Erik kira setelah kelancangannya kemarin ia akan didepak oleh wanita itu, tapi ternyata ia salah, wanita itu tetap memperlakukannya dengan baik namun perbedaan yang paling ketara sekarang wanita itu seperti menghindar darinya, yah Erik cukup tau diri kalau memang ia penyebab semua kekacauan ini.
"P-permisi." Erik dengan sungkan memanggil bodyguard yang memang ditugaskan untuk menjaganya itu.
Bodyguard itu menoleh, dengan sigap mendekat. "Iya, Anda butuh sesuatu?"
"Aa, itu," Erik menggaruk tengkuknya kikuk, membuat bodyguard tadi jelas bertanya-tanya. "Tante .. ah wanita yang membawa saya kesini, bukan-bukan ... eung itu—"
"Maksudnya Nyonya." Potong bodyguard tadi seolah tau maksud Erik, Erik langsung terkesiap, buru-buru mengangguk.
"Iya, saya tidak melihatnya, dia dimana?"
"Nyonya sedang mengurus pekerjaan, apakah ada perlu? Saya akan panggilkan jika memang mendesak."
Erik langsung diam, tak lama menggeleng. "Tidak usah mengganggu jika dia memang sedang sibuk, yasudah terimakasih." Erik lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap keluar jendela pesawat, sekarang memang dirinya sedang naik pesawat menuju kota.
Cukup lama diam dalam keheningan membuat lelaki itu mulai memejamkan matanya, dan entah sejak kapan rasa kantuk menyelimutinya. Erik tertidur.
***
"Detailnya nanti akan saya kirim."
"..."
"Iya, kurang lebih tiga jam lagi saya akan sampai, nanti akan langsung saya jadwalkan meeting dengan Bapak."
"..."
"Baik terimakasih sudah mengerti posisi saya." Kemudian Debora mematikan telepon, wanita yang memakai celana kain dipadukan blazer hitam itu berdiri dari kursinya, kemudian berjalan menuju kursi Erik, ia sengaja tidak memesan tempat duduk dekat dengan lelaki itu karena takut lelaki itu tidak nyaman.
"Tidur?" tanya Debora pelan pada bodyguard yang ia tugaskan menjaga Erik.
Bodyguard itu langsung mengangguk sopan, "iya Nyonya."
Debora lalu mengangguk, "kamu bisa pergi," titahnya memberi tanda membuat bodyguardnya langsung paham dan beranjak dari sana.
Debora mengambil posisi duduk di kursi bodyguardnya tadi, lalu dengan pelan wanita itu merapikan selimut yang dikenakan oleh Erik.
Tiba-tiba Erik membuka matanya.
Debora jelas tersentak, Erik yang sudah terbangun sejak mendengar suara Debora tadi memang sengaja berpura-pura masih tidur.
"Kamu tidak tidur?" Debora berusaha tidak terlihat panik, langsung mundur menjaga jarak.
Erik menelan ludah, "Tante darimana?"
"Saya tidak dari mana-mana, saya ada—"
"Tante menghindari saya ya," tembak Erik telak membuat Debora langsung bungkam.
Debora berniat menyanggah, namun justru berubah pikiran, wanita karir itu menghela napas panjang. "Iya, saya cuma ingin memberi waktu untuk kita saling mendinginkan pikiran."
Erik menyendukan matanya, terlihat sangat bersalah. "Tolong maafkan saya untuk masalah kemarin."
"Lupakan saja, lagian bukan sepenuhnya salah kamu, mana ada wanita yang mengajak berumah tangga lelaki yang baru dikenalnya."
"Tapi tidak seharusnya saya berucap seperti kemarin, Tante boleh marah atau pukul saya, saya tidak akan melawan."
Debora jadi terdiam, apa karena terbiasa dipukul dan dimarahi membuat mental pemuda ini jadi lemah, entah kenapa Debora jadi merasa marah jika membayangkan pemuda ini disiksa oleh keluarganya.
"Ngomong-ngomong apa saya kelihatan tua sampai dari kemarin kamu panggil Tante?" Debora memilih mengganti topik.
Erik yang sejak tadi menunduk seketika terperanjat syok, langsung buru-buru menggeleng kuat. "T-tidak! Maafkan saya jika sudah salah sangka, h-habisnya Tan— maksud saya Anda tidak memberitahu nama Anda." Erik buru-buru menjelaskan, jujur wanita di depannya ini tidak kelihatan tua sama sekali, tapi dari penampilannya yang dewasa dan berkelas membuat Erik segan jika memanggil tidak sopan.
Debora diam-diam menahan kedutan geli di ujung bibirnya melihat wajah panik Erik, "Debora." Ujarnya membuat Erik mengerjap, "nama saya Debora."
Erik membasahi bibirnya, "saya—"
"Tapi setelah dipikir-pikir memang seharusnya kamu memanggil saya Tante sih, kamu kan masih bau kencur."
Erik melotot tak terima, "saya sudah dewasa!"
"Oh ya," Debora terlihat sangat senang mengerjai Erik, "tapi kelihatan masih sangat kecil," dengan tatapan sengaja memindai seluruh tubuh Erik.
