Darah menetes dari pelipis Gibran, menodai kerah kemejanya yang kini kusut. Bahkan di tengah semua itu, pandangannya hanya tertuju pada satu orang — Rania. “Gibran... kamu berdarah...” suara Rania gemetar, matanya membesar, panik, seolah baru sadar apa yang baru saja terjadi. Ia berlari menghampiri, memegang wajah Gibran yang dingin dan sedikit bergetar. “Astaga, Mas—ini karena aku...” Gibran menggeleng, tangannya perlahan menyentuh pipi Rania. “Bukan salahmu. Ini cuma goresan kecil,” katanya lirih, tapi tubuhnya sedikit oleng. Mama menutup mulut dengan tangan, shock. Mahardika masih membeku, tapi Nayla yang tadi melempar vas kini menatap dengan tatapan kosong campur kemarahan, seolah menyesali tapi juga tak ingin kalah. Rania langsung mendekap Gibran, menahannya agar tidak jatuh. “Kit

