Langkah kaki Gibran terasa berat. Dia masih bisa mendengar suara langkah Nayla yang menjauh di belakangnya, meninggalkan dirinya sendirian. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski udara Bandung masih lembap dan padat. Bulan terlihat bersinar gagah, sekalipun awan gelap mencoba menutupi sinarnya, sama halnya dengan Gibran yang terjebak dalam ruang abu-abu. Tangan Gibran menggenggam kunci mobil, tapi entah kenapa tubuhnya kaku, enggan melangkah. Kepalanya penuh. Pernikahan. Nayla. Rania. Tirto. Semuanya berputar dalam satu pusaran yang bikin dadanya sesak. Ia bersandar ke pintu mobilnya, menatap kosong ke langit gelap. "Tanggal pernikahan…" gumamnya, hampir tak terdengar. Mahardika dan Dahlia tadi bahkan tak memberi ruang untuk menolak. Nayla juga diam saja, seolah menerima se

