(4) Way Of Love

1502 Words
Pukul 9 pagi , Selma dan Nafasya tengah duduk di ruang tamu sambil memainkan laptop. Lebih tepatnya, keduanya sedang membuka aplikasi online shop dan mendebatkan barang-barang apa yang seharusnya mereka beli.   Nafasya yang ingin membeli stok make upnya, dan Selma yang ingin membeli baju-baju lucu. Sedari tadi pun, tak ada barang yang sudah di klaim oleh mereka karena perdebatan yang cukup panjang. Sudah seperti adik kakak.   “Aku pakai ini loh, Sel. Warnanya emang senyata itu,” kata Nafasya yang mengklik gambar palete eyeshadow. “Harganya emang murah sih, tapi lumayan kalau buat make up jalan-jalan, tahan lama juga.”   Selma memperhatikan gambar tersebut dan membaca deskripisnya. “Mending pakai merek yang lain aja, aku punya banyak yang kaya gitu di rumah, menurutku warnanya kurang nyata gitu,” kata Selma yang tidak setuju dengan pilihan Nafasya.   “Kamu mau ini atau tidak?” tanya Nafasya yang sudah lelah dengan pilihan-pilihan Selma. Padahal toko ini pasti sudah terjamin kualitasnya karena memang produknya pun mahal-mahal.   “Aku mau beli blush on sama lipstick aja,” kata Selma.   “Aduh, Sel …” kesal Nafasya.   “Hehehe … orang sabar di sayang Allah.”   “Sini laptopnya biar aku yang pegang, kamu pasti pegal.” Nafasya mengambil alih laptop yang ada dipangkuan Selma, ia merasa khawatir juga dengan luka yang ada ditangan Selma.   “Nah itu warnanya bagus,” ucap Selma yang melihat gambar.   “Ini paket make up ya?” tanya Nafasya. “Sudah ada komplit di sini, hanya tidak ada foundation,” lanjutnya.   “Warnanya lucu-lucukan? Udah hampir habis juga,” ucap Selma sambil membaca deskripsi barang.   “Harganya, Sel, enggak kemahalan? Aku yakin make upnya kecil-kecil gitu.”   “Harga ga masalah selagi aku suka,” kata Selma dengan sedikit tawanya.   Nafasnya mengangguk dan menyimpan barang itu untuk dibayar nanti bersama barang-barang lainnya. Butuh waktu 2 jam lebih untuk mereka memilah dan memilih produk-produk yang mereka inginkan.   “Ini sudah Sel? Set make up, lipstick, baju, jilbab, kita jumlah … dan wow,” kata Nafasya terkejut dengan jumlah belanjaan mereka.   “Masukin no rekening aku saja,” kata Selma.   “Tapi ini barang belanjaanku yang banyak,” tolak Nafasya.   “Tidak apa-apa, santai aja kali,” ucap Selma yang ingin mengambil alih laptop. Namun di cegah oleh Nafasya.   “Sel,” panggil Nafasya dan menyuruh Selma untuk melihat kearah tangga. Ada Gibran yang sedang turun. Selma belum paham apa maksud Nafasya, namun ketika Nafasya tersenyum sambil menahan tawanya Selma sekarang paham.   “Jam berapa ini? Tidak inget waktu,” kata Gibran yang sekarang duduk dihadapan mereka.   Tidak menjawab ucapan kakaknya, Nafasya dengan senyum girangnya berjalan mendekati Gibran. “Boleh pinjem hpnya enggak, Kak Gibran ganteng?” tanya Nafasya.   Selma hanya tersenyum geli melihat tingkah Nafasya. “Untuk?” tanya Gibran.   “Sebentar … aku ada perlu,” kata Nafasya yang menyakinkan Gibran untuk bisa memberikan ponselnya.   Gibran pun memberikan ponselnya dan Nafasya langsung kembali duduk dekat Selma. “Jangan aneh-aneh,” kata Gibran yang sekarang menyalakan televisi.   Dengan sangat lancar, Nafasya membuka aplikasi bank yang dipakai oleh Gibran memasukan nomer rekening yang ada dan voila! Semua barang belanjaan mereka sudah dibayar lunas.   “Akan dikirim 2-3 hari kedepan katanya, Sel,” kata Nafasya, dan mereka high five secara diam-diam.   “Nih, Kak … terimakasih,” ucap Nafasya yang langsung memberikan ponsel Gibran yang sudah ia pakai.   Ketika ponsel sudah ada ditangannya, terdengar suara pesan tanpa ragu ia membuka pesan yang jarang-jarang sekali ia dapatkan. Ternyata, pesan dari rincian pembayaran online shop dengan harga yang lumayan besar.   “Dek?” kata Gibran.   “Jangan marah, Kak. Cuma dikit kok, itu belanjaan aku dan Selma, hehehe … Kak Gibran baik deh,” ucap Nafasya dengan senyum tak berdosa.   Gibran menghembuskan napasnya dengan lelah. ”Yayaya ….”   “Nah, gitukan baik,” kini Selma yang berbicara.   Suara bel terdengar nyaring di dalam rumah. siapa yang datang, biasnya tamu akan langsung datang menuju kantor Haidar.   Nafasya berjalan kearah pintu, dan membukanya, betapa terkejutnya Nafasya melihat siapa yang datang. Tanpa ragu ia berteriak memanggil Gibran.   “Kak Gibran!!”   Gibran dan Selma yang mendengar teriakan itu langsung menghampiri Nafasya, belum sempat berbicara ada apa, sebuah sapaan seorang perempuan terdengar ditelinganya.   “Assalamualaikum, Gibran,” sapa seorang perempuan berambut pendek dengan gaun sebatas lutut.   “Waalaikumsalam,” jawab Gibran yang berusaha tenang.   Selma merasa pernah melihat wajah ini, wajah yang mirip sekali dengan orang yang Selma kenal, tapi siapa?   “Bagaimana kabarnya?” tanya perempuan itu sambil tersenyum hangat.   Gibran mengangguk pelan sebagai jawabannya. Nafasnya merasakan ada hal yang tidak beres, antara Kakaknya dengan perempuan ini.   “Kak Lisa, kak Gibran, lebih baik ngobrolnya kita di dalam atau mungkin di kantor Abi?” tawar Nafasya.   Tanpa berbicara sepatah kata pun, Gibran pergi menuju ruang tamu. Nafasnya yang sudah tau sifat kakaknya seperti apa, ia langsung mengajak perempuan yang memiliki nama Lisa itu berjalan kearah ruang tamu dan menarik lengan Selma yang sedang terdiam.   “Duduk, Kak,” kata Nafasya yang mempersilahkan Lisa duduk dihadapan Gibran yang menatap dingin kearahnya, dan sesekali melirik kearah Selma.   “Terimakasih Nafasya, bisa tinggalkan kami berdua?” tanya Lisa dengan senyum cantiknya.   “Emm …” sebelum menjawab, Nafasya melirik ke arah Gibran yang sedang menatap dingin kearah Lisa. “Iya, Kak, aku pergi dulu.”   Nafasya berpamitan dan kembali menarik lengan Selma untuk berjalan-jalan mencari udara segar.   “Selma? Kamu baik-baik ajakan?” tanya Nafasya yang khawatir melihat Selma terdiam sedari tadi.   Selma mengangguk pelan. “Itu tadi siapa, Na?” tanya Selma yang belum bisa mencerna kejadian yang baru saja terjadi.   Suasana siang menuju sore hari di Islamic national center sangatlah sejuk, angin membawa jilbab mereka sedikit beterbangan. Banyak orang lalu lalang yang menyapa mereka. Selma dan Nafasya sedang berjalan menuju sebuah taman buatan yang ada di tempat ini.   “Kak Lisa,” jawabnya tanpa ragu.   Sambil berjalan pelan, dengan pandangan lurus yang kosong, Selma kembali terdiam. Hal yang sedang berkecamuk dipikirannya saat ini adalah ada hubungan apa Gibran dengan perempuan itu, dan tidak biasanya Gibran memiliki hubungan dengan seorang perempuan. Hanya almarhum Alsya, perempuan yang Selma ketahui yang dekat dengan Gibran.   Namun hari ini ia dikejutkan dengan datangnya perempuan yang ia pun baru mengetahui namanya beberapa menit yang lalu.   Sampai di taman, Selma duduk disalah satu ayunan berwarna biru, dan Nafasya duduk di sebelahnya.   “Kamu kok diem lagi?”   “Abi, Umi tau tentang kedekatan mereka?” tanya Selma to the point.   Nafasya mengangguk. “Mereka sudah lama dekat,” ucap Nafasya yang membuat hati Selma tidak karuan.   ‘Dekat bagaimana?’ ‘Jika dekat, aku pasti tau. Setidaknya sedikit cerita.’ ‘Tapi aku belum pernah melihat perempuan itu.’   Semua pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepala Selma. “Bi-bisa kamu ceritakan kedekatan mereka?” tanya Selma dengan ragu.   “Kak Gibran dan Kak Lisa, dua orang yang sangat lucu dulunya. Sahabat, tapi kata orang mereka itu sangat serasi. Aku tidak tau banyak tentang cerita mereka, secara garis besar sih seperti itu, Sel ….”   “Kapan kedekatan mereka?”   “Sejak SMP sampai SMA.”   “Almarhum Kak Alsya? Bukannya dekat juga dengan Kak Gibran?”   Nafasya mengangguk lemah. “Aku dulu pernah bilangkan? Kak Alsya menolak lamaran Abi, karena Kak Alsya mau, Kak Gibran bahagia dengan Kak Lisa. Namun karena Umi dan Abi tidak merestui Kak Gibran dan Kak Lisa lebih dekat lagi, perlahan Kak Gibran menjauhkan dirinya dari Kak Lisa.”   Sedikit demi sedikit, kini Selma paham apa yang terjadi diantara Gibran, Almarhum Alsya dan Lisa ini. Sebuah kisah cinta segitiga.   …   Di dalam ruang tamu, Gibran dan Lisa yang sedari tadi diam membisu, tidak ada yang memulai percakapan diantara mereka. Untuk mengurangi rasa gugupnya, Lisa melihat-lihat sekeliling tempat ini.   “Emm … lama tidak jumpa, Gibran,” kata Lisa yang akhirnya membuka percakapan.   Gibran hanya mengangguk untuk merespon ucapan Lisa. “Kemana Umi dan Abi? Sudah lama aku tidak berjumpa dengan mereka.”   “Tidak perlu bertemu mereka,” ucap Gibran dengan nada dingin.   Lisa mengangguk paham. “Andai kita dulu punya restu dari orang tua kamu, mungkin sekarang kita tidak akan seperti ini.”   “Tidak perlu basa-basi, ada apa?”   “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin bertemu kamu,” kata Lisa dengan santainya.   “Sekarang kamu banyak berubah ya? Sikap kamu lebih dingin dari dulu, kenapa?” tanya Lisa dan tak ada jawaban dari Gibran.   “Aku dengar Alsya sudah tidak ada?”   Gibran cukup jengah melihat Lisa yang seperti ini, hatinya tidak bisa dipermainkan seenaknya. “Jika tidak ada hal yang penting, lebih baik kamu pergi.”   Gibran berdiri dari duduknya. Sebenarnya hatinya sedikit goyah melihat Lisa yang ada dihadapannya. Ada sedikit rasa rindu dengan kedekatan mereka dulu, namun apalah daya jika tidak ada restu dari orang tua untuk terus dekat dengan Lisa.   “Gibran, kamu tidak perlu membohongi hatimu sendiri. Kita bisa menjalani hubungan kita ini tanpa harus ada restu,” ucap Lisa dengan wajah yang sangat serius.   “Bertele-tele,” kata Gibran yang berusaha bersikap seperti biasa.   “Kamu dulu pernah janji sama aku, kamu bakal perjuangin aku. Tapi semenjak ayah kamu menjodohkan kamu dengan Alsya, tiba-tiba kamu berubah sikap. Padahal Alsya sendiri yang menyuruh kamu untuk memperjuangkan aku.”   Gibran terdiam mendengar ucapan Lisa yang memang seperti itu kenyataannya. Bertahun-tahun lamanya Gibran berusaha mencoba untuk hilang dari hadapan Lisa. Namun sekarang pertahanannya sedikit goyah, ada rasa ingin memiliki Lisa kembali dihatinya. Entah untuk menebus rasa bersalah, atau memang keinginan hati untuk bisa terus dengan Lisa.   “Kenapa kamu diam? Apa kamu sudah mempunyai pasangan?” tanya Lisa sambil berjalan menghampiri Gibran dan mengusap lengan kirinya.   Tanpa sadar, Gibran menggeleng pelan. itu yang membuat Lisa tersenyum penuh kemenangan.   Dibalik tirai yang menghalangi antara ruang tamu dan ruang keluarga, ada Selma dan Nafasya yang tengah memperhatikan Gibran dan Lisa. Sehabis dari taman tadi, mereka langsung kembali ke rumah karena Nafasya tidak ingin ada hal yang terjadi pada Gibran dan Lisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD