Pelukan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih panas. Gibran menunduk, bibirnya mencari leher Rania, menorehkan ciuman yang membuat gadis itu memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan suara.
“Gibran…” suaranya nyaris tak terdengar, setengah ragu, setengah menyerah.
“Kalau kamu mau aku berhenti, bilang sekarang,” balas Gibran di sela napasnya.
Rania tidak menjawab. Jemarinya justru meraih belakang leher pria itu, menariknya lebih dekat.
Ciuman mereka memanas. Jemari Gibran menelusuri punggung Rania. Detak jantung mereka seperti berpacu, sama-sama liar. Mereka melepaskan segala hal yang membelenggu, membuat mereka melupakan sejenak tentang rintangan, halangan atau kenyataan yang sudah menunggu begitu mereka tersadar. Namun, kali ini, mereka memilih untuk menyalakan api dan tidak memadamkannya.
Gibran menuntun Rania mundur hingga lututnya menyentuh sofa. Rania terduduk, lalu pria itu ikut menunduk, menempatkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, mengurungnya sepenuhnya.
Mata mereka bertemu. Tidak ada kata. Hanya napas yang berat dan tatapan yang berkata lebih dari seribu kalimat.
Rania tahu ini sudah jauh melampaui sekadar permainan. Kalau ia biarkan beberapa detik lagi, batas itu akan lenyap. Dia tidak ingin menghentikan Gibran, sekalipun dia menyadari itu. Rania sudah terlena dan diam-diam hatinya sudah memutuskan bahwa dia akan terjun ke dalam api dan tidak akan mundur sekalipun harus menjadi api.
Gibran mengambil jeda sejenak. Rania memanfaatkan itu untuk bernapas dengan benar. Mereka saling memandang dan keputusan untuk tidak berhenti seolah menjadi kesepakatan keduanya. Namun tepat ketika bibir Gibran nyaris kembali menyentuhnya—suara bel pintu menggema keras. Mereka berdua membeku.
Bel itu berbunyi lagi, lebih cepat, seperti orang yang tidak sabar. Gibran menarik tubuhnya perlahan, masih menatap Rania.
“Kamu punya tamu lain atau janji yang harus dipenuhi malam ini selain denganku?”
Gibran menggeleng cepat. “Aku hanya berjanji menemuimu malam ini.”
"Kalau begitu, itu siapa?"
Gibran menggelengkan kepala, "Entah, tamu yang tak diundang."
Nada suaranya terdengar kesal.
Bel berbunyi untuk ketiga kalinya, disusul suara ketukan keras.
“GIBRAN! Aku tahu kamu di dalam!”
Darah Rania berdesir dingin. Itu… suara Nayla.
Gibran berdiri tegak, rahangnya mengeras. Ia menatap Rania sebentar, lalu berjalan ke pintu. Sebelum membuka, ia menoleh sekali lagi. “Jangan bicara apapun.”
Rania masih duduk di sofa, mencoba menenangkan napasnya. Tangannya meremas ujung gaunnya, menahan campuran rasa panik dan adrenalin yang belum reda.
Pintu terbuka, dan suara Nayla langsung memenuhi ruangan. “Kamu kenapa nggak jawab teleponku? Aku sudah nelepon berkali-kali!”
“Aku sibuk,” jawab Gibran datar.
“Dengan siapa?” Nayla melangkah masuk tanpa izin. Matanya menyapu ruangan—dan membeku ketika melihat Rania di sofa.
Keheningan menebal.
Rania menegakkan punggungnya, berusaha tenang. Gibran berdiri di antara mereka, tapi tatapan Nayla sudah cukup tajam untuk menembusnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Ran?” Suara Nayla dingin, nyaris bergetar.
Rania membuka mulut, tapi Gibran mendahului. “Dia datang untuk urusan pekerjaan. Aku yang minta.”
Nayla memalingkan wajah ke Gibran, matanya menyipit. “Pekerjaan, malam-malam begini?”
“Kalau kamu mau, kami bisa bahas di lain waktu,” Gibran menahan tatapannya.
Nayla tersenyum tipis—senyum yang bukan pertanda baik. “Oh, kalian pasti bisa membahasnya, tapi jangan tanpa aku.”
Nayla menatap lekat Rania, "Karena dibandingkan dia, aku selalu jadi yang pertama."
"Hm, aku rasa kamu perlu mendengarnya juga," kata Gibran.
Nayla tersenyum lalu melingkarkan tangannya di lengan Gibran, "Tentu saja, kita kan pasangan."
Suasana membeku. Rania tahu, malam ini mereka selamat dari ketahuan—tapi hanya sementara. Api yang hampir menyala penuh tadi kini tertahan, tapi bukan padam.
Justru sebaliknya, ia semakin menyala… menunggu waktu untuk meledak.
---
Pagi di rumah keluarga Mahardika tidak terasa seperti pagi biasa. Udara sarapan kali ini berat, penuh tatapan yang tak terucap.
Nayla duduk dengan anggun di samping Gibran, tapi pandangannya sesekali melirik Rania yang sibuk memotong roti di ujung meja. Sejak kejadian di apartemen Gibran tadi malam, kata-kata “urusan pekerjaan” terus terngiang di kepala Nayla.
“Mama.” Suara Nayla terdengar ringan, tapi matanya tetap ke arah Rania, “kemarin aku sudah tawarkan pekerjaan ke Rania. Kayaknya cocok, ya, jadi sekretaris di perusahaan temanku.”
Rania berhenti memotong rotinya, lalu menatap kakaknya. “Kita belum bahas itu lebih jauh, Kak.”
“Oh?” Nayla tersenyum samar. “Kenapa? Takut nggak sanggup?”
Mama tertawa kecil, mengira itu hanya gurauan. “Kakakmu itu niat baik, Rania. Ambil saja, biar nggak bengong di apartemen.”
Sebelum Rania sempat membalas, Gibran meletakkan sendoknya. “Kalau soal pekerjaan…” Tatapannya bergeser ke Rania. “…aku juga butuh sekretaris baru.”
Suara di meja berhenti. Nayla menoleh cepat. “Kamu? Bukannya kamu sudah punya sekretaris? Tadi malam kita nggak bahas kalau Rania akan bekerja untukmu.”
“Dia pindah divisi minggu lalu,” jawab Gibran santai. “Dan aku butuh seseorang yang bisa kupercaya. Rania mungkin cocok. Tadinya, aku mau merekomendasikannya pada temanku, tapi sepertinya kami lebih baik bekerjsama. Apalagi dia adalah calon adik iparku. Kami harus berinteraksi agar akrab.”
Rania menatap Gibran, mencoba mencari maksud di balik kalimat itu. Ia tahu pria ini tidak pernah bicara tanpa rencana.
Nayla menyipitkan mata. “Serius? Dari sekian banyak orang, kamu pilih adikku?”
Gibran menatapnya balik, tenang. “Kenapa tidak? Dia cerdas, cepat belajar, dan… aku lebih nyaman bekerja dengan orang yang sudah kukenal. Kamu juga bilang kalau adikmu butuh pekerjaan. Apa salahnya membantunya, kan?”
Kata “nyaman” itu terasa seperti sengaja ditembakkan ke udara.
Nayla tersenyum tipis. “Ya, asal jangan sampai nyaman… terlalu nyaman.”
Rania merasakan hawa sindiran itu, tapi ia menahan diri untuk tidak terpancing.
“Aku bisa mulai minggu depan,” ucap Rania tiba-tiba, membuat Nayla dan Gibran sama-sama menoleh.
Nayla mengangkat alis. “Oh? Cepat sekali berubah pikiran.”
“Aku pikir, kalau ini kesempatan bagus, kenapa harus menunda?” jawab Rania datar, tapi ada percikan di matanya. "Dibandingkan teman kakak, aku lebih kenal dengan Gibran."
Gibran tersenyum kecil, seolah baru saja memenangkan babak pertama dari permainan yang lebih besar. Namun di balik semua itu, Rania tahu menerima tawaran ini berarti menempatkan dirinya lebih dekat pada bahaya. Bahaya yang punya dua wajah, Gibran dan Nayla. Entah kenapa… ia merasa siap.
Nayla tidak berkomentar, tapi ada sesuatu yang ditahan. Gibran meraih dan menggengam tangannya.
"Jangan berpikir jauh," katanya membuat Nayla tersenyum tipis.
"Nggak, kok."
"Kita akan bertunangan," ucap Gibran pelan.
Nayla mengangguk dengan muka tersipu sementara Rania hanya diam dengan tenggorokan yang terasa nyeri.