2. Scarlet

1315 Words
“Hei,” sapa seorang wanita kepada Ivan. “Ijinkan aku duduk di sini sejenak?” tanyanya sambil menyelipkan tubuh mungilnya di bangku yang ada di depan meja yang di duduki Ivan. Pria itu mengerutkan dahinya. Ia sedang menikmati sarapannya di diner favoritnya ketika mendadak wanita itu menghampiri mejanya dan memutuskan untuk mengundang dirinya sendiri duduk. “Maaf?” tanya Ivan. “Berpura-pura lah untuk mengajakku bercakap-cakap,” timpal wanita itu sambil memaksakan sebuah senyuman di wajahnya yang sebenarnya terlihat pucat. Mirip dengan orang yang sedang ketakutan, tebak Ivan. Wanita itu tidak berhenti melirik ke arah pintu masuk. Seolah sedang menunggu sesuatu, atau seseorang. Tangannya meremas ujung jaket yang dikenakannya hingga kukunya terlihat putih. Mendadak wanita itu menarik nafas. Terkesiap dengan mata membelalak. Diikuti dengan suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekat. Bahkan tanpa menoleh, Ivan bisa merasakan keberadaan seseorang dibelakang punggungnya. Berdiri menjulang di sebelahnya bak sebuah gunung berapi. Panas dan penuh dengan emosi. “Kau kira kau bisa kabur, Scarlet?” geram suara dibelakang tubuh Ivan. Wajah wanita yang duduk di depan Ivan berubah lebih pucat dari sebelumnya. Ia memundurkan tubuhnya ke dalam, menjauh dari pria yang baru datang. Tapi jelas, wanita yang di panggil Scarlet itupun tahu bahwa ia sudah terdesak. Tidak ada tempat untuknya kabur. Pria itu menjulurkan tangan kekarnya kedepan, hendak meraih pundak wanita itu ketika, Ivan, entah mengapa, memutuskan untuk ikut campur. Sesuatu yang tidak biasanya dilakukan olehnya. Ivan menjulurkan tangannya sendiri, menghalangi pria itu dengan mencengkeram pergelangan tangan pria itu. “Tidakkah kau lihat kami sedang menikmati sarapan?” tanya Ivan dengan suara datar. “Apa?” balas pria itu kebingungan. “Sarapan,” ulang Ivan. “Kami sedang menikmati sarapan. Bisakah kau tidak mengganggu?” Pria berbadan kekar itu menarik tangannya dari cengkeraman Ivan. “Wanita ini adalah milik Tuan Moxley. Apakah kau hendak mencari mati dengan menentang Tuan Moxley?” geram pria itu kepada Ivan. Ivan menggeram dalam hati. Sialan! Moxley. Tentu saja ia tahu siapa Moxley. Semua orang di kota ini tahu siapa Moxley. Pengusaha ternama yang menguasai hampir 80 persen bisnis ilegal di kota itu. Salah satu pengguna jasanya dan memiliki hubungan dengan keluarga Chad Vladimir. Ivan melirik ke depan. Kearah wanita bernama Scarlet. Wanita itu memiliki wajah yang hampir mengingatkannya pada sosok seorang malaikat. Jika saja tidak tertutup oleh make up tebal yang dikenakannya. Wanita itu membalas tatapannya dengan pandangan tidak berdaya. Memohon. Matanya yang lebar mengingatkan Ivan akan seekor anak anjing yang kehilangan induknya. Sangat tersesat dan ketakutan. Seberapa jauh ia akan mengorbankan ketenangannya demi wanita yang tidak dikenalnya ini? Bukankah ia tidak menerima berkas dari Chad karena ia ingin menghindari permasalahan? Lagipula, jika Moxley terlibat. Bisa dipastikan siapapun wanita ini bukanlah wanita baik-baik. Paling ia hanyalah salah satu gundik Moxley yang memutuskan pekerjaannya rupanya tidaklah seperti yang dikira. Baru saja Ivan hendak mempersilahkan pria itu membawa buruannya, sesuatu merubah pikirannya. Sesuatu di mata wanita itu membuat Ivan bimbang. Kilasan kepedihan. Atau kehampaan? Sesuatu yang sama dengan yang dimilikinya. “Tidak,” ucap Ivan. “Ia akan pulang denganku.” Jawaban Ivan mengejutkan tidak hanya bagi pria bertubuh 2xlipat tubuh Ivan itu tapi juga sang wanita yang duduk di depan Ivan. “Hah! Kau sudah menandatangani surat kematianmu sendiri,” gelak pria itu menertawai Ivan dengan tangannya masuk ke dalam jasnya, kemungkinan besar hendak meraih senjata yang disimpannya. Senjata yang tidak akan sempat digunakannya, karena secepat kilat, Ivan berdiri. Garpu ditangan. Yang dalam sepersekian detik tertancap ke leher pria itu. Pria kekar itu langsung mendelik. Otaknya bahkan belum memahami apa yang barusan terjadi, ketika mendadak darah mengalir keluar dari lehernya, mencekiknya hingga tidak mampu bersuara sama sekali. Brengsek! Kini aku harus pindah lagi! Geram Ivan sambil meraih jaket kulit yang di letakkannya diatas bangkunya dan mengenakannya. Dengan santai, ia meraih ke saku celananya dan mengeluarkan lembaran uang yang ditinggalkannya diatas meja. Tanpa menunggu pria kekar yang kini roboh itu berhenti mengejang, Ivan berjalan keluar dari diner. “Tu…tunggu…, Tuan!” panggil suara wanita bernama Scarlet mengikuti dari belakang. Ivan meraih helm dari motor yang diparkirnya di sisi jalan dan mengenakannya. “Aku sudah menolongmu. Kini pergilah, Nona,” balas Ivan tidak peduli. Hanya satu hal yang ada dalam benaknya sekarang. Berkemas dan menghilang dari kota terkutuk itu. Ia mengalungkan kakinya ke atas motor dan menyalakan mesin, bersiap untuk pergi. Tapi wanita tadi sudah berdiri didepan sepeda motor Ivan dan membentangkan tangannya, menghalangi pria itu untuk pergi. “Aku tidak tahu harus kemana. Ijinkan aku ikut denganmu,” pintanya. “Apa?” balas Ivan heran. “Kembalilah pada keluargamu. Kemana saja, terserah dirimu. Sekarang, menyingkirlah dari depan motorku.” Tapi Scarlet bertahan. Ia kini malah menggenggam setir motor Ivan dengan kedua tangannya. “Tidak! Aku tidak punya keluarga. Dan tidak akan ada yang berani menampung wanita yang melarikan diri dari Moxley. Aku tidak tahu dirimu siapa, tapi kau sudah berani melawan pria itu yang jelas-jelas adalah anak buah Moxley. Kumohon… ijinkan aku ikut denganmu.” Ivan menggertakkan rahangnya. Ia berniat mencari ketenangan. Ketenangan macam apa ini? Mungkin sebaiknya kubunuh juga wanita ini sebelum menghilang. Toh ia sudah tidak memiliki siapa-siapa, pikir Ivan. Aku bisa saja menabraknya. Atau menghujamkan tanganku ke wajahnya. Atau mencekiknya. Cih! Matanya memandang kearah Scarlet. Penuh kemarahan. Tapi bukannya melakukan apa yang direncanakannya, Ivan melakukan kebalikannya. Ia menggeram, “Baiklah. Naiklah!” Wajah Scarlet langsung berubah mendengar ucapan Ivan. Buru-buru wanita itu berjalan mengitari sepeda motor Ivan dan melompat naik. Begitu Scarlet melingkarkan tangannya berpegangan, sepeda motor Ivan melesat. Wanita itu mencengkeram perut Ivan erat, pria itu bisa merasakan wajah Scarlet yang menempel miring ke punggungnya. Pelipis wanita itu melekat ke pundaknya, menekan tulang bahunya. Mendadak rasa sakit menjalar dari tulang belikatnya. Tepat di bekas tanda lahirnya. Tepat dimana Scarlet meletakkan pelipisnya. Awalnya rasa sakit itu hanya samar. Namun, kelamaan menjadi tidak tertahankan. Bagaikan gelombang pasang yang naik ke tepian karang, rasa perih di bahunya mulai menjalar ke sekujur tubuhnya dan mulai menekan ke arah da-da kirinya. Ivan mengerang, menahan rasa sakit di pundaknya. Kulitnya terasa panas membara seolah sedang terbakar dan robek disaat yang bersamaan. Tidak ingin terjatuh dari sepeda motornya, ia memelankan mesin dan menghentikannya di pinggir jalan. Belum pernah ia merasakan kesakitan yang sedemikian rupa. Bahkan ketika tubuhnya di tembusi oleh peluru panas, hal yang sering terjadi mengingat pekerjaannya sebagai pembunuh bayaran, belum pernah ia sampai tidak bisa bergerak atau berpikir karena rasa sakit seperti saat itu. Ivan meraih helm yang di pakainya dan menariknya lepas. Wajahnya di penuhi oleh peluh sementara nafasnya tersendat seakan tercekik oleh sesuatu. Ivan meremas da-da kirinya yang terasa memanas seakan hendak meledak. Hampir saja Ivan mengira ia akan kehilangan kesadarannya ketika mendadak dirasakan sebuah usapan lembut ke punggungnya. “Hei… Kau tidak apa-apa?” Terdengar suara pelan Scarlet yang bertanya. Wanita itu masih mengeluskan tangannya ke punggung Ivan layaknya seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya yang terluka. Perlahan. Pandangan Ivan yang tadinya mengabur, kembali menemukan cahayanya. Perih yang tadinya menjalar ke sekujur tubuhnya mulai surut, dan nafasnya pun kembali tenang. Pria itu melepaskan cengkeraman tangannya dari da-danya. Apa yang barusaja terjadi padanya? Ivan masih tidak paham. Semacam serangan panik? Atau penyakit yang tidak diketahuinya? Apapun itu sepertinya kini sudah mereda. Usapan itu kembali terasa dari balik punggung Ivan, mengelus punggungnya dengan gerakan yang lembut dan berulang. Membuat badannya yang tadinya membeku kaku menjadi melemas. “Ok… ok…. Kau tidak apa-apa….” Suara itu terdengar kembali. Lebih lembut dan lebih menenangkan. Membuat Ivan merasa jengah. Ia mengedikkan bahunya menghalau sentuhan dari Scarlet. “Aku baik-baik saja.” Ivan menggerutu. “Berhenti menyentuhku.” Scarlet menarik tangannya menjauh dari punggung Ivan. “Baik-baik saja? Kau terlihat seperti hampir saja pingsan, Tuan.” Wanita itu membalas pelan dengan nada yang sama dengan Ivan. Mengabaikan gerutuan Scarlet, Ivan mengenakan kembali helmnya dan bersiap untuk kembali mengarahkan kendaraannya ke jalan. Sebelum menutup kaca helmnya, Ivan menolehkan kepalanya kebelakang. Ke arah Scarlet. “Pegang saja belakang sepeda motor. Berhenti memelukku. Aku tidak suka disentuh.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD