5. Kecewa Karena Bukan Indira Yang Datang

926 Words
Pagi itu udara di desa begitu segar. Embun masih menempel di ujung dedaunan dan suara ayam berkokok dari kejauhan menandai dimulainya hari. Namun bagi Arman, pagi itu terasa terlalu lambat. Ia sudah duduk di kursi ruang tamu sejak pukul enam, menanti kedatangan seseorang. Perutnya pun mulai keroncongan karena lapar. Sudah seminggu Arman tinggal di kontrakan sederhana itu. Ia bilang pada semua orang bahwa ia hanya kepala proyek yang sedang mengawasi pekerjaan lapangan. Tak ada yang tahu kalau sebenarnya ia adalah pemilik proyek besar yang tengah dikerjakan di desa itu. Ia tak mau dikenal sebagai “bos besar” di tempat kecil seperti ini. Ia ingin bisa berbaur, apalagi setelah bertemu Indira dua minggu lalu. Indira — gadis desa yang sederhana, tapi begitu memikat tanpa perlu berusaha. Senyumnya masih terbayang di benak Arman, caranya bicara sopan tapi cerdas, dan matanya yang teduh seakan tahu banyak hal tapi enggan bercerita. Kini jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas. Arman mengetuk meja dengan jari-jari panjangnya, tak sabar menunggu. “Harusnya jam segini udah datang…” gumamnya pelan sambil melirik ke arah jendela berharap orang yang ditunggunya segera tiba. Tak lama kemudian, suara deru motor terdengar dari luar. Arman sontak berdiri. Ia bahkan buru-buru merapikan rambut dan membuka pintu sebelum pengantar makanan itu sempat mengetuk. Namun senyumnya langsung luntur. Yang berdiri di depan rumah bukan Indira — melainkan Wawan, pria muda yang jadi kurir katering Bik Ningsih. “Selamat pagi, Pak Arman!” sapa Wawan ceria sambil menurunkan dua kotak makanan dari motornya. Arman sempat terdiam dua detik sebelum tersadar dan tersenyum hambar. Mendengus dalam hati karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. “Oh, iya pagi juga. Ini makanannya?” “Iya, Pak. Ini menu pagi dan siangnya sekalian. Bik Ningsih bilang biar sekalian dikirim supaya nggak bolak-balik.” Arman menerima bungkusan itu dengan tatapan datar. “Untuk makan malam, nanti diantar ke sini atau ke proyek, Pak? Soalnya kadang Bapak pulangnya nggak tentu,” tanya Wawan lagi. “Nanti antar ke sini aja, habis magrib." “Siap, Pak. Oh iya, Bik Ningsih nitip pesan, kalau nanti ada tambahan menu, bisa dikabarin lewat saya.” Arman mengangguk pelan, tapi ada rasa kecewa yang tidak bisa ia sembunyikan. “Kok hari ini kamu yang nganter, Wan? Biasanya Mbak Indira, kan?” tanyanya pura-pura santai sambil menaruh kotak makanan ke meja. Wawan tertawa kecil. “Hehe, iya, Pak. Mbak Indira lagi sibuk banget pagi ini. Banyak pesanan yang harus diantar ke proyek sama ke rumah warga juga. Kalau semuanya diantar beliau, waktunya nggak nyukupin.” “Oh gitu…” Jawaban itu terdengar wajar, tapi buat Arman justru menambah rasa kesal yang aneh. “Padahal saya udah siap nunggu dari pagi,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Wawan yang masih berdiri di depan pintu menggaruk kepala. “Ada lagi, Pak? Kalau nggak ada saya lanjut antar ke Pak Lurah.” Arman menatapnya sebentar, lalu tiba-tiba berkata, “Eh, Wan, boleh tanya sesuatu?” “Boleh dong, Pak. Tanya apa?” “Nomor handphone-nya Indira, kamu punya kan?” Pertanyaan itu membuat Wawan langsung kaget. Ia mengedip beberapa kali, ragu menjawab. “Eh… punya sih, Pak. Tapi… buat apa, ya?” Arman menahan senyum. “Ya biar gampang kalau saya mau pesan langsung. Kan lebih efisien.” Wawan masih terlihat canggung. Ia tahu aturan Bik Ningsih — nomor Indira tidak boleh disebar sembarangan, apalagi ke pelanggan pria. “Hmm… gini, Pak. Sebenarnya saya nggak berani ngasih nomornya. Soalnya Mbak Indira suka marah kalau ada pelanggan yang minta kontak langsung. Katanya nanti nggak profesional.” Arman menarik napas panjang, mencoba menutupi rasa kesal yang muncul lagi. “Padahal cuma mau pesan makanan lebih cepat aja,” ujarnya datar. “Kalau mau cepat, kabarin saya aja, Pak. Nanti saya sampaikan langsung ke Mbak Indira,” kata Wawan cepat, takut membuat pelanggan kecewa. “Ya udah deh, kalau begitu.” Arman mengangguk dan menepuk bahu Wawan pelan, menyudahi percakapan. Wawan pun pamit dan berlalu dengan motornya, meninggalkan Arman berdiri di depan pintu rumah kontrakan itu dengan perasaan yang… aneh. Ia menatap motor Wawan menjauh, lalu menutup pintu perlahan. “Cuma mau lihat senyumnya aja, susah banget ya,” gumam Arman sambil menatap kotak makanan di meja. Ia membuka wadah itu satu per satu — ada nasi uduk dengan lauk sambal goreng kentang, telur balado, dan sayur asem yang masih hangat. Aromanya menggoda, tapi entah kenapa Arman kehilangan selera. Ia duduk termenung, menatap jendela yang terbuka separuh. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat anak-anak berlarian ke sekolah, ibu-ibu yang membawa belanjaan, dan suara ayam tetangga yang berkokok riuh. Suasana yang sederhana tapi menenangkan — dan di antara semua itu, hanya satu hal yang terasa kurang: kehadiran Indira. Beberapa menit kemudian, Arman mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi kontak dan menatap layar kosong, seolah berharap nomor Indira tiba-tiba muncul di sana. Ia tersenyum miris. “Arman, kamu ini lucu,” katanya pada diri sendiri. “Di kota bisa punya banyak wanita yang ngejar-ngejar, tapi di desa malah tergila-gila sama gadis penjual nasi.” Ia menepuk jidatnya sendiri lalu tertawa kecil. Namun jauh di dalam hatinya, Arman tahu rasa itu nyata. Sejak hari pertama melihat Indira di depan dapur Bik Ningsih — dengan wajah lelah tapi tetap tersenyum — ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sebuah rasa kagum yang pelan-pelan berubah menjadi penasaran, dan kini… jadi rindu yang ia sendiri tak mengerti. Sambil meneguk air putih, Arman bertekad satu hal: Apapun caranya dia akan mencoba mendekati gadis itu. Dan pagi itu pun berlalu dengan perasaan yang menggantung — sarapan yang seharusnya mengenyangkan, justru menyisakan kekosongan di d**a Arman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD