GALAU

611 Words
Ranti melangkah menuju kantor penuh semangat. Ia ingin melupakan kejadian kemarin. Ia akui Ario membuatnya tertarik, tapi respon dingin yang ia terima membuatnya berpikir ulang dan memutuskan kalau perasaannya tidak boleh berlanjut. Akhirnya berusaha meredam hatinya dan "mengakhiri" apa yang ia rasakan. Wira bercerita kalau hari ini ada rapat dengan Ario, kemungkinan Tim Marketing dan Tim PR akan bergabung. Ranti harus bersiap, pertemuan keduanya dengan Ario harus "normal". "Akhiri! No heart feeling," Ranti pun bergumam, menguatkan tekadnya menyudahi ketertarikan pada Ario. Semangat! Pagi yang cerah. Ranti merasa harus bersemangat dan melupakan semuanya. "Ranti!" Wira memanggilnya, lalu menyodorkan jinjingan kertas berwarna coklat. "Ini ambil!" ujarnya. "Apa ini?" Ranti bingung. "Sepatu. Ada sale dan itu brand favoritmu. Aku ingat kalau kamu suka sneaker itu," terang Wira. "Wow! Thanks. What a day!" Ranti pun senang. Sehari-hari ia berjalan kaki dari apartemennya ke kantor. Jarak kantor dan apartemennya hanya beberapa blok. Sneaker atau flat shoes memang favoritnya, wajib ia pakai tiap hari. Untuk pertemuan penting, ia menyimpan high heel di kantor. Tapi sehari-hari, "sneaker is her bestfriend". Ranti pun tersenyum lebar, apalagi saat melihat sekilas sneaker itu memiliki logo brand favoritnya. "Thanks Wir! Nanti makan siang aku traktir! ok?" ajak Ranti. "Tentunya," Wira pun tersenyum lebar. Mereka melangkah memasuki pelataran lobi kantor. Langkah pun terhenti di depan lift. Tak disangka, ada Ario berdiri di depan lift. "Pagi Pa Ario," sapa Wira. "Oh, pagi," Ario membalas dengan suaranya yang dalam dan rendah. Ranti tersenyum padanya, ternyata Ario langsung membalas senyumnya. Aduhh... Kenapa pagi ini Ario terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Apalagi ia tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang menggemaskan. Ranti pun memperhatikan Ario lebih dekat. Ia mengenakan kemeja tangan panjang warna abu-abu muda, celana panjang abu gelap dan sweatshirt warna navy. Ranti melihat dari belakang, tampak bahunya yang bidang. Meski badannya tidak berotot layaknya binaragawan, tapi tangannya terlihat besar dan kekar. Lift pun terbuka. Mereka masuk. Lift agak penuh sehingga posisi Ranti dekat dengan Wira dan Ario. Wira tiba-tiba mengambil jinjingan coklat tadi dari tangannya. "Sini biar aku bawa," ujarnya. Ranti hanya bisa pasrah. Terlintas di pikirannya, coba kalau Ario yang seperti itu. Imajinasinya itu membuatnya tersenyum kecil sendiri. Lantai 7 terbuka, Ranti keluar, begitupun Ario. Wira ternyata juga ikut keluar. Ranti yang tadinya hendak mengambil kembali jinjingannya pun tidak jadi. "Pa Ario, kita rapat di lantai 9 nanti. Saya menghadap Pa Ridwan dulu," Wira berbicara pada Ario. "Saya juga harus bertemu pa Ridwan," kata Ario. Wira memberikan jinjingan itu pada Ranti, "Ini. Aku ke Pa Ridwan dulu. See you at lunch.” "Ok," Ranti menjawab pendek, merasa grogi karena Ario ada di situ. Kemudian Ranti berjalan menuju mejanya, sementara Wira dan Ario terlihat berbelok menuju ruangan Pa Ridwan. Ahh... Ranti membenamkan muka ke meja. Rambutnya yg terurai, ia acak-acak. Bisakah rasa ini hilang? pikirnya. Setelah sekian lama, ia merasakan getar-getar itu lagi, tapi sepertinya bertepuk sebelah tangan. Ario terlihat dingin dan tidak menunjukkan ketertarikan padanya. Ranti sudah 5 tahun single. Terakhir berpacaran dengan teman kuliahnya selama 3 tahun, dari tahun ketiga kuliah hingga masa awal ia bekerja di "For Her". Namanya Indra. Ia serius saat itu. Sayangnya kesibukan keduanya membuat hubungan itu harus berakhir. Apalagi Indra ditugaskan pindah ke luar negeri. Ranti yang saat itu masih meniti karier, merasa berat melepas. Ya, belum jodoh. Sejak itu, hatinya belum pernah lagi merasakan getaran apapun. Padahal banyak yang mendekatinya. Wajahnya mungil dan cantik, dengan kulit putih bersih, Ranti selalu terlihat bercahaya. Apalagi pembawaannya supel dan mudah bergaul. Belum lagi, ia pintar dan berdedikasi. Tidak heran, di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah menduduki jabatan penting. Baru kali ini, ia kembali merasakan debar-debar itu. Sayangnya seperti bertepuk sebelah tangan. Ranti pun berpikir keras. Lupakan? Atau terus dekati? Galau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD