih SD, dia mengajariku bermain bola, basket dan olahraga lainnya, dia selalu mengingatkanku untuk bisa menjaga diri dari pengaruh pergaulan yang buruk. Dia seorang yang taat beribadah. Di mataku dia layaknya pahlawan. Kuhembuskan napasku. Astaghfirullah.. Kehilangan itu memang selalu menyakitkan. Perpisahan adalah satu babak dalam kehidupan yang pasti akan terjadi juga. Semua yang bernyawa pada akhirnya akan kembali kepada sang Maha Pencipta. Aku harus mengikhlaskan kepergiannya. Kutatap Gara yang masih flapping dan tengah diajak bicara oleh Axel. Anak itu menjadi salah satu sumber kekuatanku untuk terus berjuang mengusahakan apa saja yang kami mampu untuk masa depannya. “Ken,” Shera duduk di sebelahku. Dia membawa sebuah buku. “Tadi sebelum kita pulang, ibu membawakan buku catatan perkembangan Gara yang ditulis kak Imelda. Aku harus mempelajarinya. Dia juga sempat memintaku untuk selalu mengantar dan menemani Gara terapi. Dia minta Gara terapi di therapy center milik Rania.” Aku cukup terkejut ibu menginginkan Gara diterapi di tempat Rania. Aku juga cukup kaget mengetahui Rania sudah mendirikan therapy center tiga tahun belakangan ini, bahkan sejak dia masih di Australia. Dulu dia tidak terjun langsung karena masih harus merampungkan studinya di sana. Aku memang sempat berbincang sebentar dengannya, dengan Shera juga. Aku sengaja menjaga diri untuk tak terlibat pembicaraan hanya berdua dengannya. Aku tak tahu apa yang dirasakan Shera. Aku hanya takut dia merasa tak nyaman jika harus rutin bertemu Rania. Jujur, perasaan berdebar itu masih ada kala melihat Rania. Aku tak bisa membohongi hatiku, perasaan kami pernah terpaut sedemikian kuat. Namun aku ingin mencoba untuk benar-benar membebaskan hatiku dari namanya. Aku akan belajar mencintai Shera sepenuhnya. “Ken kenapa kamu diam aja?” Aku tersentak. Kutatap Shera dengan senyum, “semua terserah kamu Sher. Atau kalau kamu mau mencari therapy center yang lain, nanti aku antar. Aku akan minta izin ke atasanku. Dulu sebenarnya Gara pernah diterapi di tempat lain, tapi sebulan belakangan kak Imelda full terapi Gara di rumah dengan meminta panduan dan kurikulum lengkap terapi yang akan diberikan untuk Gara dari salah satu therapy center milik teman kak Imelda. Ibu sudah membawakan buku panduan itu kan?” Shera mengangguk, “iya Ken. Aku mau menuruti permintaan ibu aja. Aku takut ibu kecewa.” “Apa kamu nggak apa-apa mesti sering ketemu Rania?” Shera tersenyum, “semua ini demi Gara Ken. Aku akan tepis rasa cemburu itu.” “Jadi kamu beneran cemburu?” Kulihat Shera tersipu dan segera memalingkan wajahnya. Aku terus memandangnya. Dia sesekali melirikku tapi lalu mengalihkan pandangannya ke arah Gara dan Axel. Aku suka melihat ekspresi wajahnya yang tampak malu-malu seperti gadis yang baru jatuh cinta untuk pertama kali. Kulirik Gara yang sedang mengepakkan kedua tangannya. Axel memegang apel di tangan kanannya dan jeruk di tangan kirinya. “Look at these fruits Gara.. This is apple, an the other one is orange.” Gara mulai menghentikan flappingnya. Tangannya mencoba meraih apel yang dipegang Axel. Dia sudah menunjukkan sedikit eye contact dengan Axel. “Do you want apple? Please say apple.” “Please say apple.” Ucap Gara menirukan. “Which one do you want? Apple or orange?” “Apple or Orange.” Jawab Gara. “Orange” Axel mengangkat tangannya yang memegang jeruk, “or apple?”Axel memegang tangannya yang memegang apel. “Or apple,” jawab Gara. Aku dan Shera berpandangan. “Perhatikan Sher. Bicara Gara masih echolalia, jadi dia mengulang-ulang kata yang didengar. Dia akan mengulang kembali pertanyaan yang diajukan. Jadi saat ditanya, dia tidak menjawab tapi mengulang pertanyaannya. Echolalia banyak dijumpai pada anak autisme yang verbal. Echolalia ini bisa langsung, artinya anak akan mengulangnya saat itu juga, bisa juga echolalia tertunda, anak baru mengulanginya setelah beberapa jam atau bahkan esok harinya.” “Aku baru mau menanyakan ini Ken. Oya apa Gara lebih senang berkomunikasi dengan english Ken? Spellnya bagus banget dan aku rasa dia lebih antusias berbahasa inggris.” “Dia bilingual Sher. Aku pernah nanya ke kak Deka, apa tidak sulit untuk Gara berkomunikasi bilingual? Kata kak Deka tidak bermasalah. Bahkan aku pernah membaca artikel yang menyebutkan bahwa anak autism bisa banget untuk diajarkan bilingual. Pernah ada penelitian yang mengatakan jumlah kosakata anak autism yang bilingual dan yang hanya berkomunikasi dalam satu bahasa, sama jumlahnya.” Shera mengangguk,”aku bersyukur kamu tahu banyak soal ASD ini, jadi aku terbantu banget untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai ASD.” “Aku belum tahu banyak kok Sher. Aku masih harus belajar lagi.” Kami kembali melihat Gara dan Axel yang masih bercakap-cakap. “Okay Gara, I will ask you once more. Which one do you want? Apple or orange. Please answer, I want apple.” Axel menegaskan kata “I want apple” “I want apple.” Tiru Gara. “Good job,” Axel tersenyum. “Gara, which one do you want? Apple or orange?” I want apple.” Axel kembali menegaskan “I want apple”. “I want apple.” Jawab Gara. “Good job, okay this is for you.” Axel menyerahkan apel itu kepada Gara. Gara tersenyum dan memakan apelnya dengan lahap. Shera tersenyum, “kamu tahu Ken, aku selalu percaya seseorang terkadang memiliki keunikan atau hal yang menarik, memiliki sisi lain yang tak terduga. Seperti adikmu ini. Aku nggak nyangka badboy macam dia, telaten ngajak Gara bermain dan berkomunikasi. Aku jadi tahu, begini ya cara mengatasi echolalia. Jadi sebelum Gara mengulang pertanyaan, Axel langsung menjawabnya agar Gara menirukan jawabannya. Sebagai rewardnya, Axel memberi Gara apel.” “Tepat sekali Sher.” Aku kembali tersenyum. Aku yakin Shera akan cepat belajar. Gara sepertinya bosan. Dia menarik tangan Axel. “Are you sleepy Gara?” “Mau tidur?” Tanya Axel. “Mau tidur.” Tiru Gara. Shera beranjak dan menuntun Gara menuju kamarnya yang juga ada di lantai atas, di sebelah kamar kami. Jadi kalau Gara terbangun malam atau ada sesuatu, kami bisa langsung tahu. Aku mengikuti mereka ke kamar Gara. Rencananya kalau aku libur kerja, aku ingin mengecat kamar Gara dengan warna pastel dan menatanya dengan dekorasi khas anak-anak. Gara berbaring, Shera menutup Gara dengan selimut yang memiliki bahan lembut seperti handuk. Gara sangat menyukai kain handuk. “Sher, Gara selalu minta ditepuk-tepuk punggungnya jika mau tidur.” Ujarku. Shera menepuk-nepuk punggung Gara dengan lembut. Gara berbaring dengan posisi miring dan matanya masih terbuka. “Gara bobo ya, ditemeni mommy dulu. Have a nice dream, i love you so.” Sebenarnya aku ingin mengecup kening Gara, tapi aku takut dia kaget dan menolaknya. Shera dan aku saling berpandangan dan mengulas senyum. “Sher aku ke kamar dulu ya. Aku tunggu,” kukedipkan mataku dan Shera hanya bisa membalasnya dengan senyum tipisnya. *** Aku sudah berganti piyama dan berbaring di ranjang. Sudah lima belas menit berlalu dan Shera belum juga ke kamar. Aku mengiriminya pesan WA, Sher, Gara udah tidur belum? Tak lama kemudian, Shera membalas, Belum. Mungkin sebentar lagi. Lima menit berlalu. Kembali kukirim WA. Sher, masih lama ya? Shera membalas lagi Nggak kok, Gara udah mulai memejamkan mata. Tunggu lima menit lagi, sampai dia benar-benar pulas. Sepuluh menit kemudian kudengar derap langkah Shera menuju kamar. Aku pura-pura terpejam. Kurasakan Shera naik ke ranjang dan duduk di sebelahku. “Kok malah tidur sih.” Aku bisa mendengar nada kekesalan keluar dari bibirnya. “Bangunin nggak ya. Kayaknya pules banget. Pinginnya sih bangunin, tapi nanti aku terkesan ngarep banget ya. Nggak ah..” Aku gemas sendiri mendengar perkataannya. Kupicingkan mataku. Aku melihatnya tengah siap untuk berbaring. Langsung kutarik tangannya hingga dia jatuh di atas badanku. Shera setengah berteriak karena kaget. “Ya ampun Ken, kamu belum tidur? Matamu tadi pura-pura merem ya?” Kubalik badannya dan sekarang dia berbaring di sampingku. Kepalanya bersandar di bantal, sedang aku sedikit mengangkat kepalaku. Mata kami saling bertabrakan. “Kenapa aku nggak dibangunin?” “Apanya yang dibangunin? Matamu kan pura-pura merem, nggak tidur beneran.” Jawabnya setenang mungkin padahal aku tahu dia begitu deg-degan. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu lebih cepat karena kami saling berhimpitan. “Bukan matanya yang dibangunin, tapi yang lainnya dong.” Ucapku dengan nada yang manja. “Hah? Apa emangnya?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan polosnya. “smartphoneku udah aku matiin.” “Terus?” Tanyanya. Aku tahu dia sudah paham maksudku. Malam ini aku tak hanya mencium bibirnya, tapi lebih dari itu. Malam ini adalah malam pertama kami yang tak akan pernah terlupakan sebagai awal untuk semakin menumbuhkan perasaan kami masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD