Mobil Gibran berhenti perlahan di depan rumah keluarga Nayla. Lampu jalan redup, udara malam terasa lembap. Dari kursi penumpang, Nayla masih belum bergerak, padahal sabuk pengamannya sudah terlepas. Dia hanya duduk diam, memandangi tangannya sendiri yang bertumpu di pangkuan. Gibran melirik sekilas, mencoba menebak isi pikirannya. “Nay…” panggilnya pelan, ragu. Nayla menoleh perlahan, tersenyum tipis. “Makasih ya, Gibran, udah anterin.” Suaranya lembut, tapi bukan nada pamit yang biasa. “Always,” jawab Gibran singkat, menahan keinginan untuk menjelaskan banyak hal, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Nayla meraih gagang pintu, sempat menatap Gibran beberapa detik sebelum akhirnya menambahkan, “Oh iya…” Ia mencondongkan tubuh sedikit, mendekat. Napasnya terasa hangat di udara malam.