Erik jadi sangat terhina dengan tatapan yang seolah-olah melihatnya sebagai anak kecil itu, "tubuh saya sebenarnya lebih bagus dari perkiraan Tante!" lugasnya tanpa basa-basi, tak lama setelah mengatakan itu Erik langsung membungkam mulutnya, apalagi tatapan mata Debora juga kelihatan sama kagetnya.
Sampai tak lama suara kikikan tertahan keluar dari mulut wanita itu, Debora berusaha keras menahan agar tidak tertawa renyah. Erik yang melihatnya jadi mencebik.
"Haha iya-iya saya percaya," Debora kemudian berdiri dari kursinya membuat Erik langsung menatapnya. "Saya masih ada pekerjaan, kamu lanjut tidur saja perjalanannya masih lumayan panjang soalnya."
Grep.
Debora yang ingin beranjak langsung tersentak ketika pergelangan tangannya dicekal Erik, pemuda itu juga kelihatan berusaha keras memberanikan dirinya.
"Saya ... boleh ikut?"
***
"Katanya mau ikut tapi malah tidur," Debora menggeleng di sela pekerjaannya, kapanpun dimanapun wanita itu memang tidak bisa lepas dari pekerjaan karena Debora memang seorang yang workaholic.
Erik terlihat sangat nyenyak di kursinya, wajah tenang lelaki itu entah kenapa menarik perhatian Debora. Ia memang sudah tau kalau Erik tampan, tapi semakin diamati ia jadi makin sadar kalau ketampanan lelaki ini sangat luar biasa, apalagi Erik sangat natural ia yakin jika dipoles sedikit pasti ketampanan lelaki ini makin menguar.
Hidung bangir, kulit khas Indonesia, rahang tegas, dan badan proporsional. Debora tanpa sadar tersenyum mencurigakan, "ternyata aku sangat beruntung dapat bibit unggul." Kekehnya kemudian tersentak dan melanjutkan pekerjaannya.
Apa yang sedang ia pikirkan?!
***
Erik terperangah, tercengang, takjub. Entah apa yang bisa menggambarkan kekaguman lelaki itu sekarang, rumah yang sangat megah dan fantastis yang bahkan tidak pernah ia lihat seumur hidup bisa ia masuki, bahkan jika dibandingkan dengan tempatnya menginap di desa kemarin itu tidak ada apa-apanya, padahal tempat itu ia kira sudah paling mewah baginya.
"Apa yang kamu lakukan?" Debora mengernyit aneh melihatnya yang sedang melepaskan sandal.
Erik terkesiap, "saya takut lantainya jadi kotor." Jawabnya malu-malu.
Debora terhenyak, beberapa orang di belakang mereka tampak menahan kikikan geli melihat aksi katrok Erik, tapi Debora tidak, wanita itu justru tetap tenang. "Pakai alas kakimu, jika lantainya kotor ada pelayan yang akan membersihkan." Titahnya tidak ingin membuat Erik malu.
Erik mengangguk, dengan cepat memakai kembali sandalnya, padahal biasanya di desanya orang akan melepas alas kaki jika lantainya keramik, tapi disini semua orang malah tetap memakai alas kaki meskipun lantainya marmer.
'Orang kaya memang beda.' Batinnya.
Erik terus celingukan ke segala arah begitu benar-benar ada di dalam, rumah ini bukan seperti rumah tapi seperti istana bagi Erik, bahkan dalam mimpi pun ia tidak pernah membayangkannya. Bahkan saat berjalan Erik sangat hati-hati, lelaki itu takut menyenggol barang dan merusaknya karena pasti harganya tidak dapat ia bayangkan.
"Ini kamarmu."
Atensi Erik langsung teralih, menatap ruangan bernuansa abu-abu hitam di depannya.
"Kamar ini disiapkan secara mendadak jadi mungkin ada yang kurang, kamu nanti bilang saja ke saya jika butuh sesuatu."
Erik langsung menggeleng tanpa berpikir, "ini sudah lebih dari cukup." Balasnya buru-buru, menurutnya kamar ini bahkan terlalu mewah untuknya.
Debora mengangguk, "kalau begitu kamu bisa langsung istirahat, nanti akan saya panggil saat jam makan."
Erik mengangguk patuh membuat Debora diam-diam menahan senyuman samar, entah kenapa lelaki muda ini sangat menggemaskan.
Debora kemudian berbalik untuk beranjak, namun ia langsung tersentak saat tangannya di cekal oleh Erik, lelaki itu menatap Debora lekat.
"Tante mau kemana?"
"Saya mau bekerja."
Erik langsung melepaskan tangannya, sejujurnya ia cukup takut sendirian di tempat asing ini, tapi ia adalah seorang lelaki, ia tidak boleh terlihat lemah.
"Ah, selamat bekerja." Ujar Erik sedikit menunduk.
Debora mengelus kepala Erik sekilas, lalu tanpa mengatakan apapun pergi meninggalkan Erik sendirian. Setelah kepergian Debora pemuda jangkung itu langsung memegang bekas elusan Debora, terlihat kalau ia lumayan senang.
