4. KURANG MENARIK DAN KURANG SEKSI

1886 Words
Naya pergi makan siang di salah satu kantin yang ada di basement gedung AT Konstruksi. Bersama dengan Julia, Naya mencoba untuk terbiasa makan di tempat ini. Bukan masalah selera atau harga, namun karena banyak karyawan yang makan di tempat ini sehingga ia merasa sedikit sungkan dan malu. “Kamu yakin Cuma makan lauk tahu sama ikan goreng? Nggak nambah daging atau yang lain?” tanya Julia saat melihat piring milik Naya. “Ini sudah cukup. Memangnya aku kelihatan pelit, ya?” Julia menggeleng. “Bukan begitu. Aku mikir kamu nggak selera.” “Enggak kok. Aku Cuma berusaha hemat tapi tetap nggak bikin kelaparan.” “Realita tinggal di kota besar memang gini, Nay. Harus pintar atur keuangan biar tetap bisa makan.” Naya tersenyum karena tanpa pindah kota pun ia juga tetap harus berhemat. “Selamat makan.” Di tengah lahapnya Naya menyantap menu makan siang, tiba-tiba ponsel di saku blazer berdering. Tangan Naya dengan cepat mengambil benda pintu karena suaranya menarik perhatian sekitar. Saat melihat layarnya, nomor tidak tersimpan muncul sebagai penelepon. Ada keraguan, khawatir kalau yang menghubunginya adalah orang suruhan dari rentenir yang berniat menikahinya. “Kenapa nggak diangkat?” tanya Julia. “Oh, iya sekarang.” Dengan perasaan cemas dan gugup, Naya mendekatkan benda itu ke telinganya. Jantungnya bahkan berdetak sangat cepat hingga membuat dadanya tidak nyaman. “Halo, selamat siang,” sapanya pelan. “Halo, dengan Nayana Ranupatna?” “I – iya, saya sendiri. Ini dengan siapa?” “Saya Darius, asisten Pak Ganesha.” Naya terdiam dengan wajah menegang dan juga mata membola. Ia sangat takut Julia tahu mengenai rahasia besar yang harus dijaga demi tidak menimbulkan masalah dan kegemparan. “Halo, tunggu sebentar. Suaranya kurang jelas, biar saya pindah tempat.” Cara ini terpaksa Naya lakukan agar bisa menjauh dari Julia dan bebas bicara dengan asisten Sakha. Untungnya Julia tidak terlalu peduli dan membiarkannya pergi sejenak. “Iya Mas, ada apa?” “Sesuai dengan perintah Pak Ganesha, saya mau bertemu dengan Anda.” “Ba – baik, Mas. Di mana” Setelah selesai bicara dengan Darius, Naya kembali ke meja di mana Julia sudah selesai makan. “Siapa Nay?” “Dari keluarga di Malang. Pakai nomor baru jadi aku nggak tau,” jawabnya bohong. “Oh. Ya sudah cepat habiskan makanannya. Sebentar lagi jam istirahat selesai, kita harus balik.” Naya menggeleng pelan. “Sudah kenyang. Lagian tinggal sisa sedikit, jadi tinggal saja.” “Baiklah, terserah kamu saja.” *** Sesuai dengan perintah asisten Sakha, saat ini Naya sudah berada di sebuah coffee shop yang letaknya tepat di sebelah gedung apartemen milik Sakha. Naya menunggu dengan sangat gugup kedatangan laki-laki itu. Berharap pertemuan sore ini berjalan lancar dan uang yang dijanjikan bisa Naya dapatkan. “Selamat sore. Dengan Nayana?” Naya terkesiap dan bangun dari duduknya. “Iya, saya Naya. Mas Darius, kan?” Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk memberikan salam. “Iya, saya Darius asisten Pak Ganesha. Maaf kalau saya agak terlambat karena masih ada urusan pekerjaan dengan Pak Ganesha.” “Iya Mas, nggak masalah. Saya juga baru sampai sini.” “Baiklah, saya nggak akan bertele-tele. Sesuai dengan perintah Pak Ganesha, saya mau membawakan surat perjanjian untuk kamu. Setelah itu saya akan transfer uang yang sudah dijanjikan oleh Pak Ganesha.” Naya berdeham tegang. “Kalau boleh tau, kenapa Pak Ganesha nggak ikut Mas?” “Beliau lagi sama tunangannya.” “Oh begitu.” Darius menyerahkan isi kontrak perjanjian. “Silakan dibaca, setelah itu bisa langsung tanda tangan.” Naya mengambil map yang ada di atas meja. Ia membuka dan membaca isinya. Sejujurnya Naya tidak ingin tahu isinya karena pada kenyataannya ia sudah terikat dengan Sakha begitu mendapatkan uangnya. Kalau laki-laki itu berpikir ia akan kabur, jelas tidak akan terjadi. Meski berada di lubang semut pun, dengan uangnya, Sakha akan mudah menemukan keberadaan dirinya. “Isinya nggak beda jauh dari yang dibilang Pak Sakha. Nggak boleh pacaran, nggak boleh pergi sebelum diminta, dan merahasiakan hubungan ini,” ucap Naya. Lalu tangannya mengambil pulpen yang sudah disediakan. “Saya sudah siap dengan semua risikonya asal uanganya segera dikirim ke rekening saya.” Darius nampak mengulas senyum tipis. “Nanti jangan menyesal karena kamu tidak baca kontraknya dengan benar.” “Hidup saya memang sudah milik Pak Sakha, jadi apa yang perlu disesali,” gumam Naya dengan raut wajah pasrah. “Kalau begitu tolong berikan nomor rekeningnya biar segera saya kirim uangnya,” ucap Darius. “Dan ini kunci akses untuk masuk unit apartemen milik Pak Ganesha. Silakan tempati hari ini juga.” Naya meraih benda berbentuk tipis yang diberikan. Tubuhnya masih tegang, tidak menyangka kalau hidupnya di Jakarta akan berakhir seperti ini. “Pesan Pak Ganesha, jangan sampai orang lain tau kamu tinggal di sini. Kalau sampai bocor kamu punya hubungan dengan beliau, maka kamu harus siap dengan konsekuensinya.” “Baik, saya paham.” Darius merapikan lagi perjanjian yang sudah ditandatangani oleh Naya. Laki-laki itu mengarahkan pandangan kepada wanita di hadapannya. “Ada apa?” tanya Naya yang sadar ditatap oleh asisten Sakha. “Tidak aapa-apa. Kalau begitu saya permisi dulu.” “Iya Mas, terima kasih,” ucapnya. “Dan tolong, segera kirim uangnya.” “Baik, kamu tenang saja.” Naya menatap kunci akses apartemen yang diberikan oleh Darius. Ia menghela napas panjang, berat memikirkan semuanya. Meski beban hutang akan segera terangkat dari pundaknya, namun hari-hari kelam siap menyambutnya dan menemaninya entah sampai kapan. “Nasi sudah jadi bubur jadi mari jalani hidup sebagai wanita jal4ng,” gumamnya miris. *** Naya mengedarkan pandangan matanya pada unit apartemen yang kini akan jadi tempat tinggalnya. Melihat setaip sudut yang sangat asing baginya. Aroma kemewahan tercium pekat di hidungnya, seperti memberikan sentakan keras bagi Naya yang hidup dalam kesederhanaan bahkan cenderung kekurangan. Masih tidak tercerna di dalam akal sehat Naya akan jalan yang dipilih. Ada satu momen ia tidak menyesali keputusannya, namun lebih sering rasa bersalah yang muncul. Mengusik tidurnya yang kini lebih sering tidak nyenyak. Namun waktu tidak bisa diputar, ia harus menjalani keputusan yang sudah diambil. “Tempat sebesar ini dan aku tinggal sendiri. Apa dia nggak punya apartemen yang lebih kecil?” Naya memegang perutnya begitu selesai menggumam. Perutnya berusara, pertanda ia sedang lapar. Saat bertemu Darius, ia hanya minum kopi, itu pun tidak habis karena buru-buru ke kos lama untuk mengambil pakaian untuk dibawa ke tempat ini. “Tinggal di sini kalau mau beli makan ribet. Sebaiknya buat mi aja, mumpung ada sisa dari kos,” ucapnya. Area dapur yang minimalis, cukup membuat Naya tidak terbiasa. Untung saja tidak ada kesulitan dan mi yang dibuat sebagai pengganjal perut sudah tersaji dengan nikmat di atas meja makan tanpa ada drama yang berarti. “Aromanya enak sekali.” Tanpa menunggu lama, Naya langsung menyantap mi dalam mangkok. Tanpa telur atau potongan cabai. Namun tidak mengurangi semangat Naya untuk menghabiskannya. Beberapa menit berlalu dan mi di dalam mangkok masih tersisa setengah. Tiba-tiba tubuh Naya mematung saat mendengar ada suara yang bersumber dari pintu masuk. Naya pun memasang raut wajah waspada. Dan ketika ditunggu dengan tegang, sosok pemilik apartemen ini muncul di hadapannya. Sontak Naya terbatuk bahkan mi dalam mulutnya langsung tersembur ke atas meja. Ia semakin panik karena Sakha berjalan ke arah meja makan. Tanpa pikir panjang, ia beranjak dari kursi dan dengan cepat Naya membersihkan meja menggunakan tisu. Sakha tersenyum dingin melihat tingkah Naya. Bahkan laki-laki itu menutup lubang hidungnya yang terganggu dengan aroma mi instan yang dibuat oleh Naya. “Anda nggak bilang mau ke sini. Maaf saya masak mi tanpa izin,” ucap Naya masih dengan raut wajah panik. “Ini apartemen saya, jadi kapan pun saya mau datang, harusnya nggak perlu kasih kabar,” ucap Sakha. Tangannya menarik kursi, lalu duduk di hadapan wanita simpanannya. “Mi instan makanan nggak sehat, harusnya kamu jangan makan itu. Dan saya nggak suka aromanya.” Naya berdeham sembari mengusap pelan bibirnya karena takut ada sisa makanan. “Saya belum sempat beli bahan makanan. Mau beli makan dekat sini, saya masih belum terbiasa dengan lingkungannya.” Laki-laki itu menatap Naya yang mesih berdiri. Salah satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum remeh karena penampilan wanita di gadapannya. “Kenapa Anda senyum?” “Bagaimana saya bisa melepas lelah kalau harus b******u dengan seorang gadis yang memakai piyama bergambar kodok seperti ini?” Kedua mata Naya membola dan pipinya bersemu merah. Ia menatap penampialnnya yang memakai baju tidur dengan gambar kartun keroppi. Naya pun berdeham karena tidak bisa menahan malu. “Maaf Pak Sakha, seharusnya saya harus pakai baju apa?” “Kamu lugu atau memang pura-pura?” “Maksudnya?” Sakha menarik dasi agar terasa lebih longgar setelah seharian mencekik lehernya. “Tugas kamu adalah melayani saya. Tapi kalau penampilan kamu nggak menarik seperti ini, gimana saya bisa nafssu? Yang ada saya rugi bayar kamu dan kasih fasilitas selengkap ini.” “Maksudnya, saya harus telanjang?” Kedua mata Sakha menyipit dan kembali tersenyum tipis. “Boleh juga. Mungkin masak sambil menampilkan lekuk tubuh kamu biar saya semakin bergairahh.” Desiran aneh menyusup dalam diri Naya mendengar kalimat kotor dari bibir Sakha. “Saya belum terbiasa, jadi maaf.” Sakha tertawa renyah. “Kamu benar-benar polos, Naya. Sepertinya saya harus banyak mengajari kamu,” sindirnya. “Saya sudah bilang, sambut saya dengan pakaian yang sesuai dengan tugas kamu. Jangan seperti anak kecil dengan piyama seperti ini. Saya butuh hiburan bukan menambah sakit kepala saya. Kalau seperti sekarang, kamu kurang menarik dan seksi.” Naya membungkuk pelan dengan perasaan tidak nyaman. “Saya minta maaf Pak Sakha. Ini hari pertama saya di sini jadi saya nggak tahu kalau Bapak akan datang sekarang.” “Saya tidak menerima alasan!” Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Berjalan menghampiri Naya yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya menarik ikan rambut yang Naya kenakan hingga rambut wanita itu tergerai. “Lain kali, saya nggak mau disambut dengan aroma mi instan dan penampilan seperti ini. Tugas kamu adalah membuat saya senang dengan pelayanan yang memuaskan. Selain dengan tubuh kamu, saya juga mau kamu memanjakan lidah saya dengan makan malam yang enak. Jadi saat besok saya datang ke sini, tidak ada lagi kesalahan seperti ini.” “Ba – baik Pak Sakha,” ucap Naya dengan suara bergetar. “Satu lagi, jangan panggil saya Pak kalau kita sedang berdua.” Sakha mengapit dagu Naya agar berhenti menunduk. “Apalagi saat melayani saya di ranjang, kamu harus menyebut nama saya.” Naya menatap wajah tampan laki-laki di hadapannya. Ia pernah menyentuh, bahkan mencium bibir Sakha. Semuanya masih terekam jelas di ingatannya. Namun entah kenapa saat ini ia merasa takut jika harus melakukan itu lagi. “Kenapa diam? Apa kamu sudah paham?” “Iya Pak. Hhmm, maksud saya Sakha.” Sakha melepaskan dagu Naya. “Baiklah, malam ini kamu masih saya maafkan. Sekarang saya harus pergi jadi kamu bisa istirahat.” “Iya.” “Jaga tempat ini dengan baik, jangan sampai mengubah apa yang sudah ada.” Sekali lagi Naya mengangguk. “Baik Sakha, saya nggak akan lewati batasan.” Begitu Sakha hilang dari hadapannya, Naya menghela napas panjang. Ia mengisi kembali paru-parunya dengan oksigen karena merasa sesak dalam dadanya. Bagaimana bisa ia setakut ini berhadapan dengan Sakha, padahal mereka hampir melewatkan malam panas bersama. Ia juga merasa malu karena mendapatkan kritik atas penampilannya. “Kurang menarik dan kurang seksi? Terus dia mau aku pakai apa? Lingerie?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD