Keputusan yang di ambil Bima untuk menikahi seorang perempuan tidak terlalu di kenal akhirnya di ambil. Meskipun ia harus meminta anak buahnya untuk mencari detail tentang kehidupan perempuan yang ia incar.
Di sinilah akhirnya Bima berada. Duduk dengan tenang di dalam ruang kerjanya. Matanya menatap lekat wajah perempuan yang saat ini tengah menampilkan ekspresi shock.
Bagaimana tidak shock jika di lamar oleh laki-laki yang bahkan belum terlalu di kenal.
"Jadi, bagaimana?" tanya Bima ulang.
Bima berharap perempuan satu ini akan menganggukkan kepalanya. Namun, yang ia dapatkan justru gelengan tegas dari perempuan ini.
"Jadi, kamu menolak?" Bima tersenyum miring seraya bangkit dari duduknya. Bima berjalan pelan mengitari mejanya dan berdiri di depannya. b****g seksi Bima bersandar pada ujung meja dengan tatapan matanya menatap tajam Nia yang terlihat pucat.
"Maaf, Pak, dua orang menikah di dasari oleh cinta atau perjodohan yang di lakukan kedua pihak keluarga." Nia menjeda kalimatnya sebentar kemudian melanjutkannya lagi. "Sementara kita hanya dua orang asing yang bahkan ini kali pertama kita ketemu. Saya rasa bapak kurang waras kalau mau ajak saya nikah."
Nia menggigit lidahnya yang keceplosan mengatakan pria yang menjabat sebagai CEO di depannya tidak waras. Kebiasaan mulutnya yang ceplas-ceplos terbawa hingga sekarang. Nia meringis ngeri.
"Maksud saya--"
"Saya tahu siapa kamu," sela Bima. "Dengan uang yang saya miliki, saya bisa mencari informasi tentang kamu. Termasuk kisah percintaan kamu dengan karyawan saya," tandasnya.
Nia bergerak gelisah. Tatapannya mengitar sekeliling tanpa mau membalas tatapan mengintimidasi pria dewasa yang duduk bersandar pada kursi seraya bersedekap.
"Saya tidak bisa menikah dengan bapak. Lagi pula, saya tidak berniat untuk menjadi pelakor dalam rumah tangga bapak," ujar Nia tegar. "Saya tahu pasti bapak sudah memiliki istri. Saya juga tidak berniat menyandang status sebagai istri kedua."
"Jadi?" Bima menatap Nia dengan sebelah alis terangkat, sementara senyum miringnya terlihat tampak menyeramkan.
"Saya menolak," jawab Nia tegas.
"Oke. Kamu bisa pergi sekarang."
Nia menatap tak percaya dengan apa yang dikatakan pria di hadapannya. Serius, ia dilepaskan begitu saja? Batin Nia bergejolak bahagia mendengarnya.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi," pamit Nia. Setelah itu ia berbalik pergi meninggalkan ruangan Bima.
Sementara Bima sendiri tersenyum miring menatap pintu ruangannya yang sudah tertutup rapat.
Tidak masalah perempuan itu menolaknya sekarang karena bisa Bima pastikan jika perempuan itu akan merengek padanya.
Sementara Nia yang sudah berada di dalam rumahnya tidak bisa untuk tidak menggerutu memikirkan tawaran pria tak di kenal. Nia tidak mungkin bodoh untuk menjadi istri pria itu. Umur pria itu tidak muda lagi. Artinya pria itu pasti sudah memiliki istri dan anak. Menerima tawaran pria itu sama saja Nia menghancurkan kebahagiaan sebuah keluarga kecil.
Nia melangkah masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintu dengan rapat. Hari sudah semakin sore dan ia berniat untuk mandi karena tubuhnya mulai gerah.
Setelah mandi, Nia berniat untuk tidur dengan nyenyak tanpa memedulikan masalah atau ucapan yang disampaikan pria tadi.
Nia akhirnya tertidur dengan lelap sampai pagi menjelang. Nia merenggang otot tubuhnya ke kanan dan kiri hingga menimbulkan suara.
Nia terbangun dalam keadaan segar. Namun, perut laparnya membuatnya tak bisa berlama-lama di tempat tidur
Nia melangkah keluar dari kamar. Gadis itu menuju dapur dan berniat untuk memasak mie instan sebagai sarapan pagi ini.
Setelah mie bercampur telur dan sawi masak, Nia segera menyantapnya dengan lahap. Usai menandas habis sarapannya, Nia mandi dan berniat untuk pergi ke toko emas miliknya.
Satu jam berlalu.
Nia keluar dari pintu rumahnya dan menguncinya dengan rapat. Saat akan membalikkan tubuhnya, Nia terkejut bukan main saat melihat kehadiran tiga orang pria yang berdiri tegap di belakangnya.
"A-ada apa?"
Wajah Nia pucat menatap takut pada tiga pria di hadapannya. Dua di antaranya memakai seragam polisi sementara satunya lagi seorang pria paruh baya dengan kemeja biru serta kacamata minus yang menghiasi wajah setengah keriput pria itu.
"Selamat pagi, Bu Nia. Kami datang kemari membawa surat penangkapan atas suap yang Anda lakukan pada karyawan dari Sanjay Group. Ini suratnya." Seorang pria dengan seragam polisi menyerahkan surat yang berkop kepolisian pada Nia dan di sambut dengan tangan gemetar gadis itu.
"T-tapi saya tidak bersalah, Pak. Semua ini sudah di selesaikan secara baik-baik dengan petinggi perusahaan." Wajah Nia pucat. Rasanya ia ingin menangis dan meraung saat para polisi tersebut menatapnya dengan tatapan mata tajam mereka.
"Maaf, Mbak Nia. Pak Bima Sanjaya lah selaku CEO dari Sanjay Group yang melaporkan hal ini." Pria paruh baya selaku pengacara Bima Sanjaya akhirnya buka suara. "Saya Harisman. Pengacara yang di utus Pak Bima Sanjaya untuk mengurus masalah ini sampai tuntas. Mohon kerja samanya," katanya menatap Nia dengan tatapan datar.
"T-tapi, Pak, saya--"
"Ibu Nia bisa ikut kami? Ibu bisa menjelaskannya di kantor polisi," ungkap polisi tadi tegas.
Dengan bahu lemas dan kepala tertunduk, Nia akhirnya mengikuti dua polisi masuk ke dalam mobil. Sementara pria yang mengaku sebagai pengacara Bima Sanjaya naik ke mobil lain. Nia tidak mengerti dengan masalah yang menimpanya terus-menerus seperti ini. Nia bahkan menganggap semua masalah dengan CEO Sanjay sudah selesai saat pria itu memintanya keluar dari ruangannya. Nia tidak tahu jika pria itu justru membawa masalah ini lewat jalur hukum.
Nia di interogasi dengan 74 pertanyaan yang menurut Nia semua pertanyaan tersebut hanya memiliki satu makna dan satu tujuan. Yaitu, untuk membuatnya mengaku akan kasus suap yang ia lakukan pada Sarah. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah putus hubungan dengan Ramon, Nia juga harus menelan pil pahit jika saat ini ia sedang berurusan dengan polisi.
Berjam-jam berlalu. Kini dua polisi yang menginterogasi sudah keluar dan hanya menyisakan Nia sendirian di dalam ruangan tersebut. Tak lama, pengacara bernama Haris masuk ke dalam ruangan dengan membawa sebuah map berwarna biru di tangannya. Pria itu menyerahkannya tepat di hadapan Nia dan di sambut tatapan bingung perempuan itu.
"Apa ini?" tanya Nia.
"Surat perjanjian."
Kening Nia mengerut tidak mengerti dengan maksud ucapan Pak Haris sehingga pria paruh baya itu menjelaskannya dengan rinci.
"Ini adalah surat perjanjian pernikahan dimana jika Mbak Nia menandatangani surat tersebut, berarti Mbak Nia setuju dengan semua perjanjian dan pasal di dalam surat tersebut." Pak Haris menghela napas sebentar dan kemudian melanjutkan ucapannya. "Jika Mbak setuju, maka urusan hukum yang menjerat Mbak Nia bisa di bebaskan. Mbak Nia juga akan mendapat jatah bulanan sebanyak lima puluh juta dalam satu bulan untuk materi yang di terima sebagai istri Pak Bima Sanjaya."
Nia terdiam membeku. Pikirannya Nia mendadak kosong mendengar ucapan Pak Haris. Mengapa Nia mendadak masuk ke dalam sebuah drama yang pernah ia tonton di televisi? Batin Nia meringis.