(2) Way Of Love

1414 Words
Gemuruh suara hujan memenuhi isi mobil yang dibawa oleh Gibran. Cuaca pada malam hari ini sangat ekstrim, dengan suhu yang tentunya sangat dingin. Di dalam mobil tidak ada percakapan apapun diantara mereka. Gibran yang sibuk dengan jalanan didepannya, dan Selma sibuk menggosok-gosok tangannya karena udara dingin dari luar terasa menusuk kulitnya.          “Emm … Kak Gibran? Tolong kecilin AC mobilnya,” kata Selma, dengan suara gemetar akibat kedinginan.          “Hem?” suara Gibran yang baru saja Selma dengar.          Selma rasa mungkin Gibran tidak mendengar suaranya karena suara hujan yang sangat lebat ini. Ia pun sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga kiri Gibran. “Kak! Bisa tolong kecilin AC mobilnya?” ucapnya dengan suara yang cukup tinggi.         Gibran menjauhkan kepalanya kesamping kanan dengan kesal karena mendengar teriakan dari Selma. “Tidak perlu berteriak,” kesal Gibran.         “Habisnya tadi Kak Gibran enggak denger aku bicara,” kesalnya.          “Sudah mati ACnya,” ujarnya tanpa menoleh sedikit pun kearah Selma.          “Oh ya? Ini masih dingin, Kak … memangnya kamu enggak ngerasain ya?” kata Selma dengan suara yang masih bergetar.          Gibran menepikan mobilnya disaat melihat jalanan di sisi kiri kosong. Badannya menghadap belakang jok mobil lalu mengambil sebuah selimut kecil bergambar bunga.          ‘Kak Gibran serius bawa kaya ginian di mobil?’ kata Selma yang berucap didalam hati, sambil menatap bingung kearah Gibran.          Gibran yang melihat tatapan bingung dari Selma langsung berbicara, “ini punya anaknya Budhe,” katanya sambil menyelimuti tangan Selma. Tak lupa dengan suara dinginnya, lalu ia kembali menyetir.         Wangi khas bayi tercium di sekitar hidungnya. Wangi kesukaan Selma, ia membenarkan letak selimut yang tadi dipasangkan Gibran. “Lucu ya, Kak? Aku kira punya kak Gibran,” kata Selma sambil tersenyum.          “Bukan,” katanya dengan singkat.          Hujan bertambah semkain lebat, perjalanan menuju Islamic National Center masih sangat jauh. Sekarang mereka tengah melewati jalanan yang dihiasi oleh pepohonan rimba yang terlihat sangat menyeramkan.          Suhu dingin akibat hujan yang sangat lebat, ditambah keadaan jalanan yang sangat menyeramkan membuat badan Selma semakin bergetar. “Kak, serem banget sih,” kata Selma sambil melirik kearah Gibran.          “Hujan dan malam.”           Selma bingung dengan ucapan Gibran yang baru saja ia dengar. Apa yang dimaksud dari hujan dan malam? Tidak bisakah Gibran mengobrol yang jelas dengan dirinya? Apakah harus berbicara dengan Gibran menggunakan teka-teki?          “Hujan dan malam?” tanya Selma bingung.          “Huft … sekarang hujan, dan lagian sudah malam, jadi tidak ada orang yang berkeliaran di sini, maknaya terlihat sepi,” kata Gibran dengan nada bicara yang malas.          “Dari tadi seharusnya kak Gibran ngomongnya kaya gitu, jadi aku enggak pusing. Kak Gibran enggak bakal kehabisan darah kok, cuma buat ngomog kaya gitu doang,” ucap Selma yang sedikit menceramahi Gibran.          “Ha?” tanya Gibran.          “Kenapa, Kak?” tanya Selma Juga.          “Kamu tadi bicara apa?” tanya Gibran kembali.          “Enggak, ta—Allahuakbar!!” teriak Selma dikala ada petir besar dengan suara yang sangat keras.          Tubuh Selma langsung terasa lemas dan bergetar. Melihat itu, Gibran langsung menepikan mobilnya, ia menengok kearah belakang, jalanan di sini sangat sepi, tidak ada mobil ataupun kendaraan lainnya, jadi mereka aman-aman saja memarkirkan mobil dimanapun.          “Kamu kenapa?” Gibran menghadap kearah Selma yang menutupi wajahnya dengan selimut kecil.          Selma menggelengkan kepalanya dibalik selimut itu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Gibran yang masih menghadap Selma, dan sekarang bahu Selma sedikit bergetar.          “Hei, bangun.” Gibran bingung harus bagaimana, tidak mungkin jika dirinya harus memeluk Selma agar tenang.          “Hei?” panggil Gibran yang meninggikan suaranya agar Selma mendengar. Gibran mencegkram stir yang ada dihadapannya ia sangat kesal jika tidak bisa berbuat apa-apa seperti ini.          “Selma? Kamu sudah tidak apa-apa?”          Selma membuka selimut yang menutupi wajahnya. Ia membersihkan air mata yang ada di pipinya dengan ujung baju tangannya.          “Penakut,” ledek Gibran.          “Kalau kena petir gimana? Bisa mati, Kak … wajar aja aku takut,” kesal Selma.          “Tidak perlu takut,” kata Gibran yang kembali mmelajukan mobilnnya.          “Habisnya hujannya besar banget ditambah jalanan yang serem. Kan jadi tambah takut,” ucapnya yang masih mengusap air matanya.          Gibran menyalakan lampu mobilnya, dan sekarang mobil yang mereka tempati sudah terang dan tidak semenyeramkan tadi. “Terangkan?” Selma mengangguk lemah, dan kembali bersandar dengan tenang.          “Kak?” panggil Selma yang ingin memberi tahu tentang studinya kepada Gibran.          “Hem?”          “Aku mau bil—“          “Bentar,” ucapnya. Gibran membelokan mobilnya kesebuah kafe kecil.          “Mau apa, Kak?” tanya Selma yang tidak dijawab oleh Gibran.          Gibran hanya menyuruhnya untuk diam di dalam mobil. Selma melihat Gibran sedang berlari kearah bagasi untuk mengambil paying. Pintu mobil pun terbuka, Gibran dengan sebuah payung yang tidak besar.          “Turun.” Selma mengangguk, membawa tas selempangannya dan turun. Gibran memayungi Selma dan berjalan berbarengan kearah pintu kafe.          Sesampainya di depan pintu, Gibran menutup payung dan menaruhnya ditempat yang sudah tersedia.          “Kena air hujan tidak?” tanya Gibran, yang kini sedang mengacak-acak rambutnya yang basah terkena air hujan, baju cokelat yang ia kenakan pun terlihat basah dibagaian pinggirnya.          Selma menggeleng. “Baju Kak Gibran itu yang basah,” ucap Selma sambil menunjuk lengan kiri Gibran.       Tidak merespon ucapan Selma, Gibran langsung mengajak Selma kedalam Kafe.          Kafe ini diisi oleh muda mudi yang kebanyakan dari mereka sedang kumpul bersama teman-temannya. Dengan pakaian dinas yang ia kenakan, membuat beberapa pasang mata menatap kearahnya. Gibran memilih kursi di pojok kafe, dekat dengan jendela.          “Kenapa tidak di atas saja, Kak?” tanya Selma yang duduk dihadapan Gibran.          “Banyak asap rokok, tidak baik untuk kamu,” kata Gibran santai, yang membuat hati Selma sedikit menghangat.           Suasana kafe yang sangat nyaman dan hangat, ditambah pemandangan hujan, membuat kadar keromantisan disini sangat tinggi. Seorang pelayan laki-laki menghampiri mereka.          “Silahkan pesanannya,” ucapnya dengan sopan.           “Kamu mau apa?” tanya Gibran kearah Selma.           “Aku mau susu jahe dan roti bakar cokelat saja,” kata Selma yang melihat menu-menu yang sedang ia baca.         “Itu saja?” tanya Gibran. Selma mengangguk, dan kembali terhanyut dengan hujan yang terlihat di jendela.        Pelayan itu pergi setelah mencatat semua pesanan Gibran. Suara alunan musik yang merdu menenangkan perasaan mereka disana. Selma merasa seperti ada beberapa pasang mata yang selalu memperhatikan kearah sini. Ia melihat Gibran, ternyata Gibran sedang memainkan ponselnya.         Ternyata ada beberapa perempuan di sebelah kiri mejanya yang sedang senyum-senyum melihat Gibran. Selma pindah tempat duduk untuk bisa mnghalangi akses pengelihatan perempuan itu untuk bisa melihat Gibran.         “Kak …” panggil Selma pelan.         “Hem?” katanya yang masih memainkan ponsel.          “kak?” panggil Selma kembali.          “Hem?” suara itu kembali terdengar.          “Kak!” kesal Selma          Gibran menyimpan ponselnya, lalu melihat kearah Selma yang tengah badmood. “Kenapa?” kata Gibran dengan suara yang lembut.          “Gak,” kesal Selma.          Pelayan datang membawa pesanan mereka. Selma terheran-heran dengan pesanan yang sangat banyak ini. Perasaan ia hanya memesan dua menu, pasti ini kerjaan Gibran.          “Silahkan meikmati,” ucap pelayan tersebut.          Gibran langsung meminum cappuchinonya, dan memakan cake yang ia pesan. Gibran kira Selma langsung memakan pesanannya, ternyata malah bermain ponsel.          Gibran mengambil ponsel yang dipegang oleh Selma. “Dosa membiarkan makanan seperti itu,” kata Gibran. “Makan tidak perlu marah-marah.”          “Siniin ponselku,” kata Selma.          “Tidak, makan,” ucap Gibran.          “kak, sini,” kata Selma yang ingin ponselnya kembali. Ia sudah tidak mood untuk makan saat ini karena sifat Gibran yang menyebalkan.          “Kamu kesal gara-gara banyak orang yang melihat kearah saya?” tanya Gibran yang menyembunyikan senyumnya.          Selma gelagapan mendengar ucapan Gibran. Ia langsung meminum susu jahenya dan mencoba bersikap santai. “E—mm enggak kok, enggak usah kepedean jadi orang, Kak,” kata Selma yang kini menggigit rotinya.         Gibran rasa lucu juga mengerjai Selma jika sedang kesal seperti ini. “Kamu cemburu?” tanya Gibran santai.          “Cemburu? Ha? Hu? Sejak kapan aku cemburu?” Selma bingung jika sedang seperti ini ia harus bersikap seperti apa.          “Ponselku, Kak,” katanya lagi.          “Terus kenapa kamu pindah?” katanaya dengan wajah tanpa ekspresi yang membuat Selma makin kesal.          “S—suka –suka Selma dong. Aku pelanggan di sini, memangnya ada aturan tentang hal kaya gitu?” kata Selma.          “Kalau cemburu bilang,” ucap Gibran dengan santai, sangat-sangat santai.          “Apasi, Kak.”          “Pindah lagi ketempat duduk tadi,” ucap Gibran yang menyuruh Selma.          “Kenapa memangnya?” tanya Selma.          “Saya tidak suka kamu dilihat oleh pria-pria itu,” kata Gibran dingin.          Wajah Selma langsung memerah, ia berdiri dan kembali duduk di kursi sebelah kanan yang berhadapan dengan Gibran.          “Kak Gibran, apaan si,” ucap Selma yang merasa malu.          “bukan apa-apa hanya saja tidak sopan jika laki-laki seperti itu.”          Selma hanya mengangguk, mengobrol dengan Gibran serasa terintrogasi, karena sifatnya yang dingin dan tidak suka basa-basi, lebih baik ia diam dan memakan maknana yang ada.          “Tidak perlu debat, makan semuanya.” Kata Gibran, yang diangguki Selma.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD