13. Akad Nikah Dadakan

1375 Words
Namun Pak Lurah sudah tidak mau dengar. Ia sibuk memberi perintah pada orang rumah untuk menyiapkan kursi, tikar, dan segala keperluan. Suasana rumah makin ramai. Beberapa warga berdatangan karena mendengar kabar akan ada pernikahan mendadak malam ini. Sementara itu, jauh di seberang jalan desa, di warung kopi dekat proyek, Arman sedang duduk bersama Usman dan dua pekerja lainnya. Udara malam yang biasanya tenang kini dipenuhi suara ramai dan cahaya senter warga yang berjalan berkelompok. “Lho, itu orang-orang kok kayaknya ramai banget ya, ke arah rumah Pak Lurah,” gumam Usman sambil menengok. Arman yang sedari tadi memainkan sendok di gelas kopinya ikut menoleh. “Ada apa, ya?” Usman memanggil salah satu warga yang lewat. “Pak, ada apa rame-rame?” Pria itu berhenti sejenak, menoleh dengan wajah antusias. “Waduh, belum denger, Man? Itu lho, si Mbak Indira ketangkap m***m sama anak Pak Lurah! Katanya mau langsung dinikahkan malam ini.” Gelas di tangan Arman langsung berhenti di udara. “Apa?” “Ya ampun, Pak. Bapak nggak salah denger kok. Tadi katanya warga nemuin mereka di kamar. Sekarang penghulu udah dipanggil.” Arman berdiri spontan. “Itu nggak mungkin!” Usman ikut bangkit, panik. “Wah, ini kayaknya ada yang aneh, Pak. Mbak Indira itu orangnya sopan banget. Nggak mungkin dia kayak gitu.” “Cepat!” Arman langsung melangkah cepat menuju motor bututnya. “Kita ke sana sekarang.” Dalam beberapa menit, mereka sudah menembus jalan desa yang ramai. Arman menyalip kerumunan warga yang berjalan kaki. Hatinya berdegup keras, napasnya memburu. Indira… jangan bilang kamu dalam bahaya. Di rumah Pak Lurah, suasana semakin kacau. Meja ruang tamu sudah diubah jadi tempat akad. Penghulu baru saja datang bersama dua saksi. Bik Ningsih yang datang tergesa-gesa langsung menangis ketika tahu maksud kedatangan dirinya. “Pak Lurah! Jangan begini, Pak! Indira itu anak baik. Saya kenal betul dia!” “Bik, tolong jangan ribut dulu,” ucap Pak Lurah berat. “Saya cuma ingin semuanya selesai malam ini.” “Selesai gimana, Pak? Ini malah nambah masalah!” “Bik Ningsih, tolong jangan ikut campur terlalu jauh,” potong Bu Lurah dengan nada tegas namun lirih. Wajahnya sendiri pucat, tapi ia hanya bisa pasrah. Indira berusaha memegang tangan Bik Ningsih. “Bik, tolong aku…” “Tenang, Nduk. Bibik nggak bakal biarin kamu dipaksa nikah sama orang itu,” ucap Bik Ningsih seraya menatap Dimas tajam. Dimas hanya menunduk, tapi ujung bibirnya terangkat tipis. Ia tahu semuanya sudah diatur dengan rapi. Sekarang hanya menunggu penghulu mengucapkan ijab kabul. Tepat ketika penghulu hendak membuka suara, Arman dengan motornya berhenti mendadak di halaman depan. Arman muncul bersama Usman. Wajahnya tegang, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Begitu melihat Indira yang duduk di kursi dengan wajah sembab, ia langsung melangkah ke depan tanpa ragu. “Pak Lurah, hentikan ini!” suaranya menggelegar. Semua orang menoleh. “Siapa kamu?” tanya Pak Lurah dengan nada tajam. “Saya Arman, kepala proyek di sini!” “Oh, kepala proyek…” beberapa warga berbisik-bisik. Mereka tidak tahu bahwa Arman sebenarnya pemilik proyek itu sendiri. “Saya datang untuk meluruskan hal ini,” lanjut Arman mantap. “Indira tidak bersalah. Saya tahu siapa dia. Tidak mungkin dia berbuat hal memalukan seperti yang kalian tuduhkan!” Pak Lurah menatapnya tajam. “Kamu tidak tahu apa-apa. Kami semua sudah lihat dengan mata kepala sendiri.” “Saya tahu cukup banyak untuk bilang kalau ini semua jebakan!” Arman membalas tanpa gentar. “Dan saya akan buktikan itu!” Dimas langsung bangkit dari tempat duduknya, mendekat dengan wajah dibuat-buat marah. “Kamu siapa, berani-beraninya datang ikut campur!” “Saya orang yang tidak akan diam kalau ada perempuan baik-baik dijatuhkan harga dirinya oleh laki-laki licik seperti kamu!” Ruangan mendadak hening. Tatapan semua orang kini berpindah dari Dimas ke Arman. Indira menatap Arman dengan mata berkaca-kaca. “Pak Arman…” suaranya lirih. Arman menoleh dan memberi isyarat menenangkan. “Tenang, Indira. Aku di sini.” Namun Dimas malah tersenyum miring. “Kamu pikir kamu siapa? Orang luar jangan sok jadi pahlawan." Arman melangkah lebih dekat, menatap lurus ke wajah Dimas. “Karena kamu sudah melampaui batas, Dimas.” Pak Lurah menatap keduanya bergantian, bingung dan marah. “Sudah cukup! Ini rumah saya! Jangan bawa-bawa urusan luar! Sebaiknya kita segera langsungkan acaranya. Keburu malam." "Saya tidak mau!" teriak Indira histeris dengan wajah memerah. “Cukup, Indira!” bentak Pak Lurah keras. “Warga sudah tahu semua. Kalau kalian nggak menikah, nama baik keluarga ini hancur, dan Indira ... kamu akan dicap tidak baik dan bisa terusir dari kampung." Indira menegakkan tubuhnya. “Saya lebih baik pergi dari kampung ini, Pak. Tapi saya nggak akan menikah dengan orang yang menjebak saya!” “Tapi, Nak—” Arman memotong cepat. “Kalau memang itu masalahnya, biar saya saja yang menikahi Indira.” Suara itu membuat semua orang terdiam. Bahkan suara jangkrik di halaman pun seakan berhenti. Semua mata kini tertuju pada Arman yang berdiri tegak di tengah ruangan. Dimas langsung berteriak, “Nggak bisa! Indira harus menikah denganku!” “Kenapa? Karena kamu takut semua orang tahu kebenarannya?” Arman mendekat, suaranya lebih rendah tapi tajam. “Kamu pikir dengan menikahi Indira kamu bisa menutup kebusukanmu? Tidak, Dimas.” “Cukup!” teriak Pak Lurah lagi. Ia mengusap wajahnya lelah. “Aku bingung harus gimana! Warga sudah berkumpul, penghulu sudah datang!” Penghulu yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara dengan tenang. “Begini saja, Pak Lurah. Kita tanya langsung pada yang bersangkutan. Indira mau menikah dengan siapa?” Semua mata kini beralih pada Indira. Gadis itu menatap tanah, lalu menatap Arman yang berdiri teguh di hadapannya. Wajah Arman teduh tapi tegas, memberi isyarat bahwa dia tidak main-main. Air mata menetes di pipi Indira. “Saya… saya bersedia menikah dengan Pak Arman.” “APA?!” Dimas menjerit. Wajahnya merah padam. “Tidak bisa! Itu tidak sah! Dia cuma orang luar!” “Tapi kalau Indira memilihnya, kita tak bisa memaksa. Yang penting Indira menikah. Itu kan yang kalian minta," ucap penghulu bijak. Suara gaduh mulai terdengar lagi, sebagian warga berdebat, sebagian lainnya hanya menonton dengan wajah penasaran. Pak Lurah akhirnya menyerah. Ia menatap Dimas dengan kecewa. “Kamu sudah bikin masalah besar, Dimas. Tapi kalau Indira sudah memilih, bapak tak bisa memaksa.” Wajah Dimas tampak seperti ingin meledak. Tangannya mengepal, napasnya tersengal. Tapi semua sudah terlambat. Penghulu mulai meminta data diri milik Arman dan Indira. Arman mendekat pada Bik Ningsih dan berbisik, “Bik, saya mohon doa restunya. Saya nggak mau Indira menanggung malu karena hal yang bukan salahnya.” Bik Ningsih yang sedari tadi menangis hanya bisa mengangguk pelan. “Pak Arman, kalau ini jalan terbaik, bibik restui. Tapi jagalah Indira, ya Pak…” Beberapa warga mulai hening. Ada yang menatap haru, ada juga yang masih tidak percaya pernikahan mendadak ini benar-benar terjadi. Di tengah malam yang tegang itu, suara penghulu mulai memecah keheningan. “Baik, kalau begitu. Saudara Aditya Arman Wijaya bin Ardiansyah Wijaya, apakah Anda bersedia menikahi saudari Indira Akbar binti almarhum Yusuf Akbar dengan mas kawin apa adanya yang ada pada Anda malam ini?” Arman menghela napas, menatap Indira yang masih menunduk. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan. “Dengan mas kawin uang tunai dua ratus ribu rupiah, saya terima nikahnya Indira binti Yusuf Akbar dengan penuh keikhlasan.” Penghulu mengulang ijab qabul dengan suara lantang. Arman menjawab dengan mantap. Tak ada keraguan, tak ada jeda. “SAH!” seru para saksi bersamaan. Beberapa warga bertepuk tangan kecil, sebagian lainnya masih tertegun. Indira menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis lagi, tapi kali ini tangisnya bukan hanya karena malu — ada lega yang tak bisa dijelaskan. Sementara Dimas melangkah mundur, wajahnya menegang penuh amarah. “Kalian pikir sudah menang? Kalian pikir ini selesai begitu saja?!” bentaknya. “Aku akan buat kalian menyesal, terutama kamu, Arman!” Dimas mengumpat, lalu berbalik dengan kasar dan keluar rumah diikuti Rio dan Andik. Pak Lurah hanya bisa memejamkan mata, malu pada warga. “Maafkan saya, Pak Arman. Semua ini di luar kendali saya.” Arman tersenyum sopan. “Tidak apa-apa, Pak. Yang penting sekarang Indira aman.” Malam itu menjadi malam yang tak pernah terbayangkan — sebuah akad yang lahir dari fitnah, tapi disatukan oleh niat tulus untuk melindungi kehormatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD