Nayla menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang Gibran. Hujan masih mengguyur deras di luar, menyamarkan suara isak yang tertahan di tenggorokannya. Beberapa detik ia hanya berdiri diam, lalu perlahan menoleh ke arah meja di sudut kamar. Di sana, di bawah cahaya lampu kuning lembut, sebuah kamera kecil tersembunyi di antara vas bunga. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Permainan baru saja dimulai, Gibran.” Ia melangkah ke meja, mematikan perekaman, dan memasukkan kartu memori ke dalam laptopnya. Butuh beberapa detik sebelum layar menampilkan gambar — rekaman malam itu. Bayangan dua orang di bawah cahaya lampu hotel. Tidak vulgar, tapi cukup untuk menghancurkan reputasi seseorang. Nayla juga mengambil ponselnya dan membaca pesan yang masuk, seseorang yang dibayarnya mengiri

