Prolog

1494 Words
Lukas menghentikan langkahnya sejenak sebelum masuk ke dalam mobil. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Tatapannya terpaku pada gerbang panti asuhan yang baru saja mereka tinggalkan, tempat yang selalu ia kunjungi untuk berbagi donasi—menatap punggung seorang gadis. "Ada apa, Pak?" tanya Evan, asistennya, mengikuti arah pandang Lukas. “Saya melihat Lea,” gumam Lukas, suaranya terdengar tidak yakin. “Tidak mungkin, Pak. Pesawat Lea delay. Mustahil Lea berada di sini sekarang,” balas Evan. Lukas mengangguk perlahan, meski sorot matanya masih menyiratkan keraguan. Evan kemudian membuka pintu mobil, memberi isyarat agar Lukas masuk. Keduanya akan melanjutkan perjalanan menuju bandara untuk menjemput wanita spesial di dalam hidup Lukas. Deringan dari ponsel Lukas membuatnya menghembuskan napas kasar, tapi dia tetap mengangkat panggilan telepon itu. "Apa-apaan kamu ini, Lukas! Ini kali kedua kamu menolak kerja sama dengan Naka Group. Ada apa sebenarnya?" Suara Mahesa, ayah Lukas, langsung menggelegar dari seberang telepon tanpa menyapa. Lukas Zavier Mahesa, putra sulung Mahesa Rein, kini memegang kepimpinan perusahaan keluarga yang telah dibangun selama puluhan tahun. Di usianya yang masih muda, Lukas telah menunjukkan keahlian luar biasa dalam bisnis. Dia mengepakkan sayap bisnisnya, merambah berbagai sektor mulai dari perindustrian, teknologi dan informasi, hingga pariwisata. Nama CEO muda itu dikenal sebagai pengusaha sukses dengan reputasi tajam dan tanpa kompromi. "Sudah pasti karena perusahaan itu tidak kompeten. Lukas hanya tertarik pada sesuatu yang benar-benar menghasilkan, bukan yang hanya membuang waktu, Papi," balas Lukas tenang, suaranya penuh keyakinan. Mahesa menghela napas berat. "Pikirkan lagi, Lukas. Naka Group itu perusahaan besar, tidak kompeten seperti apa yang kamu maksud? Temui Pak Naka lagi, close the deal!" Tekanannya tegas, tidak menerima penolakan. "Tidak perlu ada yang disepakati lagi, Papi. Lukas akan meminta Evan mengirimkan semua data yang membuktikan mengapa kerja sama itu batal. Setelah Papi lihat, Papi akan mengerti buruknya manajemen perusahaan mereka," jawab Lukas, tetap pada pendiriannya. “Lukas, dalam bisnis itu biasa. Jangan jadi munafik,” sindir Mahesa, menguji kesabaran Lukas. Lukas mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Hargai keputusan Lukas kali ini, Papi." Sambungan telepon diputus sepihak oleh Mahesa. Lukas menurunkan ponselnya dan melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Dia meminta asistennya mengirimkan semua hasil investigasi tentang Naka Group kepada Mahesa. Moto hidup Lukas dalam berbisnis sangat sederhana, tetapi penuh makna kerja cerdas, cuan deras. Prinsip inilah yang membuatnya tak goyah meski menghadapi tekanan sebesar apa pun, bahkan dari papinya sendiri. Tak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Evan memasuki area parkir bandara. Lukas menatap pintu kedatangan mulai ramai. Dia tersenyum lebar merentangkan kedua tangannya, sekejap saja merasakan pelukan hangat dari seseorang yang dia tunggu kehadirannya, Leandra Luz, kekasihnya. Mereka telah menjalin hubungan sejak duduk di bangku SMA. Namun, keduanya terpaksa LDR setelah Lea ikut bersama orang tuanya yang pindah tugas ke Swiss. Bulan lalu kedua orang tua Lea meninggal karena kecelakaan. Kedatangan Lea ke Indonesia kali ini atas bujukan Lukas. Mereka akan menyiapkan pernikahan mereka dalam waktu dekat. “Babe, aku rindu sekali,” ucap Lukas dengan nada manja, nada yang sangat berbeda dari citranya sebagai pemimpin tegas dan dingin di depan banyak orang. Lea juga menyerukan hal yang sama seraya mengeratkan pelukannya. Bukan main senang hati Lukas hari ini, ia mengaku tak sabar ingin langsung membawa sang pujaan hati ke penghulu. Lea melayangkan pukulan kecil ke punggung belakang Lukas—terkekeh geli mendengar ajakan kekasihnya. *** Suara ketukan pintu menginterupsi Lea yang baru saja merebahkan tubuh di atas kasur. Malam ini, ia menginap di vila pribadi Lukas. Wanita itu mengembuskan napas kasar melihat wajah Lukas di balik pintu. “Babe, tidur denganku malam ini,” ujar Lukas, menerobos masuk—memeluk Lea dari belakang—berjalan ke arah kasur. “Big no!” pangkas Lea. Lukas berterus terang menginginkan wanitanya malam ini, bercumbbu melepas rindu—membawa Lea ke atas pangkuannya. “Sabar, ya, Babe.” “Jangan ajarkan aku bersabar, Babe. Sabarku lebih luas dari samudera. Kalau tidak mau bercumbbu denganku, kiss me!” katanya tidak menyerah. Cepat Lea menutup mulutnya dan mulut Lukas dengan sebelah tangannya seraya menggeleng. Lukas menarik tangan Lea. “Babe, please! Kita bahkan belum first kiss. Nempel ajalah nggak aku lumat, nggak,” rajuk Lukas membuat sang kekasih terkekeh seraya menggeleng melipat bibirnya. “Malu aku tuh, belum first kiss. Ngaku-ngaku aku sama Dion dan Ze, sudah dapat first kiss dari kamu,” rengeknya. “Lalu mereka percaya?” tanya Lea dan Lukas menggeleng memasang wajah jengah karena Lea menahan tawanya seolah mengejeknya. “Jangan ketawa,” ancam Lukas. Setelah mengatakan itu, keduanya justru kompak tertawa lepas. “Tidur denganku. Benar-benar hanya tidur saja, nggak lebih. Aku juga mau peluk kamu semalaman ini saking rindunya,” kata Lea. “Iya, Babe. Kalau aku khilaf, maafkan aku ya,” kata Lukas. “Keluar dari kamar ini,” titah Lea beranjak dari pangkuan Lukas. Lelaki itu terkekeh geli meminta ampun memeluk kekasihnya dan membawanya ke atas kasur. Lukas memeluk Lea, membenamkan wajahnya di ceruk leher kekasihnya. Lea tersenyum kecil, sesaat kemudian senyumnya memudar saat Lukas berbisik, “Sepertinya malam ini aku nggak perlu obat tidurku, Babe.” Lea mengusap tangan Lukas yang memeluknya erat. Sejak dulu, Lea tahu Lukas kesulitan tidur. “Kamu akan terjaga sepanjang malam,” balas Lea. “Aku tidak mau terlalu lelap malam ini. Masih mau memeluk kamu, siapa tahu khilaf—bercanda, Babe,” kata Lukas terkekeh karena Lea mencubit lengannya. Lukas mengaku lelah hari ini, sangat lelah, kemudian menegak obat tidur dan kembali memeluk kekasihnya mengucapkan selamat tidur. “Babe,” panggil Lea pelan. Lukas hanya menjawab dengan gumaman. “Selain rindu kamu, aku juga rindu Mama dan Papa.” Lukas membalikkan tubuh Lea, mengecup kening sang kekasih—memberi kenyamanan yang tak terkatakan. “Sejak mereka pergi, aku merasa kehilangan arah. Bahkan, aku pernah berpikir ingin menyusul mereka.” Lukas mengeratkan pelukannya, mengelus punggung Lea. “Kamu nggak akan kehilangan arah lagi, Babe. Sekarang kita sudah bersama. Aku yang akan jadi penunjuk arahmu. Aku janji akan membawa kamu ke tempat di mana kamu benar-benar bahagia.” Lea mengangguk kecil, air matanya jatuh perlahan, senyum lega terselip di wajahnya. *** Pagi Lukas terusik oleh deringan dari ponselnya. Dia mengerutkan keningnya menyadari Lea tidak ada di sampingnya. Kemudian pandangannya jatuh pada pintu menuju kolam renang yang terbuka, sementara tirai berterbangan lembut karena hembusan angin. Lukas memilih meraih ponselnya dan menerima panggilan dari Ben, anak buahnya yang dia percayai. “Pak, Anda harus ke basement,” ucap Ben, suaranya terdengar bergetar. Lukas tidak banyak bertanya hanya menyahut paham, meminta sedikit waktu. “Morning, Babe,” sapa Lukas mendekati Lea yang terbaring di kursi santai dekat kolam renang. Sontak Lukas membelalak sempurna saat melihat wajah pucat Lea, matanya terpejam, dan tubuh kekasihnya terkulai kaku. “Babe?” Lukas berusaha menyadarkan Lea dan mendapati darah pada tangannya saat menyentuh tubuh sang kekasih. “Babe,” panggilnya dengan suara bergetar. “No, Lea. Please, wake up, Babe!” Lukas bisa memastikan itu berasal dari tembakan. Tubuh Lukas bergetar saat tidak rasakan detak jantung Lea. Napasnya tersengal, Lukas seolah masuk ke ruang tergelap dalam hidupnya. Napasnya satu-satu, deringan dari ponselnya menyadarkan Lukas. “Pak—” “Ben, tolong … tolong ke kamar saya, sekarang—sekarang!” mohonnya dengan suara bergetar, tapi terdengar memaksa. Sesaat Ben datang, lelaki itu menggeleng usai memeriksa keadaan Lea. Lukas menangis—bersimpuh di hadapan tubuh Lea yang terbaring kaku. “Pak,” panggil Ben. Lukas bangkit menyeka air matanya, meminta Ben mencari tahu perihal kejadian ini. “Ernest, minta dia cek CCTV—” “Ernest ditemukan terbunuh di basement, Pak.” Lukas berteriak keras, meremas rambutnya dengan frustasi, lalu menumbukkan tinjunya ke tembok berulang kali hingga darah segar mengalir dari jari-jarinya. Hari ini adalah hari terburuk Lukas. Sang kekasih dibunuh menggunakan senjata berperedam suara. Lalu Ernest, Lukas mengeraskan rahangnya menahan amarah menelan kenyataan pahit bahwa sosok yang selama ini ia anggap keluarga, juga harus pergi dengan cara seperti ini. “CCTV disabotase,” lapor Ben, suara beratnya terdengar menahan duka. Tidak ada pergerakan masuk yang terekam. Terakhir, hanya mobil Lukas yang terpantau masuk pukul delapan malam. Besar kemungkinan pembunuhan terjadi saat pergantian penjagaan. Pelaku pasti sudah memantau situasi dengan detail. Tangan Lukas mengepal hingga buku-bukunya memutih. Rahangnya semakin mengeras. “Cari pelakunya bahkan sampai ke lubang semut, Ben,” perintahnya dingin yang langsung disahuti Ben. Hari ini, semua yang mengenakan pakaian serba hitam tengah berduka. Namun, duka Lukas adalah yang paling dalam. Ia tidak hanya kehilangan orang kepercayaannya, tapi juga kehilangan pujaan hatinya. Lukas berjongkok perlahan, jemarinya mengusap lembut nisan Lea. “Kamu sudah bertemu mama dan papamu, Babe?” bisiknya pelan, suara yang nyaris pecah tertahan di tenggorokan. “Rindumu sebesar itu, ya? Sampai kamu memilih pergi, meninggalkan aku sendiri?” Tanpa kamu, aku harus bagaimana, Honey, batin Lukas. Tatapan Lukas penuh dendam. “Aku janji, Lea, mereka yang melakukan ini nggak akan punya tempat untuk bersembunyi. Aku akan menuntut keadilan untukmu dengan caraku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD