Pagi itu udara desa masih segar. Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan, sementara ayam jantan terdengar bersahut-sahutan dari kejauhan. Di dapur rumah sederhana Bik Ningsih, Indira sudah sibuk sejak fajar. Aroma tumisan bawang putih dan santan yang mendidih memenuhi ruangan.
Di meja panjang, sudah tersusun puluhan kotak nasi yang siap dibawa ke lokasi proyek pembangunan mal. Meski baru dua minggu berjalan, usaha katering kecil ini sudah menjadi denyut baru kehidupan Indira. Ia tak pernah menyangka, hidup yang dulu penuh kemewahan kini berubah menjadi rutinitas sederhana: memasak, membungkus, dan mengantar pesanan.
“Ndok, sambalnya jangan lupa ditambah,” ujar Bik Ningsih, tangannya cekatan mengaduk sayur lodeh.
“Iya, Bik. Sudah saya sisihkan,” jawab Indira sambil menata ayam goreng di kotak nasi.
Keringat mengalir di pelipisnya, tapi wajahnya tetap tenang. Ia sudah terbiasa dengan ritme baru ini, meski sesekali rasa lelah menyeruak. Baginya, semua jauh lebih baik daripada memikirkan pengkhianatan keluarga tirinya.
Suara motor berhenti di depan rumah, memecah kesibukan mereka. Indira mengira salah satu pekerja proyek yang datang menjemput pesanan. Ia menyeka tangannya dengan kain, lalu keluar ke teras.
Di sana, berdiri seorang pria dengan penampilan berbeda. Ia mengenakan kemeja biru muda yang rapi, celana bahan gelap, dan sepatu bersih. Posturnya tegap, wajahnya tampan dengan rahang tegas, dan senyumnya sopan.
“Permisi,” sapanya dengan suara dalam. “Ini rumah Bu Ningsih, yang mengurus katering proyek?”
Indira sempat terdiam sejenak, menimbang. Lalu ia mengangguk singkat. “Iya, betul. Saya Indira. Ada yang bisa saya bantu?”
Pria itu mengulurkan tangan. “Perkenalkan nama saya Arman. Saya mewakili pihak proyek. Hari ini saya datang untuk mengambil pesanan sekaligus membayar katering untuk satu bulan ke depan.”
Indira menyambut ulurannya sebentar, lalu menarik tangan kembali dengan sopan. Senyumnya tipis, sekadar formalitas. “Silakan duduk dulu, Pak Arman. Saya ambilkan catatannya.”
Arman duduk di kursi kayu di teras, matanya mengikuti gerak Indira yang kembali masuk ke dalam. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berjalan: sederhana, tapi penuh percaya diri. Bukan gaya malu-malu gadis desa kebanyakan, melainkan langkah orang yang terbiasa hidup teratur.
Indira kembali dengan buku catatan kecil. “Ini totalnya, Pak. Kalau belum siap, bisa dititipkan minggu depan.”
Arman menggeleng sambil tersenyum. Ia mengeluarkan amplop dari tas kerja. “Tidak usah menunggu. Saya sudah siapkan pembayaran untuk sebulan penuh.”
Indira menerimanya, lalu memeriksa sebentar. “Baik, terima kasih. Sangat membantu kelancaran usaha kami.”
Sejenak hening, sebelum Arman kembali membuka percakapan. “Kalau boleh tahu, Mbak Indira sendiri yang mengelola semua ini?”
Indira menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar. “Sebenarnya Bik Ningsih yang memasak. Saya hanya membantu menata, membungkus, dan mengatur pesanan.”
“Oh, begitu."
Arman menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Ada rasa penasaran, tapi ia tak ingin terlihat lancang. Sebaliknya, ia hanya menatap dengan kagum. Gadis di hadapannya ini berbeda. Wajahnya cantik tanpa polesan, pakaiannya sederhana tapi rapi, dan ada aura kecerdasan dalam tatapannya.
Bagi Indira, percakapan itu tak lebih dari basa-basi. Baginya, Arman hanyalah salah satu orang proyek. Tak ada alasan untuk memberi kesan lebih. Apalagi hatinya sudah tertutup sejak Adrian memilih mengkhianati dan menikahi adik tirinya. Luka itu belum sepenuhnya sembuh.
“Kalau begitu, saya pamit dulu,” ujar Arman akhirnya, bangkit dari kursi.
Indira mengangguk singkat. “Baik, hati-hati di jalan, Pak.”
Arman melangkah pergi, tapi hatinya terasa berat meninggalkan rumah sederhana itu. Senyum Indira yang samar tetap terbayang di benaknya.
•••
Siang harinya, Indira kembali sibuk membereskan dapur. Ia tak memikirkan pertemuan tadi lebih dari urusan bisnis biasa. Namun, tanpa ia sadari, kesan sederhana itu justru meninggalkan jejak mendalam di hati Arman.
Di lokasi proyek, beberapa pekerja sempat berbisik melihat Arman kembali dengan wajah yang lebih cerah dari biasanya.
“Pak Arman pulang dari rumah Bik Ningsih kok senyum-senyum begitu. Pasti sudah ketemu sama Mbak Indira,” celetuk salah satu mandor.
Arman hanya terkekeh kecil, menutupi sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mampu pahami.
"Mbak Indira memang cantik, Pak. Banyak yang menyukai tapi ya gitu nggak pernah ditanggapi. Orangnya baik tapi cuek sama lelaki yang berniat menggoda."
Diam-diam Arman mendengarkan. Ini baru pertemuan pertamanya dengan sosok Indira. Dan Arman belum berani menyimpulkan apakah dirinya beneran suka atau hanya sekedar mengagumi.
•••
Sore itu, udara desa mulai mengalun teduh. Angin membawa aroma tanah yang lembab sehabis hujan siang tadi. Burung-burung kecil riuh di pucuk bambu, seakan memberi tanda bahwa hari mulai bersiap menuju senja. Di area proyek, para pekerja satu per satu merapikan alat dan berhenti dari aktivitas. Suara mesin yang sejak pagi meraung kini tergantikan oleh canda tawa para buruh yang bergegas pulang ke rumah masing-masing.
Namun tidak semua orang benar-benar siap meninggalkan lokasi. Arman masih berdiri dengan tegap di dekat tenda administrasi proyek. Lelaki dengan kemeja rapi itu berbeda jauh dari para pekerja lain yang berkeringat dan lusuh. Jam tangan mewah berkilat di pergelangan tangannya, sepatu kulitnya tetap bersih meski tanah becek menghampar. Ia tampak seperti orang yang tak seharusnya berada di tengah suasana desa sederhana ini.
“Usman, bisa carikan aku tempat tinggal di sekitar sini?” ujar Arman tiba-tiba, suaranya tenang tapi penuh tekanan.
Mandor proyek itu sontak mengernyit. Usman sudah cukup lama mengenal dunia proyek, dan sudah cukup paham bahwa permintaan seperti ini biasanya bukan hal sepele. Ia menoleh pada Arman, mencoba membaca maksud di balik kalimatnya.
“Memangnya Pak Arman ada rencana akan lama berada di sini?” tanyanya hati-hati.
Arman mengangkat alisnya, tatapan tajam menghujam. “Memangnya kenapa kalau saya berlama-lama di sini?” balasnya datar, nyaris menantang.
Usman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tahu persis siapa yang sedang berdiri di hadapannya: bukan sekadar manajer proyek, tapi pemilik proyek itu sendiri. Arman punya kuasa penuh untuk memutuskan apa pun. “Ya nggak apa-apa, Pak. Hanya heran saja. Apa bapak tidak ada kerjaan di kota kok sampai mau tinggal di sini. Bukankah proyek ini sudah ada Pak Hakim yang menangani?”
“Hakim memang pimpinan lapangan,” jawab Arman cepat, “tapi saya yang punya proyek ini, Usman. Jangan pernah lupa itu.” Ada nada dingin dalam kalimatnya, seakan memberi peringatan.
Usman menunduk cepat. “Siap, Pak. Saya tidak lupa. Baiklah, nanti akan saya carikan kontrakan untuk Pak Arman.”
Arman mengangguk ringan, lalu matanya melirik ke arah jalan tanah di tepi proyek. Beberapa menit sebelumnya ia melihat Indira lewat sambil membawa keranjang besar berisi nasi kotak. Gadis itu, dengan wajah sederhana tanpa make-up, rambutnya diikat seadanya, tetap saja tampak begitu anggun di mata Arman. Senyum tipis Indira yang dilemparkan pada para pekerja tadi seolah menempel di kepala Arman hingga sekarang.
“Hm, saya tidak mungkin tinggal di bedeng bareng kalian. Tidak mungkin juga terus-terusan menginap di hotel. Kalau ada kontrakan kan memudahkan saya jika sering-sering datang kemari,” kata Arman lagi, mencoba menyamarkan maksud sebenarnya.
“Betul, Pak,” sahut Usman cepat. Ia berusaha menyembunyikan senyumnya, tapi sulit. Bukan Usman tak paham apa yang sebenarnya terjadi.Bahkan barusan Usman melihat Arman diam-diam memperhatikan Indira. Bagi Usman, itu jelas tanda besar: bosnya sedang jatuh hati.
Arman lalu menepuk bahu Usman. “Dan satu lagi. Itu motor butut kamu, saya beli.”
Usman sontak terkejut. “Apa, Pak?”
“Jangan sok kaget begitu. Nanti saya beli dengan harga lima kali lipat biar kamu bisa beli yang baru,” ucap Arman enteng, seakan menawarkan recehan.
Usman menelan ludah. Tawaran itu terlalu menggiurkan. Motor tuanya sering mogok, dan jika ia bisa membeli motor baru, tentu hidupnya akan jauh lebih mudah. “Siap, Pak. Terima kasih banyak.” Senyum lebar pun merekah di wajahnya. Dalam hati ia berjanji akan mencari kontrakan terbaik, asalkan itu bisa membuat bosnya makin betah di desa.
Meski begitu, di kepalanya sudah muncul pertanyaan: apakah ini semua demi proyek, atau demi Indira? Usman tahu jawabannya, meski ia memilih menyimpannya rapat-rapat.
Sementara itu, di rumah Bik Ningsih yang sederhana, Indira baru saja menaruh baki kosong di meja. Seharian ini ia sibuk mengantarkan katering ke lokasi proyek. Tubuhnya letih, tapi hatinya puas. Usaha yang dirintis bersama Bik Ningsih ternyata mulai menampakkan hasil. Para pekerja proyek tampak senang dengan masakannya. Bahkan beberapa kali mereka memuji lauk sambal teri buatan Indira yang dianggap menggugah selera.
Bik Ningsih menatap anak angkatnya itu dengan bangga. “Ndok, kamu itu kalau terus-terusan kerja keras, jangan lupa jaga kesehatan. Jangan sampai sakit.”
Indira tersenyum tipis. “Iya, Bik. Indira sehat kok. Lagi pula, ini semua juga untuk masa depan kita. Kalau usaha katering ini jalan terus, siapa tahu nanti bisa buka warung besar atau restoran kecil.”
Mendengar itu, Bik Ningsih hanya bisa mengangguk. Dalam hati, ia bersyukur mampu mendampingi anak sang majikan hingga detik ini. Gadis hebat yang meski terbuang dari keluarganya sendiri tapi Indira begitu rajin, sopan, dan punya semangat kuat. Tidak heran jika banyak lelaki di desa ini yang diam-diam menaruh hati pada gadis itu. Hanya saja, Indira seolah membangun benteng tinggi setelah dikhianati masa lalunya. Tidak ada satu pun lelaki yang berhasil mendekat.
•••
Di hotel yang ia sewa sementara, Arman duduk di kursi sambil menyalakan lampu meja. Ia membuka laptop, seolah ingin memeriksa laporan proyek. Namun pikirannya melayang. Bayangan wajah Indira muncul begitu jelas di pelupuk matanya. Senyum tulus gadis itu, kesederhanaan cara bicaranya, bahkan caranya mengangkat keranjang berisi nasi kotak—semua itu menancap dalam hati Arman.
“Indira,” gumamnya pelan, seakan nama itu punya daya magis. Ia sadar betul, jatuh cinta pada pandangan pertama bukanlah hal logis. Tapi entah kenapa, kali ini ia tidak bisa melawan. Di kota, begitu banyak wanita cantik yang sering mendekat padanya. Model, sosialita, bahkan wanita karier. Namun tak satu pun bisa membuatnya terpikat sedalam ini. Baru sekali ia bertemu dengan Indira, tapi rasanya ada magnet kuat yang menariknya untuk tetap di sini.
Arman menutup laptopnya. Ia sudah bulat tekad. Jika harus mencari alasan untuk lebih lama tinggal di desa, ia akan melakukannya. Usman pasti bisa mencarikan kontrakan yang layak. Dengan begitu, ia tidak perlu bolak-balik kota, dan lebih mudah baginya untuk mencari kesempatan bertemu Indira lagi.