Lukas melangkah masuk ke ruang pertemuan. Beberapa staf yang hadir berdiri menyambutnya dengan hormat. Ia membalas sapaan mereka dengan anggukan kecil dan senyum tipis.
“Maaf saya baru sempat menyapa. Silakan dilanjutkan coffee break-nya,” ujar Lukas dengan santai.
Evan mendekati Lukas seraya mengangguk segan ke arah staf—keluar dari ruang meeting. “Pak serius ke kantor pakai celana pendek?”
“Kenapa? Saya nggak ngantor, cuma mau setor wajah saja, setelah ini mau langsung ke Permata Golf,” jawab Lukas.
Lukas sudah menyangka dia akan tiba saat mereka selesai meeting. Dia menepuk pundak Evan, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang Human Resource Development (HRD).
“Pak Lukas, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang staf begitu melihat Lukas masuk ke dalam ruangan.
"Apa ada rekrutmen karyawan baru hari ini?" tanyanya singkat.
"Benar, Pak. Kami sedang dalam proses seleksi beberapa pelamar. Hari ini ada wawancara dan jadwal tanda tangan kontrak karyawan baru—"
"Kirimkan saya data semua calon karyawati yang dijadwalkan datang hari ini," perintah Lukas tanpa ragu. Tim HRD menyahut paham—bergerak cepat memenuhi permintaan Lukas.
Lukas kembali ke ruang meeting yang sudah kosong, duduk di kursi utama sambil membuka tabletnya. File yang ia minta telah masuk ke inbox-nya. Dengan tenang, ia membuka satu per satu data pelamar, matanya teliti menyusuri wajah dan informasi singkat yang terpampang di layar. Melihat pakaian Anin—kemeja putih dipadukan dengan rok span hitam—ia yakin Anin sedang mengikuti proses rekrutmen.
Senyumnya baru muncul ketika menemukan wajah yang sangat ia kenali. Namun, senyum itu hilang setelah membaca nama wanita itu.
“Anindita Haningrum?” tanyanya seorang diri dengan dahi mengerut.
Seketika tubuh Lukas membeku, bulu kecil disekujur tubuhnya berdiri.
Tidak mungkin ‘kan? batinnya, seraya menggeleng pelan.
Hati dan pikirannya bergejolak. Merasa tidak puas dan tak ingin membuang waktu, ia segera menghubungi Evan.
“Saya, Pak,” sapa Evan di seberang telepon. Lukas menugaskan hal tidak masuk akal membuat Evan menyanggah tidak setuju yaitu membongkar makam Lea untuk memastikan jasad wanita itu. “Cukup, Pak. Lea sudah tidak ada,” lirih suara Evan membuat Lukas mengeraskan rahangnya.
“Saya tidak butuh pendapat kamu,” balas Lukas, terdengar tergesa dan mendesak.
Di seberang sana, Evan memijat pangkal hidungnya, perlahan memberi pengertian pada atasan yang bahkan sudah ia anggap keluarga. Lukas mengembuskan napas kasar merasa putus asa. Apa yang ia harapkan? Lea kembali kepadanya? Padahal ia sendiri yang mengantarkan wanita itu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Bahkan kekasihnya itu meninggal tepat di hadapannya. Pandangannya tidak lepas dari wajah wanita di layar tabletnya.
“Pak,” panggil Evan karena Lukas tidak merespons.
"Cari tahu semua tentang wanita ini, saya sudah kirim ke email kamu. Saya ingin laporan lengkapnya secepat mungkin."
"Baik, Pak," Evan menjawab sigap sebelum memutuskan sambungan telepon tanpa tahu siapa yang harus ia cari tahu.
Lukas melanjutkan aktivitasnya sesuai jadwal, menghadiri pertemuan dan jamuan dengan klien. Namun, di benaknya, bayangan wajah seorang wanita terus berputar.
Siapa wanita itu? pikirnya. Mengapa kehadirannya mampu mengacaukan hati Lukas?
Setelah seluruh agenda hari itu selesai, Lukas mengurung diri di apartemennya. Ia juga mengurungkan niat untuk menemui wanita yang wajahnya begitu mirip dengan kekasihnya, meskipun sangat ingin.
Malam harinya, melalui CCTV yang terhubung ke ponselnya, Lukas menatap wanita yang terus mengisi pikirannya. Anin masih terbaring di atas ranjang. Lukas meraih ponsel dan segera menghubungi Ben.
“Bagaimana keadaannya, Ben?”
“Wanita itu belum sadar sejak dibawa ke sini, Pak,” lapor Ben. “Sudah diperiksa secara berkala, semuanya baik-baik saja.”
Lukas mengangguk paham dan berkata bahwa ia tidak akan datang ke vila malam ini. Ia meminta Ben untuk terus menjaga dan mengawasi Anin.
***
Tiga hari ini, Lukas harus menahan rindu. Bagaimana bisa serindu ini? Padahal, mereka baru sekali bertemu.
Evan menemui Lukas dengan membawa berita yang sangat dinantikan. Anindita Haningrum, anak tunggal pasangan Wahyudi dan Rahma. Sang ayah, Wahyudi, meninggal dalam kecelakaan maut, sementara Rahma dan Anin berhasil selamat. Setelah kepergian suaminya, Rahma merintis usaha batik rumahan. Evan menyelidiki hingga menemukan informasi bahwa Anin dibesarkan di Semarang. Kemudian, ia mendapat beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta dengan prestasi akademik yang gemilang. Tidak ada kaitan apa pun antara Anin dan keluarga Lea.
Evan prihatin saat melihat Lukas mengusap wajahnya dengan kasar, lalu tertunduk lesu. Lea sangat berarti dalam hidup atasannya. Butuh effort untuk mempertemukan kembali teman masa kecil itu setelah belasan tahun terpisah.
Senyum kecil terbit di wajah Lukas. “Tolong kirimkan jadwal saya untuk besok, saya ingin mempelajarinya. Terima kasih atas bantuan kamu, Van. Saya pulang lebih awal,” katanya seraya mengemasi barang pribadinya di atas meja kerjanya. “Malam ini saya menginap di vila—”
“Pak—”
Belum sempat Evan melanjutkan kalimatnya, Lukas bangkit dari duduknya—menepuk pelan bahu asistennya dan berlalu keluar ruangan kerjanya. Evan tahu, jika menginap di vila berarti Lukas sedang merindukan Lea.
Lukas mengendarai mobilnya dengan tatapan kosong, pikirannya dipenuhi oleh kenyataan pahit bahwa wanita itu bukan Lea. Meski logikanya sudah tahu sejak awal, hatinya tetap bersikeras menggantungkan harapan. Harapan bahwa mungkin, Lea kembali padanya dalam cara yang mustahil.
Saat mobil berhenti di halaman vila, Lukas tidak segera turun. Ia menghela napas berat, menggenggam erat setir, mencoba menenangkan gemuruh emosi di dadanya. Namun, kenyataan tetap menghantamnya tanpa ampun. Lea sudah tiada dan tidak ada yang bisa mengubah itu.
Lukas keluar dari mobil dengan langkah lesu, wajahnya suram. Begitu ia memasuki vila, Ben menyambutnya.
"Pak, wanita itu masih tidak menyentuh makanannya, Pak," lapor Ben.
Lukas mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, hanya memberi isyarat bahwa ia paham. Langkah kakinya berat menuju kamar di mana Anin berada.
Pintu kamar tepat di mana Anin berada terbuka perlahan. Lukas berdiri di ambang pintu, menatap wanita muda itu yang lelap dalam tidurnya. Ada sesuatu yang mengusik hatinya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu, Anin bukan Lea. Namun, kehadiran Anin entah bagaimana memancing ingatan masa lalunya.
Lukas melangkah pelan mendekat—duduk di pinggir ranjang, memperhatikan napas Anin yang teratur.
Anindita Haningrum, batinnya.
Sebelah tangan Lukas terulur mengusap kepala Anin. Sekilas serupa, tapi ternyata benar berbeda. Setelah dipandang puas, Anin jelas berbeda dari Lea. Namun hatinya bergetar ketika berada di dekat Anin. Lukas memutuskan untuk berbaring di samping Anin—kembali menikmati wajah cantik di hadapannya. Tanpa sadar, rasa lelah dan beban pikirannya membuatnya ikut terlelap.
Lalu, pagi harinya …
Lukas tersentak bangun saat merasa sesuatu melingkar di lehernya. Ia membuka mata dan menemukan Anin dengan wajah penuh kemarahan sedang mencekiknya. "Siapa kamu sebenarnya, hah?" seru Anin, suaranya penuh tuduhan.
Lukas berusaha melepaskan cengkeraman tangan Anin, tapi gadis itu semakin mempererat cekikannya. Bahkan Anin berani menimpa tubuh Lukas. "Kamu mau menculik saya? Kamu pasti komplotan pencuri gadis dan menjualnya, ‘kan?" Anin menatapnya dengan kebencian yang menyala-nyala.
"Le—pas! Aku ... su—susah bernapas ...." Lukas berusaha berbicara di sela napasnya yang semakin tersengal.
“Ternyata waktu itu kamu sedang menghipnotisku agar bisa menculik dan membawaku ke sini, dasar lelaki gila—”
Sekali gerakan cepat, Lukas berhasil membalikkan tubuhnya dan mengunci pergerakan Anin, menindih gadis itu.
Anin memberontak, tapi kekuatannya tak sebanding dengan Lukas. Gadis itu terperangkap di bawah tubuhnya, matanya membelalak penuh amarah. Sementara Lukas dengan napas terengah-engah, berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya, mengisi paru-parunya yang hampir kosong.
"Kenapa kasar sekali jadi wanita, hmm?" kata Lukas, matanya menatap lekat Anin yang masih mencoba melawan. "Bukankah kamu ingin menemui tunanganmu, Sayang?"
Anin berhenti meronta sejenak, kebingungan. Lukas mengeluarkan ID card perusahaannya—memperlihatkan kepada Anin.
Mata Anin membulat sempurna terkejut menyerap informasi yang dia baca.
CEO Samudera Teknologi a.k.a Universal Teknologi.
"Anindita Haningrum, aku tidak menyangka tunanganku ternyata secantik ini.”