6. PENGALAMAN PERTAMA TIDUR BERSAMA

1623 Words
“Apa hubungannya saya cium kamu dengan datang bulan?” Pertanyaan Sakha membuat Naya terdiam dengan kedua matanya berkedip beberapa kali seperti anak kecil kebingungan. Jelas saja ia tidak bod0h. perlakukan Sakha kepadanya pasti berujung pada hubungan panas yang selama ini cukup membuatnya takut. “Kamu mau ngajak saya tidur, kan?” Sakha tersenyum tipis dengan salah satu sudut bibir terangkat. “Kamu bertanya begitu karena kamu yang nggak sabar atau gimana?” Seketika Naya menggeleng sebagai bantahan. Lalu tangannya dengan segera memungut outer yang lepas dan memakainya kembali. “Siapa yang mikir begitu? Tujuan kamu bayar saya untuk melayani kamu, memang apa lagi,” ucapnya sinis. Tangan Sakha terulur, lalu mengapit dagu Naya dengan kedua mata menatap tajam. “Sudah saya bilang kalau kamu akan jadi penghibur kalau saya bosan dengan Alessa. Terserah kapan akan mengajak kamu tidur, siap-siap saja.” “Makanya saya ngomong sama kamu kalau kayaknya saya datang bulan,” jawabnya. Naya melepaskan tangan Sakha dengan pelan. “Saya mau ke kamar mandi dulu.” Meski kesal, Naya mencoba untuk mengendalikan emosinya kepada Sakha. Apalagi sekarang jadwalnya datang bulan, suasana hatinya dipastikan akan naik turun. “Ya, aku memang penghibur makanya dibayar. Tapi menyebelin banget dia mikir aku nggak sabar disentuh dia,” gerutunya di kamar mandi. Naya menghela napas begitu dugaannya benar. Pantas saja tubuhnya terasa tidak nyaman karena memang saatnya datang bulan. Ia segera berganti pakaian agar lebih nyaman. Sepasang piyama satin menjadi pilihan. “Syukurlah sekarang halangan. Setidaknya malam ini aku terselamatkan,” gumamnya lega. Selesai dari kamar mandi Naya kembali ke ruang tamu untuk menemui Sakha. Laki-laki itu tidak ada di sana. Naya mencari keberadaan Sakha dan merasakan ada embusan angin. Lantas ia berjalan ke arah balkon di mana pintunya terbuka karena Sakha sedang berdiri di sana. Naya berdeham untuk mengalihkan perhatian Sakha. Laki-laki itu pun menoleh dengan raut wajah sedikit tegang. Kedua tangannya masuk ke saku celana sehingga menampakkan sosok berbeda dari sebelumnya. Sakha seperti Ganesha yang dilihat oleh karyawan AT Konstruksi. “Kenapa ganti baju?” tanya Sakha. “Kalau datang bulan, pakai celana lebih nyaman,” jawabnya. “Mau saya buatkan minum atau mau makan malam di sini?” “Kamu masak apa?” tanya Sakha. Naya mengusap tengkuknya karena sebenarnya ia tidak masak. “Saya nggak masak karena tadi makan di luar. Tapi kalau kamu mau, biar saya masak sekarang.” “Boleh tapi 20 menit sudah cukup?” “Kayaknya cukup.” Sakha mengangguk. “Baiklah. Saya mau mandi dulu sambil nunggu kamu.” “Kamu tidur di sini?” tanya Naya buru-buru. “Iya. Kenapa?” “E – enggak kok, Cuma mau nanya aja.” Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, berlalu begitu saja dari hadapan Naya. Sejauh ini sikapnya masih cukup baik namun Naya belum sepenuhnya mengenal sosok Sakha. Sepertinya pewaris tunggal keluarga Ariotedjo ini menyimpan rahasia yang sulit untuk ditebak. “Dia nggak mungkin Cuma seorang Ganesha Sakha Ariotedjo. Pasti ada bagian tersembunyi yang harus aku waspadai,” gumamnya. Sejujurnya Naya tidak tahu apakah waktu yang diberikan Sakha cukup untuk menyelesaikan menu sapo tahu yang akan dibuat. Ia pernah belajar menu ini dengan kok hotel di Malang tempatnya bekerja dulu. Rasanya enak dan yakin menu pertama untuk Sakha akan mendapatkan respon baik. Sialnya ia tidak tahu apa kesukaan laki-laki itu dan juga apakah memiliki alergi atau tidak. “Ayolah fokus, jangan gemetar kayak gini. Aku masak untuk manusia bukan hantu,” ucap Naya saat kehilangan konsentrasinya akibat gugup sekaligus perutnya yang tidak nyaman. Setelah berkutat di dapur, akhirnya Naya selesai dengan satu menu untuk Sakha. Ia bernapas lega karena sampai sekarang laki-laki itu belum keluar dari kamarnya. Dengan begitu, ada waktu untuk menghidangkan makanan di atas meja makan. “Oke, aku harap dia suka.” Berbarengan dengan Naya selesai menghidangkan makanan di atas meja, Sakha keluar dari kamar dengan mengenakan kaos dan celana pendek santai. Dari jauh aroma tubuhnya tercium begitu segar. Ini kali pertama Naya melihat penampilan Sakha saat ini. “Kamu mau makan sekarang?” tanya Naya. Sakha menarik kursi lalu duduk di sana. Matanya menatap seporsi sapo tahu yang nampak masih mengepulkan asap dengan aroma nikmat. Tidak lupa juga nasi yang porsinya tidak berlebihan tapi cukup/ “Kamu nggak makan?” “Saya masih kenyang,” jawabnya. “Ya sudah, duduk di sini. Temani saya makan.” Naya mengangguk. “Iya.” Suasana begitu hening saat Sakha mulai mencicipi makanan. Naya napak tegang dengan pandangan tidak lepas dari laki-laki di hadapannya. “Kalau ada yang kurang, tolong kasih tau saya biar nanti saya lebih hati-hati masaknya.” “Cukup enak,” jawab Sakha. Naya menghela napas lega. Keringat dingin mengucur karena tegang dan juga menahan nyeri pada perutnya. “Jadi kamu dari Malang?” “I – iya.” “Kenapa ke Jakarta?” “Mengadu nasib.” Sakha tersenyum sinis. “Dengan menjual diiri?” “Terpaksa,” jawab Naya. Laki-laki itu lalu menatap wanita di hadapannya. “Sebenarnya saya nggak mau tau apa alasan kamu sampai melakukan ini. Tapi kalau kamu mau cerita, saya akan dengarkan.” “Paman saya terlilit hutang, jadi saya harus membantu melunasi. Kalau mengandalkan pekerjaan yang sekarang, tentu saja nggak akan terkumpul cepat.” Sakha mengangguk pelan lalu kembali menikmati makanannya. “Oh jadi begitu dan uangnya sudah kamu bayarkan?” “Sudah. Terima kasih atas bantuannya.” “Itu bukan bantuan tapi harga yang harus dibayar untuk tubuh dan hidupmu.” Susah payah Naya menelan salivanya atas apa yang Sakha katakan. “Tenang saja, saya nggak akan kabur kok.” “Saya nggak khawatir soal itu. Toh kemana pun kamu pergi, saya akan selalu bisa menemukan kamu, Nayana Ranupatna.” Naya tertunduk karena Sakha memberikan tatapan tajam kepadanya. Jantungnya berdetak tidak teratur dan merasa sangat takut berada dalam ruangan yang sama dengan sosok laki-laki asing yang belum lama dikenalnya. “Kamu potong rambut. Benar?” “Iya.” “Jangan nunduk kalau saya ngomong sama kamu!” “I – iya, maaf.” “Kamu sudah tau siapa tunangan saya jadi kamu harus bisa menjaga rahasia kita.” “Kalau sampai tunangan kamu tau, gimana?” Sakha meletakkan gelas berisi air yang baru selesai diteguk. “Saya nggak suka berandai-andai. Lakukan yang terbaik agar hubungan gelap ini, tetap menjadi rahasia.” “Pasti tapi saya nggak mau jadi pihak yang paling disalahkan karena bagaimanapun, kita yang sepakat untuk hubungan ini.” Sakha tersenyum remeh. “Tapi kamu yang duluan menggoda saya. Kamu lupa?” Naya merasakan pipinya terasa panas karena diingatkan dengan kejadian malam itu. “Bahkan kamu juga sangat menikmati cumbuan saya. Jadi sebenarnya siapa yang lebih dominan?” “Cukup! Kamu nggak usah ngomong soal itu lagi, saya masih muda, belum terlalu pikun,” cibir Naya kesal. Bukannya tersinggung, Sakha justru terkekeh dengan puasnya. “Tenang saja, saya nggak akan menjadikan kamu tumbal di hadapan Alessa.” Setelah mencuci peralatan makan yang digunakan Sakha, Naya ingin segera masuk kamar dan istirahat. Ia pun mematikan lampu di dapur dan berjalan menuju pintu kamar. Namun suara dehaman Niskala membuatnya menghentikan langkah. “Kamu mau ke mana?” tanya Sakha yang sedang sibuk dengan tablet pc. “Mau ke kamar. Kamu butuh apa lagi sebelum saya tinggal?” Sakha melepaskan kacamatanya lalu menatap Naya. “Tidur di mana?” “Di kamar saya.” “Tidur di kamar saya.” Sakha beranjak dari sofa. “Siapa yang kasih izin kamu tidur di kamar sendiri? Tugas kamu menemani dan melayani saya, jadi jangan harap bisa tidur sendiri,” sambungnya. Kedua mata Naya membola, melihat Sakha masuk ke kamar. Ia masih mematung, mencerna ucapan laki-laki itu. Setelah sadar, ia segera menghampiri Sakha di kamarnya dan berdiri di ambang pintu tanpa berani masuk. “Tapi saya lagi halangan, mana bisa melakukan itu.” Sakha yang sedang meletakkan tablet pc dan kacamata di meja, membalik badan dan menatap Naya. “Apa setiap kita berdua, isi pikiran kamu tentang sekss saja?” “Hah?” “Cepat masuk! Saya capek, mau tidur.” Dengan jantung berdebar cepat, perlahan kakinya melangkah masuk ke kamar Sakha. Naya sangat malu akan segala hal. Terutama karena berpikir Sakha ingin melakukan hal yang selama ini sangat ia takuti. Meski sebelumnya dengan lantang menjual kesuciannya, tetap saja nyalinya begitu kecil jika harus menghadapinya. “Nggak apa-apa saya tidur di sini?” tanya Naya ragu. “Kamu benar-benar polos sampai saya capek menghadapi kamu. Cepat naik dan tidur!” Sambil menahan gugup, Naya naik ke ranjang Sakha. Ia membaringkan tubuh di sisi laki-laki itu. Lampu pun sudah padam, menyisakan lampu tidur yang temaram. Suasana hening, tanpa ada suara dari mereka. “Tidur biasa saja, jangan kaku begitu. Bisa saja besok pagi badan kamu pegal semua,” ucap Sakha. Naya menoleh pelan dan melihat Sakha sudah menutup mata. Mereka dipisahkan oleh guling empuk sebagai pembatas. Perlahan Naya bergerak, tidur memunggungi Sakha dan berusaha menutup mata. Berharap pagi cepat tiba agar situasi canggung ini segera berakhir. Baru saja memejamkan mata, Naya merasakan ada pergerakan. Matanya kembali terbuka dan waspada. Tubuhnya langsung menegang ketika merasakan sebuah tangan menyusup di area pinggangnya dan melingkar di sana. Dibarengi dengan punggungnya yang menghangat karena Sakha tepat berada di belakangnya. “Sa – Sakha.” “Tubuh kamu harum, saya suka,” ucap laki-laki itu dengan suara pelan. Tangan yang keras menarik tubuh mungil Naya agar semakin dekat. “Tidur saja, jangan mikir aneh-aneh. Ini bagian dari tugasmu.” Naya mengangguk dengan pikiran kacau. “Baik.” Entah apa yang dipikirkan Sakha saat ini yang jelas Naya tidak peduli. Ia hanya ingin menenangkan degup jantungnya agar laki-laki itu tidak tahu kalau saat ini dirinya sedang menahan rasa frustrasi dan juga bersalah. Namun di sisi lain, ini pengalaman pertamanya mendapat perlakuan seperti ini dari lawan jenisnya. “Gimana perasaan Alessa kalau tau tunangannya tidur denganku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD