Lampu kristal berkilauan di atas panggung besar, memantulkan cahaya hangat ke seluruh aula megah keluarga Mahardika. Musik klasik mengalun lembut, wangi bunga putih memenuhi udara, dan sorakan tamu menggema. Semua orang berdiri, memandang pasangan di atas pelaminan, Gibran dan Nayla, pengantin baru yang katanya sempurna. Gibran berdiri kaku di samping Nayla. Setelan jas hitam itu tampak pas di tubuhnya, tapi wajahnya pucat, seperti pria yang baru saja kehilangan seluruh dunia. Di sampingnya, Nayla tersenyum lebar — senyum yang tidak hanya menunjukkan kebahagiaan, tapi juga kemenangan. “Cium pengantinnya!” teriak seseorang dari barisan tamu, disambut tawa dan tepuk tangan. Gibran menelan ludah, matanya sekilas menatap ke arah balkon lantai dua — tempat Rania dulu sering berdiri diam, men

