Bab 7 : Dua Pilihan

1192 Words
Lukas tersenyum kecil, melangkah penuh semangat kembali ke vila. Ia tak sabar ingin bertemu Lea. Tidak, bukan Lea, tapi Anin—wanita yang mirip dengan Lea. Seketika senyum di wajah Lukas memudar menyadari hal itu. Setibanya di vila, Lukas tampak bingung. Alisnya berkerut saat ia membuka pintu kamar Anin, tapi kamar itu kosong. Ia mencarinya ke ruang makan hingga tempat bersantai, tetapi tetap tidak menemukannya. "Ke mana wanita itu?" gumam Lukas, rasa khawatir terpancar dari wajahnya. Sementara itu, Ben sibuk mengoordinasikan pencarian melalui earpiece, dan Kemal berkeliling mencari. Seluruh penghuni vila larut dalam kepanikan, sementara Anin sedang asyik memenuhi rasa ingin tahunya sendiri. Lukas terlihat gelisah, mengusap kasar wajahnya. "Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, kamu yang bertanggung jawab!" seru Lukas, menunjuk d**a Ben dengan nada tajam. Dia kembali ke kamar Anin, membuka setiap lemari dan laci nakas. Ponsel dan barang pribadi Anin masih di sana. Lukas pun mengecek rekaman CCTV pada ponselnya dan terlihat Anin keluar dari kamar dengan langkah mantap, meski tampak waspada. Lukas mengikuti jejak rekaman. Meskipun di CCTV tak terlihat lagi ke mana Anin berjalan, Lukas mengikuti instingnya hingga berhenti di depan kamar tamu yang selama ini ditutup rapat—kamar tempat Lea kehilangan nyawanya. Tangannya terulur, menyentuh handle pintu. Jantungnya berdegup keras saat pintu itu terbuka. Kenangan tragis hari itu kembali menyeruak dalam pikirannya. Baru saja melangkah masuk, suara pecahan kaca menyambutnya, menyayat hati. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Lukas terkejut melihat Anin berdiri di tengah ruangan, menutupi telinganya dengan kedua tangan. Mata Lukas membelalak saat melihat bingkai foto pecah berserakan di lantai. "Apa yang kamu lakukan—" Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Anin ambruk. Lukas sigap menangkapnya, membawa tubuh Anin ke dalam pelukannya. "Anin," panggil Lukas lembut, kedua tangannya memangkup wajahnya. "Honey.” Hani. Suara itu …, cara Lukas memanggilnya terngiang di telinga, dan menyadarkannya. ”Are you okay?" Anin yang semula tenggelam dalam kepanikan kini tersadar. Pandangannya bertemu dengan Lukas. Menyadari jarak mereka begitu dekat, ia mendorong Lukas menjauh. "Jangan coba-coba cari kesempatan!" sergahnya ketus, meninggalkan Lukas yang kebingungan. “Apa-apaan dia?” Lukas melihat seisi kamar, pandangannya jatuh pada bingkai foto di lantai—menatanya kembali ke atas meja begitu saja, membiarkan pecahan kaca di lantai, dan mengejar Anin. Melihat Lukas keluar dari kamar itu, Anin berlari cepat menuju kamarnya. Dia menyadari telah melakukan kesalahan. Entahlah, tiba-tiba saja tadi dia hilang kendali. Lukas ikut berlari mengejar Anin hingga membuat wanita itu semakin panik. Anin berusaha menutup pintu kamarnya agar Lukas tak masuk, tetapi usaha itu sia-sia. Lukas mendorong pintu hingga terbuka dan masuk dengan mudah. Kemal, Ben, dan beberapa anak buah mereka yang kebetulan lewat hanya bisa membeku melihat adegan itu. Pandangan mereka saling bertemu, bingung dengan situasi yang tiba-tiba itu. "Sudah ketemu. Bubar," perintah Ben tegas, membuyarkan kerumunan. Sementara di dalam kamar … “Tidak ingin mengatakan sesuatu?” Lukas bertanya, memandangi Anin yang sibuk merapikan barang-barangnya di atas ranjang, mengabaikan keberadaannya. “Bahkan meminta maaf pun tidak karena telah merusak milikku? Apa yang kamu lakukan di sana?” Lukas meraih tangan Anin, memutarnya hingga wanita itu kini berhadapan langsung dengannya. “Aku paling tidak suka diabaikan—” Plak! Anin melayangkan telapak tangannya ke pipi Lukas hingga meninggalkan jejak kemerahan. “Lepaskan aku! Kamu ingin aku menjadi bayang-bayang wanita itu? Gila kamu!” Bukannya marah, Lukas malah tertawa kecil. “Lalu, apa yang kamu harapkan? Kamu mulai berharap sesuatu yang lebih? Wah, ternyata semudah itu jatuh cinta padaku, ya?” “Percaya diri sekali,” balas Anin, sinis. Lukas hanya tersenyum tipis, menikmati percakapan ini. Saat Anin kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dengan terburu-buru, Lukas dengan sigap menarik tangannya, lalu meraih tasnya. “Ikut aku.” Anin memberontak. Tangannya menggeliat mencoba lepas dari genggaman Lukas. Dia bahkan memukul-mukul tangan pria itu, tapi Lukas tak bergeming. Dengan langkah panjang, Lukas menyeretnya keluar kamar. Di luar, Anin semakin panik saat melihat penjaga berjaga dengan waspada. “Masuklah,” kata Lukas lembut, membuka pintu mobil yang sudah terparkir sempurna di depan vila. Anin mematung, memandang sekitar dengan ketakutan. “Kita mau ke mana?” tanyanya pelan begitu akhirnya masuk ke mobil. “Aku suka mendengar kata ‘kita’ yang keluar dari mulutmu,” balas Lukas dengan senyuman tipis. Anin hanya melotot jengah. “Perjalanan kita cukup panjang. Sebaiknya kamu istirahat,” lanjut Lukas. Bagaimana mungkin Anin bisa istirahat? Kepalanya penuh dengan dugaan buruk. Apa ini saatnya aku dijual? Apakah aku akan diserahkan pada lelaki hidung belang yang menginginkan perawan? batinnya. Doa-doa lirih meluncur dari bibir Anin sepanjang perjalanan. Berbeda dengan kedatangan Anin sebelumnya ke vila itu dalam keadaan tak sadarkan diri. Di vila sebelumnya, Anin sama sekali buta arah. Kalau pun berhasil keluar dari penjagaan yang super ketat itu, dia tidak tahu harus ke mana. Kali ini, Anin mengingat perjalanan mereka, termasuk setiap belokan yang mereka lewati. Jika ada kesempatan kabur, dia takkan bingung lagi. Mobil berhenti di sebuah area yang terpencil. Lautan terbentang di hadapannya. “Keluar,” perintah Lukas, membuka pintu mobil. Benarkah aku akan dijual? batin Anin. Ragu-ragu, Anin akhirnya keluar. Ia mundur perlahan, lalu berbalik dan berlari sekuat tenaga. Ben yang berdiri tak jauh, segera mengejarnya dengan langkah besar. Lukas baru saja mengenakan kacamata hitam terpaksa melepasnya, mengembuskan napas panjang. Kemal datang membawa buggy berhenti di depan Lukas. Dia naik dengan sikap santai, mengejar Anin. Ben berhasil menangkap Anin yang mengamuk, meronta keras. “Lepaskan aku! Lepaskan!” jerit Anin. Buggy berhenti di samping mereka. Lukas turun, langsung merangkul Anin yang masih berontak. “Jadilah tunangan yang baik, Honey. Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku hari itu,” katanya dengan suara yang penuh ancaman, tapi terselubung kelembutan. Anin tetap memberontak saat Lukas menariknya masuk ke buggy dengan sedikit paksaan. “Sekalipun kamu berhasil keluar dari sini, aku akan mencarimu sampai kamu tidak punya tempat lagi untuk berlari,” bisiknya di telinga Anin. “Jalan,” titah Lukas pada Kemal yang menjalankan buggy menuju area yang lebih dalam. “Tempat apa ini?” tanya Anin dengan suara bergetar. “Resort-ku,” jawab Lukas datar. “Proyek ini sudah delapan puluh persen selesai. Waktuku akan lebih banyak di sini dan aku ingin kamu menemaniku.” Anin menatap Lukas dengan tatapan jijik. “Dasar lelaki gila. Kau pikir aku ini apa? Kau paksa sesuka hatimu?” Lukas tersenyum miring. “Bukankah waktu itu kamu sendiri yang bilang kalau aku tunanganmu? Lagi pula, bukankah kamu bilang pada ibumu bahwa kamu berada di resor? Berterima kasihlah, Honey. Aku sudah mewujudkan ceritamu agar kamu tidak menanggung dosa karena berbohong pada beliau.” Mata Anin membesar. Dari mana dia tahu? Jangan-jangan lelaki gila ini menyadap ponselku! Lukas melangkah mendekat, membiarkan Anin mundur hingga tak ada lagi ruang untuk kabur. “Kamu lebih dari sekadar gila,” kata Anin dengan napas tertahan. “Lain kali, katakan sesuatu yang baik untuk hubungan kita, Honey,” balas Lukas dengan nada licik. “Ucapanmu adalah doa.” “Tidak sudi!” Anin mendesis. “Have a good rest, Honey,” ucap Lukas sambil membuka pintu kamar. Anin membelalakkan matanya melihat kamar yang telah diisi dengan segala persiapan mewah. “Pilihanmu hanya dua. Melawan tanpa kemenangan atau menerima takdirmu dan menikmati petualangan ini bersamaku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD