(12) Way Of Love

920 Words
"Dek, mau Abang ajakin ke sesuatu tempat gak?" tanya Robby yang juga bersandar di pinggir Selma. Selma menggeleng lemah. "Oke kita balik,” ajak Robby. Selma mengangguk. Robby membukakan pintu untuk Selma, hendak ingin memasuki mobil ada suara yang memanggil namanya. "Selma!” Ada yang berteriak menyebut namanya. Munafik jika Selma tidak tahu orang itu. Hatinya saat ini bergetar hebat mendengar suara orang yang memanggilnya. Selma sangat-sangat rindu suara itu, namun kerinduannya ditutupi oleh rasa sakit hati yang akhir-akhir ini ia rasakann. Suara derap langkah yang begitu cepat terdengar semakin lebih jelas ditelinganya. Badannya kaku tak bisa bergerak, niat Selma yang ingin masuk kedalam mobil, terhentikan oleh suara derap langkah tersebut. Selma tau, Gibran sudah ada tepat dibelakang tubuhnya, namun ia hanya bisa menunduk dan terdiam. “Selma?” bisik Gibran pelan. Selma tetap pada pendiriannya. Ia diam dan segera masuk kedalam mobil Robby. Robby yang membukakan pintu mobil untuk Selma tersentak kaget karena Selma sudah menutupnya dengan kasar. Robby gelagapan dibuatnya. Ia serba salah di sini, sebenarnya Robby ingin meluruskan semua masalah adiknya dan Gibran, namun bagaimana lagi, perasaan adiknya kini lebih penting. Gibran terus mengetuk kaca mobil Robby yang didalamnya terdapat Selma yang tengah melamun. Selma tidak ingin menengok kearah kaca yang diketuk keras oleh Gibran. Air mata yang Selma tahan luruh begitu saja. Ia merasa seperti orang yang bodoh. Dengan gampangnya Selma dihempaskan oleh seseorang, dan dengan gampangnya juga orang itu ingin kembali kepada Selma setelah tau kejadian yang sebenarnya seperti apa. Tidak, Selma tidak mau hatinya luluh kembali pada orang yang telah menyakitinya. Cukup sekali saja ia merasakan sakit yang telah di buat oleh orang tersebut. Di luar mobil, Gibran terus mengetuk kaca mobil dan memanggil nama Selma. Niat awalnya yang ingin mengantarkan adiknya untuk berbelanja, malah seperti ini. "Selma, buka pintunya, Sel …" Gibran terus mengetuk kaca mobil, tak akan ia lepas sebelum Selma membukanya.   "Bran, udah, Bran. Selma butuh waktu, jangan seenaknya lo kaya gini, " Ingat Robby dengan lirih. "Nggak, Rob. Gue harus bicara dengan Selma sekarang juga," katanya dan terus menggedor-gedor kaca mobil. "Dia butuh waktu Bran! Jangan lo seenaknya mainin hati perempuan. Apa kabar lo kemarin? Udah mending lo pulang.” "Gue pengen lurusin semuanya ke Selma,” katanya yang tak ingin kalah Robby menarik kasar pundak Gibran, hingga mereka berhadapan. Nafasya langsung keluar dari mobil Gibran dan berlari menghampiri kakaknya dan Robby. "Cukup, Bran. Kasih Selma waktu buat mengerti semuanya." Ini seperti permintaan Robby. Gibran terdiam dengan perkataan Robby. Apakah ini namanya penyesalan? Apakah ini akhir dari kisahnya dengan Selma? Ataukah ini kesakitan yang harus ia rasakan dihatinya?. "Dia perempuan yang masih labil untuk memahami kisah cinta, Bran! Dia adik kecil gue yang kuat dan gak pernah mengeluh dengan semua perilaku lo! Dan sekarang lo nikmati bagaimana rasanya dicampakan oleh seseorang yang lo sayangi!” Gibran mengangguk mendengar semua penjelasan Robby. “Gue harus apa, Rob?” tanya Gibran lirih. Robby mengeluarkan senyum jahatnya. “Kalau lo memang bener-bener dewasa, kalau lo udah paham apa yang udah lo perbuat … pasti, lo akan ngerti apa yang harus lo lakuin untuk Selma.” "Minggir, gue mau balik," usir Robby kepada Gibran yang ada dihadapannya. Gibran tak memberi jalan kepada Robby. Ia malah menengok dimana Selma sedang menangis sesenggukan di dalam mobil. Ingin sekali ia menemui gadis itu dan mengatakan beribu maaf, namun ia kembali berpikir, mungkin maafnya tidak aka bisa menebus semua kesalahannya. "Minggir! Kasian Selma, gue harus ada disana nenangin dia.” Gibran mundur dan memberi jalan Robby. "Sampaikan maaf gue ke Selma, dan bilang gue akan memperjuangkan dia lagi,” ucap Gibran dengan wajah yang sangat serius. Robby yang mendengar perkataan Gibran menoleh. “Gausah janji-janji. Kalau memang lo bisa, buktiin! Perempuan butuh bukti, Bran. Bukan janji busuk!" Setelah mengatakan itu, Robby pergi dan masuk menuju mobilnya. Robby terkejut melihat kondisi Selma seperti mayat hidup. Wajah pucat putih, jilbab sudah tak tersusun rapi dan air mata yang terus berkeluaran dari matanya. "Dek?" Panggil Robby lembut. Selma menghadap Robby dan langsung memeluk kakaknya itu, Selma butuh sandaran, butuh ketenangan. Tak terlalalu lama memeluk, Selma melepaskan pelukannya. Robby membenarkan letak jilbab Selma dan mengusap wajah adiknya dengan kelembutan. "Udah, Dek. Ga perlu dipikirin lagi. Kamu harus fokus dengan keberangkatan kamu lusa. Jangan sampe cita-cita kamu terbengkalai begitu saja," nasihat Robby. "Pergi dari sini, Bang," lirih Selma. Ia sudah tak ingin mendengarkan nasihat Robby. Selma risih dengan Gibran yang terus memperhatikannya. Robby melihat kearah depan ternyata disana ada Gibran yang tengah memperhatikan adiknya. Tanpa menunggu lama Robby menjalankan mobilnya. Selma bernapas lega. Sekarang ia melamun, pikirannya sangat-sangat kosong. Benar kata Robby, ia tidak boleh memikirkan semuanya ia tak mau keberangkatan yang sudah ia rencanakan terhempas begitu saja. Sepanjang perjalanan Robby terus mengoceh segala ucapan kata-kata mutiara yang entah mencontek dimana, yang membuat hati Selma menjadi serbasalah dan berakhir air matanya kembali turun. "Eh-eh kok lo malah nangis sih?" Robby menghentikan laju kendaraannya. "Lagian Bang Robby ngomong terus," ucap Selma di sela tangisannya. "Aduhh … maaf deh, enggak akan ngomong lagi." Selma menarik napasnya dan mengelap air mata yang turun menggunakan tisu yang sudah diberikan oleh Robby. "Mau pulang?" tanya Robby. Selma mengangguk, tapi suara tangisnya kembali terdengar. Robby tak mau membawa pulang adiknya dalam keadaan seperti ini. "Udah, Dek, gak usah nangis. Serahin semuanya ke sama Allah, dan Selma juga gak boleh nyerah, harus tetep semangat. Pikirin lusa Sel, Abang gamau nanti ada kejadian yang gak diinginkan." "Udah gausah nangis lagi. Abang ada sama Selma. Jangan sungkan, Dek kalau ada laki-laki lain  yang mengecewakan kamu. Bilang gue karena udah kewajiban gue buat jaga adik sendiri." Selma memanyunkan bibirnya dan menghadap kakaknya. "Ish Selma udah besar. Bukan lagi anak SMP yang kalau sakit hati langsung nangis." "Lah, kalau nggak nangis, kenapa lo nangis?" tanya Robby terheran. "Iii … itukan Cuma …" Selma diam tak tau harus berbicara apalagi. "Cuma … cumaa Galau …" ledek Robby dan tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD