Cahaya matahari pagi menembus celah-celah gorden kamar, jatuh tepat ke wajah Bening yang terbangun dengan mata berat. Kelopak matanya terasa berat karena semalaman nyaris tidak tidur.
Refleks, ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong dan seperti tidak ada tanda bahwa tadi malam Banyu tidur di sebelahnya.
Bening terdiam sejenak. Entah lega karena tidak harus berhadapan langsung sejak bangun tidur, atau justru makin kesal karena pria itu bahkan bersikap biasa saja sejak semalam, dan hanya melihat dirinya diomeli habis-habisan oleh Ayahnya.
Dengan gerakan cepat ia bangkit dan menyingkirkan selimut. D a da Bening masih terasa panas setiap kali mengingat percakapan semalam, terutama kalimat dingin Banyu yang menohok soal tulisannya.
Tanpa berniat mencari ke mana suaminya pergi, ia berjalan ke toilet. Tak sampai setengah jam, ia sudah keluar dengan pakaian kerja seadanya, yaitu kemeja putih, celana kain, blazer hitam tipis. Riasannya sederhana, sekadar menutupi wajah pucat akibat kurang tidur.
Baru saja ia meraih tas di atas meja rias, ponselnya bergetar. Notifikasi pesan dari Dita muncul.
Dita: Bening, cepet ke kantor! Redaksi rame banget gara-gara artikel lo semalam. Tim legas juga udah manggil buat rapat darurat.
Bening menelan ludah. Tiba-tiba jantungnya berdegup lebih cepat, tapi genggaman tangannya di ponsel justru menguat. “I don’t care.” gumamnya lirih.
Ia meraih kunci mobil, langkahnya dipercepat menuju tangga. Namun begitu menuruni anak tangga, pandangannya langsung jatuh pada sosok yang duduk di meja makan.
Banyu.
Kemeja putihnya rapi, dasi tergantung longgar di kerah, wajahnya sangat tenang, seperti biasanya. Satu tangan memegang tablet, tangan lain meraih cangkir kopi.
Bening menghentikan langkahnya. Sejenak ia hanya berdiri di anak tangga terakhir, menatap punggung pria itu dengan d a da sesak.
“Ibu, selamat pagi,” sapa Mbak Asih sambil keluar dari dapur, tangannya masih memegang lap kain. “Mau saya siapkan sarapan dulu? Atau kopi, mungkin?”
Bening tersenyum tipis, tapi buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Mbak. Aku lagi buru-buru.”
“Oh… baik, Bu.” ucap Mbak Asih lembut, sedikit heran melihat wajah Bening yang tegang dan membalikkan badan untuk menuju ke dapur lagi.
Suara cangkir kopi diletakan membuat Bening menoleh sedikit ke arah suaminya.
“Kamu berangkat terlalu pagi,” ujar Banyu tanpa intonasi yang menyiratkan perhatian atau kekhawatiran, seakan hanya menyatakan fakta.
Bening menoleh cepat, matanya menajam. “Kenapa? Wartawan nggak boleh rajin?”
“Aku cuma bilang, biasanya wartawan baru ke kantor siang.” Banyu mengangkat cangkirnya kembali, lalu menyeruput kopi dengan santai, tanpa ia sadari, wanita di hadapannya sepagi ini sedang berusaha meredam amarahnya kepada suami yang kaku itu.
“Ya, maaf kalau aku nggak bisa santai kayak Mas Jaksa yang kerjanya cuma bohongin publik,” balas Bening, suaranya penuh ketus.
Banyu menurunkan cangkirnya, tatapannya singkat, menusuk tapi tetap tenang. “Jangan bikin masalah di kantor, Bening. Kamu sudah cukup buat keributan semalam.”
Kata-kata itu membuat darah Bening mendidih. Ia melangkah ke pintu, menahan emosi agar tidak meledak. “Tenang aja, Mas. Aku tahu kok… kamu lebih peduli sama reputasi dirimu sendiri dan keluarga, daripada istri kamu yang… kayaknya hari ini aku bakalan dapat skors.”
Tanpa menunggu balasan, ia membanting pintu cukup keras hingga suara berderaknya memenuhi ruang makan.
Banyu menatap pintu yang tertutup rapat itu, hanya beberapa detik. Lalu ia kembali membaca artikel-artikel dari tabnya seraya menyeruput kopi. Sama sekali tidak terpengaruh oleh konfrontasi dari istrinya itu.
Bening melangkah keluar rumah dengan napas berat, jemarinya menggenggam kunci mobil begitu erat. Ia masuk ke mobil putihnya, menutup pintu agak keras, lalu menyalakan mesin.
Begitu mobil melaju keluar dari halaman, Bening menekan pedal gas sedikit lebih dalam dari biasanya. Jalanan pagi itu sudah mulai padat, deretan kendaraan memenuhi hampir setiap jalur, tapi pikirannya jauh lebih riuh dari suara klakson yang bersahut-sahutan.
Ia menyalakan radio sebentar, lalu buru-buru mematikannya lagi ketika mendengar nama Banyu disebut di berita pagi. “Astaga, bahkan radio pun ikut-ikutan nyudutin gue…” gumamnya, menggertakkan gigi.
Tangannya sibuk di setir, tapi pikirannya terus dipenuhi suara Banyu yang dingin. Kalimat ‘jangan bikin masalah’ terus terngiang, membuat hatinya semakin terbakar.
Ponselnya yang tersambung ke sistem mobil kembali bergetar, notifikasi pesan masuk. Ia melirik sekilas ke layar, dari Dita.
Dita: Bening, cepet! Rapat darurat bentar lagi mulai. Semua orang nyariin lo.
Bening mendesah panjang, lalu menambah kecepatan. “Ya ampun, kayak dunia mau runtuh aja, sabar dong, gue juga kalau bisa teleportasi ya gue lakuin,” gumamnya, meski ia tahu betul ini memang serius.
Beberapa menit kemudian, mobilnya akhirnya masuk ke area parkiran kantor. Dengan langkah cepat, ia turun, meraih tas, dan menutup pintu mobil tanpa menoleh lagi. Tumit sepatunya beradu dengan lantai parkiran, menandai langkah yang mantap sekaligus terburu-buru.
Begitu memasuki lobi redaksi, suasana sudah berbeda. Beberapa rekan kerjanya berdiri bergerombol sambil menatap layar komputer, ada pula yang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.
“Bening, lo gila banget sih… headline lo semalem udah viral,” celetuk Rio sambil menyapanya dengan tatapan antara kagum dan khawatir.
“Kayak bom meledak. Telpon kantor nggak mau diem tuh dari pagi,” tambah Mira, fotografer yang baru datang dari lapangan.
Bening tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, menegakkan tubuh, dan melangkah ke meja kerjanya. Baru ia sempat menaruh tas, suara lantang terdengar dari arah pintu kaca ruang redaksi.
“Bening! Ke ruang rapat sekarang!”
Raka, pimpinan redaksi itu berdiri dengan wajah serius.
Suasana mendadak hening. Semua tatapan tertuju pada Bening, seakan ia baru saja membawa badai ke dalam kantor.
a bisa merasakan jantungnya berdegup keras, tapi langkah kakinya tetap mantap menuju ruang rapat.
Di dalam, sudah duduk beberapa orang penting: Raka, dua senior redaksi, dan manajer legal perusahaan. Berkas print-out artikel menumpuk di atas meja.
Raka membuka rapat tanpa basa-basi. “Pihak kejaksaan kirim surat resmi pagi ini. Mereka minta artikel kamu diturunkan. Kalau nggak, mereka bakal pakai jalur hukum. Aliansi advokat juga sudah mengirim pernyataan tertulis. Mereka bilang tulisan ini mengandung tuduhan yang bisa dianggap pencemaran nama baik.”
Bening mengatupkan bibirnya. Tangannya menggenggam pena, tapi suaranya tetap tenang. “Jadi… kita harus tunduk begitu saja? Padahal yang ada di tulisan itu fakta persidangan.”
Manajer legal menyela cepat. “Masalahnya bukan fakta sidang. Masalahnya, tone tulisan kamu menuduh langsung. Kalimat ‘Jaksa meloloskan kepala desa’ itu bisa dipakai mereka untuk gugat balik. Itu dianggap framing. Dan kalau gugatan jalan, bukan cuma kamu, seluruh perusahaan ikut kena.”
Bening menahan napas. Suasana ruang rapat semakin tegang. Ia menatap Raka, mencari sedikit dukungan.
Namun pimpinan redaksi itu hanya menyandarkan punggung, menatapnya tajam. “Lo mau kalau main api, silakan. Tapi api ini sekarang nyamber ke kantor. Jadi kita harus putuskan. Artikel diturunkan, atau lo siap maju sendiri menghadapi tuntutan.”
Manajer legal menimpali, nada suaranya dingin tapi tegas. “Bening, ini bukan cuma masalah idealisme. Kalau gugatan jalan, bisa berimbas ke izin media kita, bahkan investor bisa mundur. Kamu ngerti konsekuensinya, kan?”
Seorang senior redaksi ikut bicara, kali ini lebih lembut tapi tetap menusuk. “Bening, kami semua ngerti semangat kamu. Tapi kamu juga harus pikirin orang lain yang kerja di sini. Ratusan karyawan punya keluarga. Jangan sampai mereka kena imbas gara-gara satu artikel.”
Kata-kata itu seperti beban besar yang menekan dadanya. Bening ingin membalas, ingin berteriak bahwa kebenaran seharusnya tidak tunduk pada ancaman. Tapi tatapan semua orang di ruangan itu membuat lidahnya kelu.
Ia memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang. Jemarinya mengepal erat di pangkuan, kuku hampir menancap di kulit.
“Baik,” ucapnya akhirnya, suaranya serak tapi jelas. “Artikelnya akan diturunkan.”
Ruangan langsung hening sejenak. Raka menatapnya lekat-lekat, seolah memastikan ia benar-benar menyerah. Setelah itu, ia mengangguk kecil. “Keputusan tepat. Gue tau ini berat, Ben. Tapi ini yang terbaik untuk kantor.”
Bening hanya menunduk, tidak menjawab. Di balik giginya yang terkatup rapat, hatinya memberontak. Ia benci harus mundur, benci harus mengalah pada tekanan. Dan yang lebih menyakitkan, bayangan wajah Ayahnya dan Banyu kembali terlintas. Membuat kobar amarahnya semakin menyala.
Pipi Bening memanas, bukan karena malu, tapi karena marah yang dipaksa diam.
***
Sidang pagi itu hanya perkara ringan, yaitu sengketa tanah antar warga yang tidak sampai membuat ruangan persidangan terlalu tegang. Banyu duduk dengan tenang di kursi penuntut, menatap berkas di depannya. Ia menarik napas sebentar, lalu mulai membaca.
“Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam perkara ini, jelas bahwa pihak tergugat telah melanggar hak milik penggugat…”
Suara Banyu datar, tanpa intonasi berlebihan, hanya menekankan fakta. Dan sesekali hakim mengangguk, serta mencatat sesuatu di meja.
“Dengan mempertimbangkan fakta tersebut, penuntut memohon agar majelis menjatuhkan putusan sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” lanjutnya, lalu menutup bacaan dengan nada netral.
Hakim mengetuk palu, menandakan persidangan ditutup. Kemudian di mejanya, Banyu merapikan berkasnya dan bangkit, lalu melangkah keluar ruang sidang.
Di lorong, beberapa rekan menatapnya sambil berbisik, tetapi Banyu hanya mengangguk kecil.
Kemudian dua rekannya menghampiri.
“Pak Banyu, udah dengar kabar, belum? Artikel itu… sudah diturunkan,” ucap salah satunya, setengah berbisik.
“Redaksi jurnalisnya ngalah, mungkin karena tekanan dari banyak pihak, dan ternyata beberapa aliansi advokat juga berencana menuntut kalau artikel itu nggak diturunkan.”
Banyu hanya berhenti sejenak. Tatapannya singkat, datar, lalu mengangguk kecil tanpa sepatah kata. Setelah itu ia kembali berjalan lurus menuju ruang kerjanya.
Namun sebelum sampai di pintu ruang kerjanya, telinganya menangkap suara beberapa jaksa junior yang bercanda di dekat mesin fotokopi.
“Eh, lo udah baca artikelnya kan? Katanya yang nulis tuh jurnalis muda. Masih idealis kali ya, makanya lebay gitu nulisnya,” ujar salah satu sambil tertawa.
“Yaelah, jelas. Pasti dia mikir kalo bikin ribut kayak gitu, karirnya bakal mulus. Padahal ya… malah bikin kantor dia kena masalah.”
“Hahaha, iya bener! Niatnya pengen jadi pahlawan, ujung-ujungnya malah beban.”
Tawa mereka terdengar jelas, membuat beberapa staf lain melirik canggung.
Dan Banyu menoleh perlahan, lalu berjalan mendekat. Sepatu kulitnya menjejak lantai koridor dengan suara berat, cukup untuk membuat percakapan itu terputus.
Ketiga jaksa junior itu sontak membeku, wajah mereka pucat seketika menyadari siapa yang kini berdiri tepat di depan mereka.
Banyu menatap mereka lekat, ekspresinya tenang tapi dingin. “Lucu sekali kalian kalau sedang tertawa,” ucapnya pelan, nadanya datar.
Mereka saling pandang, salah satu mencoba tersenyum kaku. “Ma-maaf, Pak, kami cuma—”
“Cuma meremehkan orang yang bekerja dengan pena, sementara kalian masih kesulitan menulis laporan singkat?” potong Banyu, suaranya rendah tapi menusuk.
Keheningan menelan lorong.
Banyu melangkah setengah mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari salah satu junior yang tadi paling keras tertawa. “Kalau suatu hari kalian melakukan kesalahan, bahkan sekecil apa pun… saya akan pastikan laporan itu jatuh ke tangan jurnalis yang tadi kalian bicarakan. Supaya nama kalian lebih cepat dikenal masyarakat.”
Nada sarkasnya dingin, tajam, seperti pisau yang digores pelan ke kulit.
Wajah para junior itu memucat. Mereka menunduk cepat, terbata-bata meminta maaf.
“Maaf, Pak… kami tidak bermaksud—”
“Tidak akan terulang, Pak…”
Banyu menatap mereka sejenak, lalu hanya mengangguk tipis. “Bagus.”
Tanpa menoleh lagi, ia berbalik dan melangkah masuk ke ruangannya. Pintu tertutup dengan suara tenang, tapi gema ketegangan masih menggantung di udara.
Para junior itu saling pandang, wajah mereka pucat pasi. Tidak ada yang berani membuka mulut lagi.