2. Kisah Bermula

1426 Words
Dua tahun yang lalu Plaaak! Tamparan Azkia tepat mengenai pipi Elvano. Seketika suasana ruang pesta di sebuah gedung apartemen itu menjadi hening. Hampir seluruh tamu undangan yang sedang menikmati acara menoleh dan berfokus kepada peristiwa tak terduga tersebut. “Nggak sopan banget sih kamu!” seru Azkia. Tatapan berapi-apinya terarah ke wajah Elvano yang baru saja mengecup pipinya tanpa izin dan tanpa sepengetahuannya. Berdiri di hadapan Azkia, Elvano hanya memandangi gadis itu sambil tersenyum masam dan menggosok pelan pipinya yang bersemu merah. “Saya bukan gadis seperti yang ada di pikiran kamu!” tegas Azkia. “Oh, iya?” Elvano mengernyitkan dahi. Tatapannya seolah-olah sedang menelanjangi Azkia dan mencari celah untuk membalas reaksi barbar gadis itu. “Lantas, kenapa kamu ada di sini?” imbuhnya dengan nada mencemooh. Azkia mencoba menahan luapan amarah dengan menatap tajam Elvano. Dia paham Elvano mungkin menduganya sebagai salah satu gadis penghibur yang disewa si tuan rumah untuk menyemarakkan pesta ulang tahunnya. Namun, Azkia datang ke sana atas undangan Zoya, kekasih gelap yang notabene pegawai si tuan rumah. “Kia, sudahlah.” Zoya berusaha menenangkan Azkia “Kita pulang saja, yuk!” ajaknya kemudian. Belum sempat keduanya beranjak dari sana, si tuan rumah menghampiri dan betanya langsung pada Elvano. “Ada apa, Bro?” Elvano mengedikkan bahu sambil melirik Azkia. “Nothing. Hanya salah paham.” Si tuan rumah kemudian menoleh ke arah Zoya. Tatapannya seolah-olah sedang meminta penjelasan pada gadis itu. Mengerti maksud tak terucapkan sang bos, Zoya pun kemudian menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Mungkin Pak Vano mengira teman saya LC yang Bapak sewa, jadi dia—“ “Oke. Saya mengerti,” potong si tuan rumah. Dia kemudian mengembalikan pandangannya yang penuh permohonan maaf pada Elvano. “Sorry, Bro. Dia teman cewek gue. Anak baik-baik dan anak kuliahan.” “Oh.” Hanya itu tanggapan Elvano. Namun, sorot matanya saat memandang Azkia diwarnai oleh ketajaman yang tidak bisa didefinisikan oleh kata. Si tuan rumah kemudian merangkul pundak Zoya seraya berbisik, “Bawa dia keluar dari sini.” Zoya mengangguk. Wanita yang mengenakan off shoulder dress hitam itu kemudian mengajak Azkia pergi. “Kita pulang saja, Kia.” “Oke.” Azkia dan Zoya keluar dari apartemen mewah yang dijadikan tempat pesta. Keduanya kemudian memasuki lift untuk turun ke lobi. “Sorry, ya. Gue nggak nyangka lo bakal dikira LC sama Pak Vano,” sesal Zoya. “Nggak apa-apa. Lo kan nggak tahu bakal ada kejadian begini. Lagi pula, mungkin tampang gue kayak LC.” Azkia justru menyalahkan penampilannya sendiri. Dia tidak mau membuat sahabatnya sedih karena menyesal sudah mengundangnya ke pesta tersebut. Zoya tertawa. “Gila aja penampilan kayak ABG sembilan puluhan begini disangka LC. Pak Vano itu kayaknya nggak bisa membedakan mana LC, mana tamu undangan.” Azkia tidak tersinggung dengan candaan Zoya. Dia bahkan ikut tertawa bersama Zoya. Azkia sadar untuk menghadiri pesta privat seorang crazy rich tidak seharusnya dia hanya mengenakan gaun merah muda sebatas lutut dan berlapis cardigan katun hitam berlengan panjang. Penampilannya mungkin terlihat “jadul”, tetapi Azkia merasa nyaman mengenakan gaun itu. “Ngomong-ngomong, Pak Vano itu cakep, ya,” tambah Zoya. “Cakep doang, tapi attitude-nya minus.” Pintu lift terbuka beberapa detik kemudian. Azkia dan Zoya keluar bersamaan dan berjalan melintasi lobi. “Tunggu!” Seruan pria yang terdengar sedikit berat secara otomatis menghentikan langkah Azkia dan Zoya. Keduanya kompak menoleh ke belakang lalu berbalik. Azkia nyaris tidak percaya bahwa pria yang sempat melecehkannya tadi kembali mengejarnya. Mau apa lagi dia? “Tunggu dulu!” pinta Elvano sembari melangkah lebih dekat pada Azkia dan Zoya. “Saya minta maaf. Saya sudah keliru menganggap kamu wanita ....” Elvano menggantung ucapannya, tapi sudah jelas dia akan menyebut wanita sewaan. Pria bertubuh tinggi atletis itu kemudian mengulurkan tangannya. “Saya Elvano. Maafkan atas kekeliruan saya tadi.” Azkia ragu-ragu untuk menyambut uluran tangan dan perkenalan Elvano. Namun, dorongan Zoya membuatnya menerima perkenalan itu. “Saya Azkia. Lain kali, hati-hati menilai seseorang.” “Noted, Nona Cantik.” Elvano tersenyum manis sesaat sebelum menawarkan, “Bagaimana kalau kita kembali ke atas?” “Tidak. Terima kasih. Kami mau pulang,” tolak Azkia dengan sopan. “Baiklah. Boleh saya antar?” Azkia ingin menolak, tetapi sekali lagi Zoya memaksanya menerima tawaran Elvano. “Sudahlah, mau saja,” desak Zoya dengan suara pelan nyaris berbisik. Azkia akhirnya menerima tawaran Elvano untuk mengantarkan mereka pulang. Namun, nahas bagi Azkia karena malam itu adalah malam terakhir Azkia menyandang status sebagai perawan. Niatnya untuk pulang justru berakhir di atas ranjang Elvano. *** Azkia masih memandangi bayangan dirinya di depan cermin kamar mandi. Air matanya kembali meluruh dan membasahi pipi. Memar di lengan kanan dan bekas gigitan di bawah tulang selangka menjadi bukti kekerasan yang selalu dilakukan Elvano kepadanya di saat pria itu melampiaskan kemarahan. Terkadang, Azkia menyesali kenapa malam itu, malam dua tahun yang lalu, dia harus menerima undangan Zoya dan pergi ke pesta ulang tahun bosnya. Seandainya malam itu Azkia tidak ikut, dia tidak akan pernah berurusan dengan Elvano dan terjebak dalam pernikahan yang membuatnya merasa seperti di neraka. Termenung selama beberapa saat dan berusaha menguat diri, Azkia kemudian membasuh wajahnya dengan air yang mengucur dari keran wastafel. Setelah menyeka wajahnya dengan handuk, Azkia memberanikan diri keluar dari sana. Dia mendapati Elvano yang masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana drawstring cokelat sedang duduk di sofa. Pria itu tampak sibuk dengan ponselnya dan sesaat kemudian Azkia mendengar Elvano menghubungi seseorang. Azkia sudah bisa menebak siapa orang yang dihubungi oleh suaminya di tengah malam seperti ini. Dugaan Azkia tidak meleset. Kata ‘Zoy’ dan ‘sayang’ yang terlontar dari mulut Elvano secara eksplisit mendeskripsikan Zoya. Azkia akhirnya memutuskan untuk tetap berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menunggu Elvano selesai memamerkan kemesraannya dengan si pelakor. Setelah puas menggaulinya dan melakukan kekerasan fisik, Elvano nekat bermesraan dengan Zoya melalui gelombang suara. Hanya laki-laki tidak berperasaan dan seegois Elvano yang sanggup melakukan hal itu, pikir Azkia. “Saya mau bercerai,” cetus Azkia sesaat setelah Elvano menurunkan ponsel dari daun telinganya. Elvano mengangkat wajah dan menatap Azkia yang tengah berjalan ke arahnya. “Kamu sudah mengatakan hal itu untuk kesekian ratus kalinya. Kamu pikir saya akan menceraikan kamu begitu saja?” “Saya sudah lelah dengan pernikahan ini, Van.” “Kamu pikir saya tidak?” Azkia berhenti berjalan persis satu meter di depan sofa yang diduduki Elvano. Kilat matanya menajam menembus iris gelap pria arogan itu. “Lantas, kenapa kamu tidak melepaskan saya dari ikatan pernikahan ini?” “Saya belum puas menghukum kamu.” Kini suara Elvano terdengar lebih berat dan menekan. Sorot matanya pun tampak lebih gelap dari sebelumnya. “Kamu yang salah, kenapa saya yang harus dihukum? Kamu gila, Van.” Azkia mencoba tetap terlihat tenang dan tegar walaupun ketakutan akan murka Elvano mulai menyelimuti dirinya. “Kalau malam itu kamu tidak mempermalukan saya di depan umum dan ayah kamu yang sok idealis tidak melaporkan saya ke polisi, saya mungkin tidak akan melakukan semua ini. Perlu kamu tahu, saya paling tidak bisa dipermalukan. Berani menjatuhkan harga diri saya, kalian juga harus berani menanggung akibatnya.” “Sialan kamu, Van!” Azkia tidak tahan lagi untuk tidak menyumpahi Elvano. Kecewa sekaligus sedih berbarengan menusuk-nusuk hatinya. “Kamu mengambil keuntungan dari saya malam itu. Kamu juga menyekap saya. Wajar kalau Ayah melaporkan kamu ke polisi.” Elvano bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras seiring dengan tatapannya yang menghantarkan kegeraman. “Saya tidak akan berhenti sampai kamu dan ayah kamu yang sombong itu merangkak di kaki saya untuk minta pengampunan.” “Selama ini saya diam ketika kamu memperlakukan saya sesuka hati kamu. Saya menerima saat kamu tidak mau mengakui saya sebagai istri di depan pegawai dan teman-teman kamu. Saya tidak mau terus menerus membawa konflik kebencian dalam diri saya ke dalam pernikahan kita. Saya menghargai usaha kamu yang mau bertanggung jawab menikahi saya meskipun dengan terpaksa. Namun, malam ini kamu berhasil membuktikan kalau kamu tidak pantas mendapatkan kesabaran saya.” Kesabaran Azkia tidak bisa lagi menahannya tetap berada di hadapan Elvano. Azkia pergi meninggalkan pria itu dan keluar dari kamar. Namun, Elvano berhasil menyusul dan kemudian mencekal tangan Azkia sebelum Azkia mencapai tangga. “Kamu tidak boleh pergi!” bentak Elvano. Azkia berusaha melepaskan cekalan tangan Elvano dari pergelangan tangannya seraya berteriak, “Lepaskan saya, Van! Kamu tidak bisa terus-terusan menahan saya. Dua tahun sudah cukup untuk saya diperlakukan seperti sampah oleh kamu.” “Tidak akan! Saya tidak akan membiarkan perempuan yang sudah menghina saya pergi begitu saja.” Elvano masih mencekal erat tangan Azkia dan tidak berniat melepaskannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD