(14) Way Of Love

2094 Words
Derai air mata mengiring kepergian Selma. Rinta tidak bisa melepaskan kepergian anak gadis satu-satunya. Namun bagaimana lagi waktu dan jarak yang memisahkan mereka. Koper-koper sudah di angkat oleh supir Selma menuju mobil yang sudah menyala. Sedari tadi Rinta terus memeluk anaknya. Ia tak rela jika harus dipisahkan. "Bunda, udah dong, Selma gak kemana-mana. Nanti kita bisa video call. Udah jangan nangis, nanti Selma gak jadi pergi." Rinta melepaskan pelukan dengan anaknya. "Jaga diri baik-baik sayang. Jangan bandel. Jaga diri yang bener. Jangan sampe kamu sakit. Jaga kesehatan. Jangan lupa berdoa sama Allah semoga semua rencana kamu berjalan lancar." "Amin … terimakasih Bunda, Selma pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Jangan tangisin Selma terus. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi." Selma mengalihkan matanya kearah Adam.  "Terimakasih, Ayah. Doakan Selma, semoga Selma sampai dengan selamat, dan bisa mencari ilmu yang banyak. Jaga Bunda jangan sampai Bunda nangisin Selma terus ya." Selma memeluk Adam. "Iya, Nak. Hati-hati di sana. Jangan melanggar apa yang di langgar. Dan inget ada Allah yang selalu sama kamu." "Iya Ayah. Selma selalu ingat. Jaga kesehatan. Assalamualaikum." Selma mencium sekali lagi tangan orangtuanya, dan berjalan pelan kearah mobil yang sudah menyala. Sebelum masuk kedalam mobil Selma menengok lagi kearah kedua orangtuanya. Ini sudah menjadi peraturan. Hanya cukup satu anggota keluarga saja yang mengantarkan keberangkatan. Jadi hanya Robby yang mengantarkan Selma menuju Bandara. Di dalam mobil, Robby sudah mengklakson Selma, takut keberangkatannya telat. Selma mengangguk Ia melambaikan tangannya kearah Rinta yang menangis dipelukan Adam. Setelah Selma masuk kedalam mobil. Robby langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tak lama mereka sudah sampai Bandara. Selma melihat para sahabatnya yang berkumpul di pintu masuk Bandara. "Assalamualaikum," sapa Selma. "Waalaikumsalam"jawab Syabilla dan Dewi. Tak ingin membuang waktu, keduanya Selma memeluk Selma satu-persatu. "Hati-hati di sana, Sel. Jaga kesehatan. Kita belum bisa nyusul kesana," kata Syabilla yang mengusap air mata. "Kalian belum kuliah?" tanya Selma. "Nanti jam 1 siang," ucap Dewi. "Semoga sampai dengan selamat," kata Syabilla. Mereka tidak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Kedua sahabatnya kembali berpelukan. "Sudah, Jangan nangis nanti aku gak tega buat ninggalin kalian," ucap Selma yang juga menghapus air matanya. "Hati-hati di sana, Sel," kata Dewi yang diangguki Syabilla. "Iya Sya, Dew. Terimakasih, ya. Nanti kita bisa video call. Aku berangkat Assalamualaikum," kata Selma yang berjalan membawa 1 koper yang diseretnya. Robby berjalan di belakang Selma dan membawa 2 koper yang sangat besar-besar. Selma bergabung bersama timnya. Ia melihat Nandra yang tengah memainkan ponselnya dan memegang air mineral di genggamannya. "Assalamualaikum, Kak," sapa Selma dengan tersenyum. Nandra menoleh kearah Selma. "Waalaikumsalam," jawab Nandra. "Bang, kenalin ini kak Nandra." Nandra yang diperkenalkan seperti itu, langsung berdiri tegap dan berjabat tangan dengan Robby. "Nandra." "Robby, kakaknya Selma." "Emm … Bang, Selma kumpul ya sama Tim. Sebentar lagi mau berangkat." "Iya, Dek. Hati-hati ya … jangan lupa nanti kabarin kalau udah sampe. Jangan bikin khawatir, harus kasih kabar kalau ada apa-apa." "Siap bos. Laksanakan," kata Selma dan memeluk kakaknya sebentar. Dari kejauhan sayup-sayup Selma mendengar ada yang memanggilnya. Tapi Ia tidak melihat siapapun yang memanggilnya. "Nyari apa, Dek?" tanya Robby. "Ada yang manggil, Bang," ucap Selma. "Udah, mungkin pimpinan kamu kali yang manggil, udah sana, takutnya ada apa-apa." Dengan ragu Selma mengangguk tersenyum ke arah Robby dan berjalan mengikuti Nandra didepannya. 3 koper tadi sudah di angkut oleh petugas bandara. "SELMA!!" Kini suara orang yang memanggil Selma, persis di belakangnya. Tanpa ragu Ia menengok kearah belakang, dan Nandra pun melakukan hal yang sama, namun Nandra mendekatkan langkahnya ke sisi Selma. "Kak Gibran!" Kata Selma dengan terkejut.  Kenapa Gibran sampai tau Selma ada di sini. Robby sudah tau akan terjadi drama apa sesudah ini. Robby mendengar semua percakapan Gibran Selma di balkon kamarnya. Tetapi Robby tak tau bagaimana Gibran bisa tau bahwa Selma sedang di bandara saat ini. "Jangan pergi, Sel. kasih aku waktu buat mengubah semuanya." Napasnya yang memburu tak menghalangkan Gibran untuk berbicara serius kepada Selma. "Kasih aku waktu, Sel. Waktu dengan kamu sangat berharga buat saya," kata Gibran terdengar lirih. Robby berjalan kearah Gibran, Ia diam di belakang Gibran. Nandra yang tak tau apa sebenarnya hanya memeperhatikan. "Maaf, Sel. Mungkin maaf saja tak bisa mengembalikan hatimu yang telah saya sakiti. Namun saya orang lemah yang hanya bisa mengatakan maaf." Gibran maju kearah Selma yang menatapnya. "Harus berapa waktu yang harus saya tunggu lagi? Kenapa kamu nggak memberitahu saya kalau kamu akan berangkat sejauh ini," lirih Gibran. Air mata Selma mengalir dengan sendirinya. "Jawab Sel, jawab … berapa lama saya harus menunggu kamu." "Aku tidak tau kapan aku akan kembali. Tapi jika Allah mengizinkan kita untuk bersama pasti kita akan bersama," ucap Selma kepada Gibran yang tengah bersimpuh didepannya. Selma tidak enak. Ia memegang pundak Gibran, dan menyuruhnya untuk berdiri. Dengan pakaian dinasnya membuat kegagahan Gibran terpancar. "Tidak bisakah kamu membatalkan semua ini?" tanya Gibran. Selma menggeleng mantap. "Tidak, Kak, tekad Selma sudah bulat. Hati-hati, Kak. Jaga kesehatan. Jika Kakak ingin memilih hati yang lain, silahkan sebelum semuanya terlambat." Gibran pun menggeleng. "Saya tidak akan memilih hati yang lain. Pegang janji saya. Nanti, setelah kamu pulang ke tanah air. Aku akan membawa kedua orangtua saya, menghadap ayahmu, " kata Gibran mantap. Selma mengangguk. “Insyaallah akan Selma jaga ... ucapan kakak." Gibran menatap cuek kepada laki-laki yang ada di sebelah Selma. “Dia Nandra, Kak. Pelajar dari sini yang akan ke Mesir juga,” kata Selma. Gibran mengangguk. "Hati-hati kamu di sana. Jaga hati, jaga diri, jaga pandangan. Semoga kamu cepet pulang," ucap Gibran. Panggilan keberangkatan Selma sudah menggema di area Bandara. Selma berlari dan memeluk Robby yang sedari tadi memperhatikannya. “Doakan Selma, Bang. Dan jaga Kak Gibran jangan sampai dia membohongi dirinya sendirri" ucap Selma dan melepas pelukannya. Robby mengusap pucuk kepala Selma. “Pasti, Dek.” Selma mundur dan kini Ia berhadapan dengan Gibran yang menunduk dihadapannya. "Jaga hati, jaga diri dan jaga pandangan. Semoga semua harapan Kakak tentang aku terwujud. Selamat tinggal sampai jumpa. Assalamualaikum." Selma berjalan mundur dan melangkah mengikuti Nandra.   … "Melamun!" Robby mengeraskan suaranya di dekat telinga Gibran. Ponsel yang tengah Gibran pegang, terhempas begitu saja karena mendengar suara Robby yang sangat membahana. Gibran pun langsung memberi tatapan membunuh. Robby mengambil ponsel Gibran yang terjatuh, dan disimpannya di depan sang pemilik. "Lagian ngapain sih, lo ngelamun terus?" tanya Robby yang terheran. Sejak tadi, Robby terus memperhatikan Gibran yang lebih dingin dari biasanya. Rambut berantakan, baju lusuh, kantung mata lebih terlihat. Hal ini belum pernah ada di kamus Gibran. Entah apa yang menjadi beban pikirannya saat ini. "Balik aja lo sono! Di sini gak ada gunanya ngabisin minuman gue. Habis berapa botol lo?" Tanya Robby yang melihat botol minuman berserakan di lantai kamarnya. Ditanya seperti itu, Gibran masih diam. Entah ini minuman keberapa yang Ia teguk. Robby menggelengkan kepalanya, melihat kekacauan yang di buat oleh sahabatnya. Botol minum berserakan di lantai kamar, bungkus makanan berserakan, bantal guling dan semua isi kamarnya sudah tak beraturan. Robby aneh dengan sikap Gibran yang tiba-tiba datang, tanpa mengirimkan pesan atau apapun itu. Parahnya lagi, Gibran langsung tertidur disebelahnya dan lagi-lagi juga tanpa mengucap satu kata apapun. Belum sempat Robby bertanya apa tujuan Gibran datang kemari, namun Gibran malah berjalan kearah kulkas kecil yang ada di sudut kamar Robby dan mengambil semua makanan yang ada didalamnya. Lalu sampai detik ini, Gibran sudah menghabiskan semua makanannya, namun belum berbicara satu katapun kepada Robby. "Lama kelamaan gue bangkrut, Bran," ucap Robby kepada Gibran yang tengah berbaring di atas kasurnya. "Astagfirullah … lo punya mulut apa kaga? Udah gue bilang, balik sono!” kata Robby dengan gemas. "Mending lo balik sekarang. Kacau bener keliatannya, enggak ngeluarin suara pula, guekan takut, Bran. Terus kenapa lo gak dinas?" kata Robby yang terus mengoceh. Namun Gibran mengabaikannya, ia malam memejamkan matanya. Robby menggelengkan kepalanya, ia hanya pasrah melihat Gibran yang tak merespon perkataannya. Mungkin lelah telah menghabiskan minuman dan banyak makanan, pikir Robby. "Hem …." Satu suara yang keluar dari mulut Gibran, semakin membuat Robby naik pitam. “Ya Allah …” ucap Robby sambil mengusap dadanya. Gibran bangun dari tidurnya, mengcek ponsel, dan kembali meminum minumannya. "Ck! gak elit lo mabuk kaya gituan," ledek Robby. Gibran hanya melirik tajam kearah Robby dan kembali minum. "Kalau mau mabuk sono lo pergi ke club. Biar sekalian digrayangin tante-tante. Terus besoknya langsung ada berita 'seorang Polisi mabuk-mabukan karena di tinggal pacarnya nikah' nah, udah itu lo masuk penjara sampe kakek-kakek kelar deh, gak perlu banyak mikir kaya gini," kata Robby yang wajahnya sudah kesal karena Gibran. "Terlalu lebay!" Robby mengalihkan pandangannya kearah Gibran yang baru saja mengeluarkan suara emasnya itu. "Lagian lo mabuk kaya ginian, perut lo meledak baru tau rasa." Gibran kembali membuka botol minuman yang bergambar kebun teh. Lalu diteguknya sampai tersisa setengah botol. Baru pertama kali Robby melihat seorang laki-laki yang sedang frustasi melarikan dirinya ke sebuah minuman manis berprisa teh itu. Jika orang-orang yang sedang memiliki masalah besar dihidupnya, mabuk-mabukan dengan minuman keras, berbeda dengan Gibran yang lebih memilih minuman berwarna cokelat itu. "Terus kenapa lo galau lagi?" tanya Robby. "Hem." Sungguh Robby ingin membunuh Gibran saat ini juga. Kalau membunuh tidak dilarang Allah, pasti Robby sudah membunuh Gibran dari dulu. Tapi Ia masih berperikemanusiaan jadi, biarlah Gibran hidup dengan aman dan tentram. "Beresin kamar gue!" Perintah Robby. Namun Gibran malah memeluk boneka pink yang sedari tadi Ia pegang, dan meringkuk lalu memejamkan matanya. Entah apa maksud Gibran seperti itu. Namanya orang galau, murung di kamar, dengerin lagu sekeras-kerasnya, orang galau pasti menunjukan bahwa dirinya adalah orang yang paling terlemah di dunia dan berharap ada orang yang memberi belaskasihan kepadanya. Sungguh miris. Niat kecil di hati Robby untuk memotret kegiatan Gibran yang memeluk boneka semakin membuncah dipikirannya. Dengan senyum jahatnya, Ia mengambil ponsel lalu berpura-pura bermain ponsel di depan Gibran. "Kalau mau foto orang, matiin dulu cahayanya!" Kata Gibran dengan nada dingin. Robby melotot, kaget dengan perkataan Gibran. "Untung gue selalu ganteng." Kata Gibran dengan PD. Tadi diem, dan sekarang banyak bicara. "Boneka nya siniin." Robby merebut boneka pink yang ada dipelukan Gibran. Gibran masih memejamkan matanya dan memeluk erat boneka tersebut. Tanpa ingin mengalah Robby naik keatas kasurnya dan terus menarik boneka yang ada dipelukan Gibran, seperti tidak ada kejadian apapun Gibran masih saja memejamkan matanya. "Bran, bonekanya." Robby terus menarik. Tak mau kalah dengan kekuatan Gibran. Gibran masih tenang dengan memeluk bonekanya, ia dapat mencium parfum seseorang yang sangat Ia rindukan di dalam boneka tersebut. "Ambil aja," kata Gibran santai. Robby mengunci kaki Gibran, lalu memegang bonekanya erat dan menariknya. Tok … Tok … Tok … "Astagfirullah …" seorang perempuan cantik dengan pakaian modis terdiam di depan pintu kamar Robby sambil menutup matanya. Mendengar suara perempuan Gibran membuka matanya, ia langsung terduduk. Kaki Robby yang masih ada dipangkuan Gibran otomatis terbawa saat Gibran bangun tadi, dan akhirnya Robby menjerit akibat kakinya yang sakit. "Bangun lo, ada cewek tuh," kata Gibran yang mendorong Robby hingga terjatuh di lanti dengan bunyi tak wajar. Perempuan yang dari tadi memperhatikan kelakuan mereka berdua menggeleng. "Assalamualaikum, Pak," sapa perempuan tersebut. "Waalaikumsalam," jawab Robby. "Maaf ganggu waktunya, ini ada laporan yang harus segera Bapak tanda tangani,” ucap perempuan tersebut dan kini Ia memperhatikan Gibran yang kembali meringkuk dengan boneka pink dipelukannya. "Kenapa gak tunggu di bawah?" tanya Robby yang sedang membaca laporannya. Sejak kemarin Ia sudah dinyatakan menjadi CEO di salah satu perusahaan Adam. Ia sengaja ingin datang siang karena jadwal rapatnya siang hari, namun Sekertarisnya malah datang menemuinya. "Emm … ma—maaf, Pak. Tadi kata ibu dibawah, saya di suruh ke kamar Bapak saja, jadi saya langsung kesini,” kata Sekertarisnya yang bernama Felya. Robby mengangguk. "Pak, tadi Ba--" "Bukan apa-apa, biasa teman saya. Hanya bercanda," kata Robby dengan suara penuh dengan wibawa. Gibran yang mendengar Robby seperti itu mencibikan mulutnya. "Ini sudah ditanda tangani. Nanti saya ke kantor sekitar pukul 11 siang. " "Baik, Pak. Terima kasih. Asaalamualaikum.” Felya pamit dan pergi mengundurkan diri. Setelah menjawab salamnya Robby berjalan ke arah Gibran. "Maaf pak ini ada laporan yang harus ditanda tangani." Gibran menirukan suara Felya tadi. "Brisik, pergi lo, gue mau berangkat ngantor nih," usir Robby. Tapi Gibran kembali mencari posisi yang enak ditidurnya. "Mentang-mentang CEO baru, kerja seenaknya." "Lo juga. Mana ada polisi galau terus." "Gaada hubungannya." Gibran melempar boneka yang tadi dipeluknya. Ia tersadar apa yang dilemparnya, Gibran langsung mengambil boneka tersebut lalu dipeluknya kembali. Robby mengangguk-angguk. "Jadi, ini yang membuat lo main terus ke kamar gue dan melukin boneka itu. Ya Allah Gibran, gengsi lo terlalu tinggi." Gibran terkejut dengan perkataan Robby. "Kalau mau lo bawa balik, bawa aja. Tapi jangan diilerin. Gantiin minuman gue. Besok harus udah ada gantinya. Jangan lupa jajanannya juga, dan terakhir beresin kamar gue,” kata Robby. "Hem." Gibran bangkit dari kasur Robby mengambil ponselnya, snack yang tersisa, dan memeluk boneka pink tersebut. Ia menuju ke arah kaca di kamar Robby. Merapihkan rambutnya, lalu bajunya, dan berjalan ke arah pintu kamar Robby. Robby masih anteng dengan ponselnya. Di saat Ia mendengar ada suara pintu tertutup Robby memperhatikan sekelilingnya tidak ada Gibran di sana, namun kamarnya masih seperti kapal pecah. "Memang bener tu anak minta dikubur. Untung sabar. Efek kepergian lo, membuat seseorang menjadi galau berat, Dek ..." kata Robby yang terkekeh. Ini genap satu tahun kepergian Selma. Namun kegalauan Gibran masih saja tercetak jelas dikeadaannya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD