Dalam versi Kirana uang tersebut sudah sangat banyak sekali. Seumur hidupnya dia belum pernah memegang uang sebanyak itu. Bahkan ketika dia masih tinggal di Surabaya. Saat bekerja di sebuah toko belum tentu dia bisa menghasilkan uang tersebut meski sudah tiga bulan mendapatkan gajinya. Kirana tidak peduli lagi dengan rasa sakitnya, ya uang di dalam genggaman kedua telapak tangannya lebih memukau bagi gadis belia tersebut.
“Aku pasti kaya! Kalau Om Redy memberikan aku uang sebanyak ini dari waktu ke waktu walau tidak setiap hari! Aku akan bertahan! Aku tidak ingin dihina! Akan aku buat orang-orang di kampung halaman mengakuiku! Aku akan melunasi semua hutang-hutang Mama.” Ucapnya sambil melempar punggungnya kembali ke atas tempat tidur.
Ambisi sudah menguasai seluruh dadanya, logikanya tidak lagi berfungsi. Gadis itu tidak pernah berpikir bagaimana jika dia nanti ditelantarkan kapan saja oleh adik angkat ibunya tersebut. Dalam benaknya dia hanya ingin kaya!
Redy masuk ke dalam kamarnya sendiri, pria itu masih teringat dengan kejadian beberapa menit lalu.
“Aku tidak mengira kalau dia akan nekat seperti ini. Padahal aku berniat membuatnya menderita seperti Amanda yang sudah membuatku menderita di masa lalu. Uang, di mata gadis itu hanya ada uang. Sama seperti Amanda!” Gumamnya seraya rebah di atas tempat tidurnya.
Keesokan harinya..
Kirana sudah selesai mandi, gadis itu memakai setelan kaos ketat dengan rok mini di atas lutut. Rambut pendeknya dia sisir rapi. Kirana melangkah turun meniti tangga menuju ke lantai bawah. Gadis itu celingukan mencari sosok Redy di sana.
“Om kemana? Aku ingin berbelanja hari ini tapi aku tidak tahu ke mana harus pergi. Aku tidak mengenal jalan-jalan di sini. Pasti sulit sekali, aku juga tidak tahu cara menawar harga. Bagaimana jika aku ditipu?” Gumamnya sambil menggigit ibu jarinya sendiri. Kirana terus berjalan hingga dia sampai di ruang makan. Gadis itu melihat Redy sudah duduk di sana.
“Duduklah.” Perintahnya pada Kirana. Pria itu melihat kaki jenjang milik Kirana, gadis itu berjalan tanpa alas kaki. Dia masih ingat bagaimana Kirana menjerit akibat ulahnya kemarin juga semalam, kedua kaki milik gadis itu sempat tinggal di atas kedua bahunya.
Kirana berjalan mendekat dengan langkah pelan, gadis itu menarik kursi lalu duduk di seberang mejanya.
“Duduk di sini.” Redy menepuk kursi di sebelahnya. Kirana menurut, gadis itu menggigit bibirnya lalu duduk di sebelahnya. Kirana melihat ke mana arah mata Redy melihat, kedua pahanya!
“Om?” Panggilnya dengan suara pelan.
“Kenapa?” Redy menyahut tanpa membalas tatapan matanya. Pria itu menarik ke atas rok mini yang dikenakan oleh Kirana hingga menampilkan bentuk kaki utuh miliknya. Redy meletakkan tangannya di sana. Menggeser telapak tangannya, merasakan bagaimana tekstur permukaan kulitnya.
Kirana hanya menatap tangan Redy yang tinggal di sana. Pikirnya pria itu tidak akan melakukan apa-apa padanya, hanya mengusapnya saja seperti itu. Dia tidak protes sama sekali, sengaja memberikan peluang pada pria itu untuk bertindak lebih jauh.
“Om, aku tidak tahu di mana aku harus membeli baju dan make up seperti yang Om katakan.”
Redy menyunggingkan seutas senyum, pria itu menarik Kirana naik ke atas pangkuan.
“Haruskah aku yang membelinya untukmu?” Tawarnya sambil merapikan helaian rambut Kirana ke belakang daun telinga.
“Hem.” Kirana tersenyum sambil mengangguk.
“Kamu bersedia ikut denganku? Mungkin saja selera kita berbeda, aku tidak suka diprotes jika sudah terlanjur membelinya.”
“Kirana janji nggak akan protes!” Seru gadis itu dengan tatapan polos, sama seperti sebelumnya.
“Bagus! Menurutlah padaku Kiran.” Ucap pria itu sambil meletakkan dagunya di atas bahu kiri Kirana. Redy menepuk pelan punggung Kirana, mata pria itu terpejam sesaat.
“Iya, Kirana akan menurut sama Om.” Tambah gadis itu. Perlahan Kirana memberanikan diri untuk membalas pelukan Redy.
Setelah sarapan, Redy mengajak Kirana pergi ke sebuah mall. Redy membelikan banyak pakaian baru untuknya. Pria itu juga membelikan perlengkapan lain yang dibutuhkan oleh gadis itu.
“Wah, Om ini banyak sekali.” Serunya dengan tatapan takjub. Mereka berdua sudah tiba di rumah.
“Kamu bilang ingin masuk ke perusahaanku, kamu harus memakai baju rapi. Ubah penampilanmu mulai dari sekarang.” Ujarnya sambil menyulut sigaret di antara bibirnya.
“Om, ini?” Kirana melihat satu paket obat dalam plastik kecil.
“Minum itu, aku tidak mau kamu hamil lalu memintaku untuk menikahimu.” Sahut Redy dingin.
“I-iya.” Kirana mengangguk untuk kesekian kalinya. Dia baru mengerti di mana posisinya saat ini, walau pria itu membuatnya tinggal di sisinya. Hanya sebatas itu dirinya di mata Redy.
“Ambil satu baju dan ikut aku ke perusahaan. Lima belas menit lagi kita berangkat.” Ucap pria itu padanya.
“Iya, Om.” Kirana segera bersiap-siap, dia pernah memakai make up jadi tidak butuh waktu lama untuk merubah penampilannya.
Derap langkah sepatu mendekat, Redy mengangkat wajahnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata padanya, Redy segera berdiri lalu mendahuluinya berjalan keluar dari dalam kediamannya. Pria itu membukakan pintu mobil untuknya.
“Om, nanti ajari Kiran ya?” Ucapnya sambil tersenyum.
“Asistenku yang akan mengajarimu.”
Kirana tidak berani berkomentar, hanya sesekali dia mencuri pandang ke arah Redy yang sedang mengemudi di sebelahnya. Gadis itu tersenyum penuh rasa kagum. Tanpa sengaja tatapan keduanya bertemu. Redy segera tahu kalau Kirana diam-diam menaruh hati padanya.
“Aku sudah bilang jangan gunakan hatimu padaku, itu tidak akan berfungsi.”
Redy sengaja berkata demikian untuk menyadarkan Kirana sebelum jatuh lebih dalam.
“Kirana hanya kagum sama Om, apakah itu salah? Kirana sudah berusaha untuk bersikap biasa, tapi sepertinya sulit.” Ucapnya dengan wajah tertunduk.
“Kalau begitu kamu harus siap dengan rasa sakit. Kecewa, dan kamu harus ingat aku tidak akan menerima protes darimu.”
“Iya, Kirana tahu.”
Keduanya tiba di perusahaan, Redy menyerahkan Kirana kepada asistennya. Kirana ditunjukkan pada banyak pekerjaan. Tergantung Redy akan menempatkan di mana nantinya.
Rupanya Kirana cepat sekali belajar, hanya dalam waktu singkat gadis itu sudah mengerti apa yang diajarkan oleh asisten Redy. Sudah dua minggu Kirana mempelajari banyak hal di perusahaan tersebut.
“Tuan? Nona Kirana cerdas sekali, saya memintanya untuk melayani pembeli. Cara bicaranya, juga cara dia menghadapi customer sangat baik sekali. Pembeli puas dan senang dengan pelayanannya, bahkan mereka meminta Nona Kirana untuk mengajak berkeliling melihat-lihat barang yang sudah diproduksi. Tidak hanya itu saja. Ada beberapa orang datang ke sini pagi ini. Mereka para investor, saya mendapatkannya karena Nona Kirana. Rupanya Nona Kirana sangat pandai berbahasa Inggris.”
Redy terdiam, pria itu menggaruk keningnya sendiri. Banyak sekali pertanyaan muncul di dalam benaknya saat ini.
“Dia pura-pura lugu dan bodoh di hadapanku? Apa Kirana termasuk salah satu rencana Amanda untuk menjatuhkanku?”
“Tuan?” Tegur asistennya lantaran mendapati pria itu melamun.
“Hem, bagus. Laporkan saja semuanya padaku, apa saja yang gadis itu lakukan di perusahaan.”
“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.”
Asisten Redy sudah keluar dari dalam ruangan. Sementara Redy masih duduk sambil menyandarkan punggungnya. Dia berpikir kalau Kirana bukan gadis biasa. Pria itu mulai cemas kalau Kirana menyusun rencana untuk menghancurkan reputasi perusahaannya, apalagi gadis itu bisa mendapatkan investor hanya dalam waktu singkat.
Setelah keduanya tiba di rumah, Kirana masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat Redy mengikutinya dari belakang. Kirana tidak berkata apa-apa, tidak juga terkejut, dia sudah biasa diperlakukan oleh Redy dalam berbagai bentuk apapun.
Pria itu masuk ke dalam kamar lalu memintanya untuk melayaninya saat itu juga. Dengan suka rela Kirana melakukan apa yang diminta Redy darinya.
“Aku dengar kamu berhasil mendapatkan investor besar untuk mengikat kerjasama dengan perusahaan?” Ucap pria itu seraya menatap wajah Kirana lekat-lekat. Gadis itu masih tinggal di atas pangkuannya.
“Hanya keberuntungan saja. Om terlalu berlebihan memuji Kirana.” Sahutnya sambil tersenyum menatap wajah pria tersebut.
Redy menurunkan tubuh Kirana dari atas pangkuan kemudian rebah di atas tempat tidur tersebut. Sudah beberapa malam terakhir dia tidak tidur di dalam kamarnya sendiri. Tidak hanya sekali dua kali dia meminta pelayanan dari Kirana, bahkan pernah sampai sepanjang malam penuh! Redy ingin tahu sampai kapan Kirana bisa bertahan di sisinya. Meskipun Kirana membawa keuntungan besar di dalam perusahaannya, itu tidak membuat hati Redy tergerak untuk merubah sikapnya menjadi lebih lembut.
“Om? Mau Kirana pijit?” Tawar gadis itu sambil memungut gaun tidurnya lalu duduk di sebelah Redy.
“Tidak perlu.” Tolaknya dengan nada datar dan dingin.
“Ya sudah.”
Kirana ikut rebah di sebelahnya, gadis itu tidak bicara apa-apa lagi. Sebenarnya dia sudah kelelahan. Tak hanya di rumah, di dalam mobil, bahkan di kantor Redy meminta untuk dilayani olehnya. Tidak peduli kedua kaki gadis itu sudah gemetar akibat ulahnya, sepertinya Redy memang sengaja berbuat demikian. Kirana sendiri tidak bisa yakin dengan apa yang dia rasakan. Baginya kemewahan lebih berarti daripada bertahan dengan menjadi wanita baik-baik tapi hidup dalam kemiskinan dan selalu mendapat hinaan. Dia hanya selalu melakukan apa saja yang diinginkan oleh Redy Harsono.
Keesokan harinya..
Sore itu Redy dan Kirana baru pulang dari perusahaan. Nila Saskia ternyata sudah menunggu di dalam kediamannya. Kedatangan wanita itu tidak mendapat sambutan hangat dari Redy.
Kirana tidak mau ikut campur dengan urusan pribadi dua orang tersebut, tapi sepertinya Nila sangat dendam pada Kirana lantaran merasa posisinya di sisi Redy sudah direbut olehnya. Melihat Kirana melangkah melewatinya, Nila langsung menampar pipinya.
“Plaaaakkkk!”
Kirana tidak mengerti kesalahan apa yang sudah dia lakukan pada Nila sampai-sampai wanita itu menamparnya begitu keras. Redy melihat pemandangan itu, dan pria itu tidak membelanya sama sekali.
“Kirana, masuk ke dalam.” Perintahnya.
“Iya, Om.” Kirana menyentuh pipinya yang nyeri sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam, ia segera mandi dan berganti gaun tipis. Dengan pakaian seperti itu Kirana pergi ke dapur. Dia melewati Redy yang sedang duduk dengan punggung bersandar di ruang tengah. Nila tidak ada di sana. Pikir Kirana pasti Redy sudah memberikan uang pada wanita itu untuk membuatnya pergi.
Kirana berjalan melewatinya tanpa bicara sama sekali.
“Heh? Kamu sampai kapan tidak akan bicara padaku? Kamu marah karena wanita tadi menamparmu?” Tegur Redy dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Kirana mendadak terhenti, dia menoleh ke arah Redy lalu berkata.. “Nggak Om, aku nggak marah. Kirana baik-baik saja. Kirana cuma mau ke dapur.” Niatnya pergi ke dapur untuk mengambil es batu agar bengkak pada pipinya mereda.
“Duduklah di sini.” Redy memintanya untuk menghenyakkan tubuhnya di sebelahnya.
Kirana melangkah mendekat lalu duduk di sana, tak lama kemudian pelayan datang membawakan es batu dalam bungkusan kain. Kirana baru tahu kalau Redy memperhatikannya.
“Terima kasih, Om.” Kirana tersenyum. “Akhhh!” mendadak memekik karena Redy menekan sedikit kuat kain kompres pada pipinya.
“Sakit?” Tanya Redy dengan senyuman mengejek.
“Om, jangan meledek.” Sahutnya dengan bibir cemberut.
“Kamu kenapa diam saja ditindas wanita lain?”
“Aku tahu wanita tadi istimewa bagi Om. Jadi Kirana tidak melawan.” Tuturnya jujur.
“Jika itu bukan dia?” Tanya Redy penasaran.
“Kirana nggak akan tinggal diam.”
“Kamu memihakku, sekarang? Apa kamu takut aku mengusirmu? Gajimu sudah cukup untuk membeli rumah tiga lantai, mobil dan lainnya. Kamu tidak ingin pergi dari sini?” Tanyanya dengan penuh selidik.
Komisi yang didapatkan Kirana memang besar, sejak banyak investor masuk dia mendapatkan keuntungan lebih di samping gaji pokok yang diberikan Redy perminggunya.
“Itu, Kiran...” Kirana tidak berani bicara. Dalam hatinya dia cemas kalau Redy membuangnya.
“Katakan saja. Kamu pasti merindukan kebebasan di luar sana.”
“Nggak, Om.”
“Lalu? Kamu juga tidak jatuh cinta padaku kan? Apa kamu berpikir terlalu jauh tentang hubungan kita?”
“Nggak juga. Kirana, ah sudahlah. Om Redy nggak akan ngerti.”
“Aku akan mencoba memahaminya, katakan saja. Kamu tidak mungkin merasa senang sepanjang hidupmu kujadikan pelayan di atas tempat tidurku kan?”
“Itu.. itu..” Kirana ragu-ragu mengatakannya. “Kirana bersedia, Kirana nggak mau pergi.”
“Kamu ingat tidak ada cinta di sini?”
“Ingat Om. Kirana ingat.” Serunya sambil memejamkan kedua matanya. Antara uang dan cinta, Kirana lebih memilih uang.
“Apa ibumu tahu, seperti apa aku memperlakukanmu?”
“Nggak tahu Om, Kirana nggak akan bilang! Om juga jangan bilang apa-apa pada Mama.” Serunya tiba-tiba.
“Kamu takut?” Redy tersenyum sambil menyentuh bibir milik gadis tersebut.
“Nanti Kirana disuruh pulang, Kirana nggak mau pulang. Kirana suka di sini.” Menghambur memeluk Redy. Pelukannya begitu erat, Redy tidak membalas pelukannya. Pria itu hanya duduk diam mematung.
“Aku ingin membuatmu menderita, tapi semakin aku berusaha menyakitimu kamu malah menempel padaku. Aku sudah mencoba berbagai cara, tapi kamu tidak menunjukkan kebencianmu sama sekali. Selalu berakhir seperti ini.” Bisiknya dalam hati.
“Kamu makan duluan saja, lalu istirahatlah, tinggalkan aku sendirian di sini.” Ucapnya pada Kirana. Pria itu melepaskan lengan Kirana dari pinggangnya.
Kirana segera berdiri lalu meninggalkannya sendirian di ruang tengah. Selesai makan malam Kirana melihat Redy masih duduk di ruang tengah. Pria itu menikmati sigaretnya, entah sudah berapa batang dia habiskan. Kirana ingin menegurnya tapi tidak jadi, Redy sudah memintanya untuk beristirahat. Gadis itu berlalu naik ke lantai atas, masuk ke dalam kamarnya.