Daania tersadar saat merasakan tubuhnya terasa dihimpit oleh beban berat. Ia mulai mengerjapkan matanya beberapa kali untuk melihat apa yang terjadi pada tubuhnya.
Betapa terkejutnya Daania saat mendapati tubuhnya tengah didekap oleh Evans dalam keadaan tubuh tanpa dress yang terakhir kali ia pakai saat sebelum memejamkan mata, dan kini ia hanya mengenakan bikini yang masih menempel di bagian tubuh intinya.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi? Apa Evans sudah menyentuhku? Itu artinya sebentar lagi aku akan menerima amukan darinya karena dia sudah mengetahui aku sudah tidak virgin lagi, apa dia akan menceraikanku hari ini juga?" batin Daania dalam hatinya yang sakit.
Evans menyadari Daania sudah membuka mata, ia ikut membuka matanya yang sempat ikut terpejam karena merasa bosan terlalu lama menunggu Daania sadar dari pingsannya.
Mata hazel Evans menatap tajam saat melihat Daania yang saat ini sedang terisak menahan suara tangisannya.
"Kenapa menangis? Aku sudah mengobatimu, maka cepatlah sembuh agar tidak merepotkanku lagi!" ucap Evans dengan nada ketus, ia melepaskan tubuh Daania dari dekapannya.
"Jangan salah paham dulu, aku mendekapmu karena dipaksa oleh Mommy, dia memintaku untuk melakukan skin to skin agar demammu yang tinggi segera turun. Jadi wanita jangan terlalu lemah, dan jangan bersikap bodoh dengan berenang di pagi hari lagi," jelas Evans menjawab segudang pertanyaan yang ada dalam benak Daania.
Mendengar penjelasan itu membuat Daania bisa bernapas sedikit lebih lega, karena ternyata Evans belum menyentuhnya dan tidak mengetahui masa lalunya yang kelam.
"Mommy berpikir kita sudah berhubungan saat semalam, makanya dia memintaku untuk mendekapmu yang sedang sakit, kalau aku menolak maka dia akan curiga dengan hubungan kita." Evans terus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua selama Daania tidak sadarkan diri.
Pukul 09.00 pagi tadi Luna kembali ke kamar Evans untuk mengantarkan beberapa pakaian, makanan dan buah-buahan untuk Daania. Tanpa disangka ia menemukan menantunya tidak sadarkan diri di atas sofa.
Kepanikan Luna malah mengajak Evans untuk ikutan panik, hingga membuat Evans harus bersandiwara untuk pura-pura peduli akan kondisi Daania yang demam saat itu. Evans sempat heran dan bertanya-tanya, sejak kapan Daania demam.
Namun dengan cepat ia mengingat kejadian sewaktu di kolam renang, ia melihat wanita itu kedinginan dan menggigil tapi Evans malah tak memperdulikannya sama sekali, ia malah dengan tega menyuruh Daania yang kedinginan untuk tetap melayani perintahnya, padahal wanita itu Daania belum mengisi perutnya sebelum masuk kolam renang.
Karena ada perasaan bersalah dalam dirinya, akhirnya Evans memindahkan tubuh Daania untuk tidur di atas ranjang.
Sebelum Luna meninggalkan kamar Evans kembali, ia meminta anaknya untuk mendekap Daania yang sedang demam tinggi. Barulah Luna bisa pergi dengan tenang.
Evans mendekap Daania sejak pukul 09.00 pagi sampai dengan 15.00 sore. Ia merasa nyaman saat memeluk tubuh Daania walau wanita itu sangat menyebalkan baginya, namun Evans mau berbuat baik saat itu karena bagaimanapun semua itu adalah salahnya hingga menyebabkan Daania sakit.
"Terima kasih kamu sudah mau peduli padaku," ucap Daania dengan nada yang masih terdengar lemah.
Evans merasa tidak perlu untuk menjawab ucapan terima kasih Daania.
"Makanlah dulu, tadi Mommy bawa makanan untukmu, semuanya ada dalam microwave. Kalau kau lapar, langsung ambil saja di dapur dan makan selagi hangat!" titah Evans dengan wajahnya yang sudah kembali datar.
Evans bangkit dari ranjang, lalu ia memakai bajunya kembali, setelah itu Evans berjalan menuju almari hendak mengambilkan pakaian untuk Daania kenakan.
"Pakailah bajumu, jangan pakai baju terbuka lagi kalau tahu fisikmu lemah dengan cuaca dingin!" kata Evans seraya melemparkan dress panjang ke arah ranjang.
Mulut Daania terasa berat untuk banyak bicara di hadapan Evans, ia lebih memilih diam dan menurut saja agar Evans tidak terus memarahinya.
Daania berusaha bangkit dari ranjang walau dengan tubuh yang masih terasa lemas dan ia memaksakan diri untuk kuat agar dapat memakai pakaiannya setelah Evans berlalu keluar kamar menuju balkon.
Setelah itu Dania berjalan menuju dapur untuk mengambil makanan yang Evans bilang tadi, dia sangat merasa lapar, karena belum memakan apapun sejak bangun tidur tadi pagi.
Mata Daania berbinar saat melihat dua box makanan kesukaannya ada dalam microwave, ia mengambil keduanya dan meletakkan makanan itu di atas meja yang berada di dapur. Daania tidak bisa menahan rasa laparnya lagi terlalu lama, ia menyantap makanan itu sampai habis di dapur seorang diri.
Luna memang sudah menganggap Daania seperti anak perempuannya, bukan lagi sebagai menantu. Selama satu bulan sebelum hari pernikahan digelar, Luna sering menghabiskan waktu bersama Daania seperti pergi shopping, perawatan di salon dan jalan-jalan ke tempat wisata. Luna sudah sangat mengenal Daania, bahkan makanan dan minuman menantunya pun sudah berada di luar kelapanya untuk dihafal.
"Dulu bayanganku, setelah menikah aku akan melakukan apapun berdua dengan suamiku, kita akan bertukar makanan dan saling suap-suapan. Ternyata itu hanya khayalanku saja, karena suamiku tidak mencintaiku dan dia tidak menganggapku ada," gumam Daania dengan raut wajah yang begitu menyedihkan.
Tanpa terasa lagi dan lagi air mata mengalir membasahi pipinya, namun dengan cepat Daania menghapus air mata kesedihan itu dengan kasar.
"Aku sangat benci air mata! Aku benci kesedihan! Aku tidak boleh lemah seperti ini, aku harus bahagia walau bagaimanapun keadaannya saat ini," ucap Daania menguatkan dirinya sendiri sembari menutup telinganya dengan kedua telapak tangan.
"Kalau Evans bisa, kenapa aku tidak? Aku pasti bisa bahagia walau tidak dianggap ada, karena suatu hari nanti keadaan akan berbalik dan waktu akan berpihak padaku. Aku yakin hati Evans akan luluh seiring dengan berjalannya waktu."
Terlintas dalam benaknya untuk menghindari Evans selama beberapa hari, Daania sangat ingin pulang ke apartemennya untuk menenangkan dirinya yang sedang merasa terpuruk dengan kenyataan hidup yang harus ia jalani selama menjadi istri Evans.
Daania bangkit dari duduknya menuju wastafel untuk meletakan bekas tempat makannya di sana. Ia mengumpulkan keberanian diri untuk menemui Evans yang berada di balkon kamar.
Terlihat Evans sedang berkutat dengan laptopnya di pojokan balkon sambil memeriksa berkas yang ada di tangannya. Daania merasa tidak enak untuk mengganggu Evans yang sedang bekerja, ia takut Evans akan marah padanya, jika mengganggunya yang sedang sibuk.
Daania malah kembali melamun dengan pandangan kosong, hingga suara dehaman keras Evans menyadarkannya.
"Ada apa?" tanya Evans masih berada di posisinya sejak awal.
"Evans, boleh aku bicara sebentar?" tanya Daania dengan sedikit ragu-ragu.
Evans mengangguk. "Kemarilah dan duduk di hadapanku. Apa yang mau kau bicarakan?" tanyanya dengan berbaik hati.
Daania melangkah maju untuk menghampiri Evans, lalu ia duduk di bangku kosong walau dengan perasaan serba salah. "Begini Evans, apa boleh aku menginap di apartemenku selama beberapa hari?"
"Untuk apa?"
"Untuk menenangkan diri."
"Memangnya kau gila sampai butuh ketenangan diri segala?"
"Bukan begitu Evans, aku hanya akan menginap di apartemen selama dua malam, setelah itu aku akan kembali lagi ke sini. Kata Mommy jatah kita menginap di sini selama satu Minggu, aku berpikir untuk apa kita selama itu berada di dalam kamar berduaan tanpa melakukan apa-apa."
Dahi Evans mengernyit, lalu ia menaikkan satu alisnya sembari menyeringai. "Ternyata nyali kamu besar juga ya, Daania. Demam baru turun beberapa menit yang lalu dan sekarang malah meminta izin untuk kelayapan. Sadarlah Daania, kamu itu sudah tidak lajang lagi, lupakan dunia luar dan fokus mengurus aku dan patuhi semua perintahku!"
"Tapi Evans aku juga butuh kebebasan, kalau aku terus dikurung di sini lama-lama aku bisa gila sungguhan."
"Hei, apa kau tidak ingat dengan perkataanku semalam, kau tidak boleh membantah apalagi melawan perkataanku! Jika kau pergi, kau malah membuatku repot harus menjawab apa ketika Mommy datang dan mencarimu, kau harus selalu berada bersamaku ketika aku membutuhkanmu, karena kau itu pajanganku!"
Daania membulatkan kedua bola matanya ketika Evans benar-benar mengatakan dengan jujur, bahwa ia hanya menganggap Daania sebagai pajangannya saja.
Sejak semalam Daania bersusah payah untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia bukanlah istri pajangan, itu semua hanya pikiran buruknya saja, tapi detik ini Evans mengeluarkan perkataan itu dari mulutnya sendiri dalam keadaan sadar, dan hal itu sangat menghancurkan harga dirinya.
Daania sudah kehilangan harga dirinya, selama ini semua orang selalu memujanya karena kecantikan dan kesempurnaan yang ia miliki, namun baru kali ini Daania menemukan seorang lelaki yang merendahkan harga dirinya bahkan menghinanya secara terang-terangan.
Tapi kenapa Daania tidak berani melawan sikap kurang ajar Evans seperti waktu ia berani melawan Ayahnya? Kenapa Daania tidak berani meninggalkan lelaki itu dan pergi menjauh, sejauh-jauhnya?
Apa yang membuat Daania mau bertahan dengan harga diri yang sudah diinjak-injak oleh suaminya sendiri, di hadapannya?
"Aku bertahan karena pernikahan sialan ini baru berumur satu hari! Dan aku terpaksa bertahan demi menjaga nama baikku! Aku akan balik menghinamu ketika aku menemukan kelemahanmu Evans Cruise!! Kau tunggu saja itu!!" batin Daania yang merasa jengah dengan penghinaan yang Evans lontarkan padanya.
Daania meraih kerah kemeja Evans dan meremasnya dengan erat. "Tega kamu Vans anggap aku sebagai pajangan kamu, memangnya aku ini barang yang bisa kamu sebut sebagai pajangan!" ucap Daania dengan air mata yang sudah menganak dan bibir yang bergetar karena menahan tangis.
Evans melepaskan tangan Daania yang menempel di kemejanya, kemudian ia bangkit dari duduknya, lalu tangannya mencengkram rahang wajah Daania dengan erat.
"Jangan munafik, alasanmu mengajukan diri sebagai pengganti kakakmu karena aku kaya raya dan punya kekuasaan bukan? Dengan aku menikahimu, maka karirmu di dunia entertainment akan semakin cemerlang karena bisa menjadi pendamping orang terpandang di kota ini 'kan!" ucap Evans dengan rahang mengeras dan mata yang memicing tajam.
Air mata Daania terjatuh karena tidak kuat lagi untuk menahan kesedihannya. Kali ini Evans benar-benar keterlaluan dan membuatnya sangat muak.
"Kalau begitu aku memintamu untuk memenuhi semua keinginanku, kamu hanya menjadikan aku sebagai pajangan kan, maka aku ingin meminta dibayar dengan harga setimpal!"
"Aku akan membayar berapapun harga yang kau minta asalkan kau tunduk pada perintahku."
"Aku minta 50 persen dari seluruh harta kekayaanmu," kata Daania dengan serakah.
"Itu harga yang terlalu tinggi untuk wanita sepertimu!" jawab Evans sambil berdecih kesal.
"Lalu berapa harga yang pantas untukku?" tanya Daania sambil menggertakkan giginya.
"Harga yang pantas untukmu adalah satu persen dari keseluruhan harta kekayaanku, satu persen dari hartaku saja, itu sudah melebihi kekayaan milik keluargamu."
Daania menggelengkan kepalanya dengan tersenyum penuh ironi. "Kamu itu billionaire di kota New York, lalu kenapa kamu tidak royal padaku yang sudah menjadi istrimu, Evans?"
"Seperti yang aku bilang tadi, kau hanya kuanggap sebagai istri pajangan saja untuk ditunjukkan pada dunia, aku menikah hanya demi menuruti permintaan orangtuaku, jadi kurangi rasa percaya dirimu yang berlebihan itu. Kau itu tidak lebih dari seorang w************n yang mengandalkan wajahmu yang tidak terlalu cantik itu untuk mendapatkan pundi-pundi uang, sampai kapanpun aku tidak akan pernah mencintaimu, Daania!
Daania benar-benar sudah kehilangan harga dirinya yang tinggi di hadapan Evans, lelaki itu dengan enknya menjatuhkannya dengan sangat mudah.
"Evans benar-benar keterlaluan, aku tidak bisa hidup dengannya. Kalau dari awal aku tahu dia sekejam ini saat memperlakukanku, lebih baik aku membiarkan Diandra yang menikah dengan lelaki gila ini!" geram Daania yang lagi-lagi hanya mengumpat dalam hati.
"Kalau begitu aku ingin kita CERAI!" ucap Daania dengan suara lantang dan keberanian yang entah datangnya dari mana, kemudian tangannya menghempaskan tangan Evans yang mencengkram rahangnya sangat kencang.