"Ini beneran kamarku? Wah~" tanpa membuang waktu Erik segera bergegas masuk ke dalam kamar sembari membawa barangnya, kamar ini sangat luas bahkan ukurannya mungkin lebih luas ketimbang rumahnya di desa dulu.
Bicara tentang desa kenangan buruknya seketika menyeruak keluar, Erik menghela napas berat jika mengingat lika-liku hidupnya. Ibu tiri jahat, Adik tiri gak tau diuntung, Ayah gak berguna, dan kekasih yang ternyata tukang selingkuh.
Erik tanpa sadar tersenyum miris jika mengingat kisah hidupnya, namun sekarang ia bagai mendapat berkat dari Tuhan, kehidupannya berputar 180 derajat. Entah kenapa Erik merasa masa-masa kelam di hidupnya sudah berakhir, sekarang waktunya ia membuka lembaran baru dengan kebahagiaan.
"Lebih baik aku mandi," gumamnya setelah cukup lama melamun, Erik mengambil beberapa pakaiannya dari dalam tas lalu bergegas menuju kamar mandi, dan senyum lebarnya langsung lenyap. "Kok gak ada gayung?" cengonya celingukan, hanya ada shower, bath up, wastafel, dan closet duduk. "Trus kenapa WC nya begini bentukannya?" Erik benar-benar norak, yah mau gimana lagi selama hidup 20 tahun ia hanya tau desanya yang terpencil, bahkan ini pengalaman pertamanya ke kota, apalagi hidupnya hanya berputar mencari uang tanpa tau perkembangan teknologi.
Sekarang Erik merasa sangat payah.
Dan begitulah, acara mandi yang ia kira menyenangkan harus berubah menyebalkan.
***
Sekitar satu jam acara mandi lelaki itu akhirnya beres, padahal biasanya Erik mandi cuma menghabiskan waktu paling lama 15 menit. Ya mau gimana lagi, ia benar-benar mencoba alat-alat canggih itu tanpa bantuan siapapun, karena HP nya rusak akibat ia hujan-hujanan kemarin alhasil ia tidak bisa bertanya lewat google, dan kalau minta bantuan orang lain Erik takut ditertawakan.
"Orang-orang kaya kenapa suka yang aneh sih, mau berak susah banget pake WC duduk!" gerutunya, ia merasa kurang nyaman jadi pupnya gak mau keluar.
Tok tok tok.
Erik menoleh ke arah pintu, "itu pasti Tante Debora!" serunya langsung bergegas membuka pintu, dan tebakannya benar.
Debora yang bersedekap menunggu di depan pintu mendongak, raut wajahnya seketika datar ketika melihat penampilan Erik.
"Sudah waktunya makan ya, Tan?" tanya Erik berbinar.
"Baju apa yang kamu pakai? Kenapa tidak pakai pakaian yang sudah disiapkan?"
Erik terhenyak, spontan menatap pakaiannya sendiri, memangnya ada yang aneh ya dengan pakaiannya?
"Saya pikir lebih baik pakai baju saya sendiri," Erik menjawab jujur.
Debora membuang napas panjang, tanpa instruksi langsung berjalan masuk dan menarik pergelangan tangan Erik membuat lelaki itu memekik kaget. Debora membawa Erik masuk ke walk in closet, lalu dengan serius memindai satu persatu baju disana. Di sebelahnya Erik justru sedang melongo melihat begitu banyaknya pakaian, sepatu bahkan sampai aksesoris disana. Ini seperti toko baju bagi Erik.
"Lepas pakaianmu!"
"Hah apa?!" Erik bukannya tidak dengar tapi syok saja mendapat perintah dadakan seperti itu.
Debora berdecak, malas menjelaskan wanita itupun langsung melepas satu persatu kancing baju Erik. Bahkan baju Erik lebih kumel daripada baju pelayannya, sebenarnya semiskin apa lelaki ini.
Erik yang tubuhnya dipegang-pegang langsung kaku, bahkan detak jantungnya jadi menggila. Dari dekat Erik bisa mencium aroma harum yang menyenangkan dari Debora, bahkan ia bisa melihat jelas kalau kulit wajah Debora benar-benar halus dan lembut.
Glek.
"Selesai."
Mendengar suara Debora membuat Erik tersadar, Debora terlihat serius memindai ujung rambut sampai ujung kaki Erik. Bahkan cuma mengganti baju saja ketampanan lelaki itu langsung bertambah drastis, sepertinya ia harus membawa Erik ke salon.
"Ganti celanamu." Debora menyodorkan celana jeans hitam ke arah Erik.
Erik berkedip terlihat masih linglung, "saya pakai sendiri?" tanyanya tanpa sadar.
Mendengar pertanyaan Erik Debora reflek menoleh, menatap tak terbaca lelaki itu. "Lalu kamu mau saya yang pakaian?" tanyanya balik.
Erik berkedip membeo, dan tak lama wajahnya berubah merah padam saat sadar pertanyaan bodohnya sendiri. Spontan lelaki itu langsung berbalik berlari pergi.
Bodoh, ia sangat malu sekarang!