19 | Persatuan Bangsa-Bangsa 🚫

1814 Words
"Apa kamu juga bohong soal umur?" Karena Rea berbohong tentang keperawanan, Jaya mulai dihinggapi ragu bila usia gadis itu benar empat puluh tahun. Sudah tidak gadis lagi sekarang, Jaya yang membuatnya begitu. Habis dia cabik-cabik dengan bukti gairah yang tak bisa lagi ditahan. Apitan tubuh Rea membuat Jaya hilang separuh kewarasan. Ralat, bukan separuh. Semua akal sehat Jaya ludes direnggut sesuguhan nikmat setelah sekian tahun cuti menyecapnya. Kini, Rea menoleh. Tatapan Jaya turun di d**a yang Rea tutupi. Tampak jejak-jejak percintaan eksis di beberapa tempat dan Jaya yang mengukir itu di sana. "Nggak," katanya. Apa ucapan Rea masih bisa dipercaya? Sorot mata Jaya kembali ke wajah putri Bu Santi, dia pertanyakan lagi. "Empat puluh tahun, pas?" Rea tampak terkejut. "Tiga puluh tiga, Mas." Sekarang Jaya yang terkejut sampai membeliakkan mata. "Jangan bohong!" Hampir membentak. Rea geleng-geleng cepat. "Nggak, kok. Temen Mas yang ngejodohin kita itu juga temen aku. Tanpa kukasih tahu umurku berapa, dia tahu. Dan kayaknya aku juga pernah bilang di telepon?" Jayakarsa terdiam. Jadi, maksudnya Yena yang menipu? Jangan bilang usia Jaya juga diganti infonya kepada Rea? So, Jaya pastikan. "Kamu tahu berapa umur saya?" Pelan Rea menjawab, "Empat puluh." Sukses membuat tawa Jaya mengudara. Astaga. Empat puluh? Yena ... Yena. Harus Jaya apakan dua anak muda ini? Yena dan Realine. Mereka bahkan seusia. "Saya empat puluh tujuh tahun," tekan Jaya, membeberkan fakta. Ironisnya lagi ... "Mendekati empat puluh delapan." Hari itu .... Terpantau mata Rea membeliak, dia bahkan terperangah dramatis sambil menutupnya dengan telapak tangan. Kenapa? Kaget? Atau kaget banget? "Empat puluh tujuh?!" Rea terduduk dan histeris, lalu meringis saat sepertinya ada denyut sakit di titik paling intim yang beberapa saat lalu Jaya kunjungi. Jaya mengusap kasar wajahnya. Kemudian beranjak dari kasur tanpa malu-malu dengan ketelanjangan. Dipungutnya satu per satu pakaian, kembali Jaya kenakan. Sementara, Rea menarik selimut, lalu rebah memunggungi. Di sini, saat Jaya hanya tinggal memasang kancing baju. Dia bertanya, "Siapa yang memelopori, kamu atau Yena?" Dengan sorot paling serius ke arah punggung Realine. "Kalian sekongkol?" tuding Jaya, menambahkan. Tampak kepala Rea geleng-geleng. "Aku aja kaget gini pas denger umur asli Mas Jaya," katanya. Tanpa berbalik. Ya, gila saja. Bedanya sampai empat belas tahun. Itu yang jadi buah pikiran Rea. Mana sudah di-bla'em-bla'em pula. Jaya beringsut, menarik bahu Rea. Membuatnya telentang. Praktis Rea agak tersentak. Sekarang saling pandang. Rea kuat-kuat menggenggam selimut menutupi d**a. Oh, Rea berdebar-debar. Sementara, Jaya mempertajam tatapannya. "Katakan sejujurnya, sampai mana kalian bekerja sama nipu saya." Pikiran Jaya dipenuhi dengan hal-hal buruk tentang Rea. Mungkinkah Yena dan Rea mengincar hartanya? Mau memerasnya? Jaya salah terlalu menaruh kepercayaan kepada sang sekretaris rupanya. Sekarang juga Jaya mulai memperhitungkan bayaran bagi mereka yang setimpal. "Nggak ada kerja sama," tukas Rea. Makin tajam tatapan Jaya, sengaja agar Rea merasa terancam dan tak lagi tutup mulut. "Aku serius. Nggak bohong juga. Pas itu Yena cuma minta supaya aku nggak ngasih tahu tentangku yang masih perawan. Soalnya Mas Jaya-Jaya ini nargetinnya janda. Aku yang terdesak butuh status, jadi nggak terlalu banyak tanya kenapa harus kayak gitu. Tapi sumpah, Mas. Nggak ada konspirasi jenis apa pun di antara kami." Sorot tajam Jaya menelisik, mencari kejujuran yang Rea gaungkan. "Apa lagi? Selain umur dan keperawanan, apa lagi yang palsu soal kamu?" Rendah vokal Jaya mengalun, tetapi terdengar mematikan di telinga Rea. Dia sadar situasi. Ini bukan hal bagus, ini masalah. "S-soal umur ... aku nggak niat memalsukan, kok. Aku kira Mas udah tahu umurku tiga puluh tiga. Yang kutahu umur Mas empat puluh dan selisih kita cu-cuma tujuh tahun." By the way, apa masih cocok Rea sebut 'Mas'? Dia rasa sosok Jayakarsa seusia dengan pamannya. Malah penampilan Jaya ini yang menipu. Bagaimana bisa umur setua itu masih kelihatan kayak mas-mas tiga puluh sembilanan? Jaya melepas cengkeramannya di bahu Rea. Tidak sampai memerah di sana. Jaya lalu termundur perlahan, berdiri di tepi ranjang. Masih dengan sorot tajam menikam Realine. "Saya keluar di dalam." E-eh? Rea auto pegang perut. Jayakarsa lantas melenggang. Lho, mau ke mana? "Mas!" Rea tergerak menyusul, tetapi bagian intimnya benar-benar ngilu. Bertambah lilitan selimut yang membuat repot jalannya. "Mas!" Tapi syukurlah, berhasil Rea tahan sosok pria overcook alias super matang yang hendak meninggalkannya di sini. Rea cekal erat-erat lengan alot itu. "Nasib aku gimana?" Dari semua isi kepala, ini yang Rea tanyakan. Dia butuh kepastian dan rasa aman bahwa pernikahan berjalan sebagaimana yang telah disepakati. Jangan sampai nanti Rea hamil, terus masnya kabur. Jayakarsa pun berbalik. Alisnya naik sebelah. "Kenapa tanya? Kan, sudah jelas. Ini saya mau ngerokok. Kamu mau ikut?" Cekalan Rea pun mengendur. Rokok, ya? Kok, bibirnya tidak terbaca seperti kebanyakan pria perokok? Tidak menghitam. "Daripada itu, bukannya Mas lebih butuh ngobrol sama aku alih-alih rokok? Kita luruskan ... aku juga merasa ketipu, tahu!" Beranikan diri untuk unjuk rasa, Rea tidak sungkan-sungkan berekspresi, bahkan dari nada suara. Rea juga bilang, "Lagi pula Mas nggak rugi. Bukannya malah untung banyak karena aku masih perawan? Coba aku?" "Rugi apa kamu?" Lho, masih nanya? Tapi Rea tidak bisa mengatakannya. Ya, sadar sendiri sajalah. Dari selisih tujuh tahun ke empat belas. Otak Rea sampai spaneng untuk beberapa saat. "Ya udah, sana ngerokok!" tukas Rea, malas debat. Mungkin memang lebih butuh waktu masing-masing dulu sebelum lanjut ngobrol terkait masalah yang sangat serius ini. Rea juga harus membejek-bejek Yena, nih, nanti. Empat puluh tahun dari mananya coba? Mending kalau sisa umur yang tidak diikutsertakannya itu tiga atau empat, deh, maksimal. Lha, ini tujuh, cui! Bukan main-main. Malah lebih dekat umur Jaya dengan ibu daripada dengan Rea. Aduh, pusing kepala memikirkannya. Rea berjalan balik ke ranjang dengan langkah yang tidak biasa. Tanpa tahu bahwa Jaya memperhatikan tiap langkahnya itu, lalu menghela napas. Rea rebahan lagi. Pakai bajunya nanti saja. Sedang malas banyak gerak. Dan yang terjadi sesudahnya, terdengar suara pintu kamar mandi dibuka, rupanya Jaya masuk ke sana. Rea diam. Tepekur memikirkan omelan buat Yena. Secara logika, bukankah di sini Rea yang paling dirugikan? Meskipun, yeah ... dapat ganti mobil dengan harga miliaran rupiah, lalu bebas menggunakan uang di kartu berduit yang Jaya berikan, tubuh lelaki itu juga aduhai bagus hingga Rea ikhlas rida saat di—lho? Istigfar, Re! Dia tepuk kepalanya. *** Kalau di Banyuliang, pagi hari itu khas dengan suara ayam kukuruyuk dan siulan burung, pun suara ibu. Oh, ya, suara dari masjid juga yang bersahut-sahutan. Di sini tak ada suara jenis apa pun yang membuat Rea resmi bangun kesiangan. Terasa hangat dan ... apa, ya? Rea raba-raba gulingnya. Ada rasa kenyal, tetapi keras juga di saat yang bersamaan, lalu kasar macam—wait! Rea pastikan dengan mata, yang langsung membeliak saat terbuka. Ditariknya tangan dari d**a manusia. Berbulu di sana. Tidur membuat Rea lupa dengan salah satu anomali dalam hidupnya. Jayakarsa menoleh. Rea diam. Lalu lelaki itu melirik jendela. Iya, memang sudah menjelang siang dan artinya sama-sama lewat subuhan. Jaya beranjak duduk. Tampaknya lengan lelaki itu kram atau pegal habis jadi bantal Rea sepanjang malam. Di sini, Jayakarsa tidur hanya mengenakan celana. Topless. Tenang, Rea tidak telanjang, kok. Dia pakai kemeja lelaki itu yang bisa meng-cover tubuhnya sampai paha. Rea rapikan rambut, berasa awut-awutan. Jakarsa duduk bersandar di kepala ranjang. Wait, wait. Rea kayaknya melupakan satu hal—Astagfirullah! Kerja! Auto buru-buru beranjak, tetapi kemudian tertahan oleh rasa khas di pusat keintimannya. "Sesakit itu?" Vokal Jaya selepas bangun tidur ternyata lebih dahsyat lagi efeknya. The real makhluk Tuhan yang paling seksi, Sis! Rea tidak menampik. Tentu, tidak pula Rea berikan jawaban. Sudah tahu sakit. Dari awal selepas bersatu juga, kan, Rea meringis-ringis. Ngomong-ngomong, semalam ... diulang. Paham, kan? Bukan cuma sekali tralala-trilili-nya. Lebih sengit karena terasa seperti habis marahan. Oh, apa perlu Rea kisahkan? Yang bikin dia bangun sesiang ini. "Di berkas yang Yena kasih tentang profil Mas itu, tertulis empat puluh tahun. Dan yang Yena kasih ke Mas tentangku itu sebaliknya. Di sini coba siapa yang rugi?" Rea menekankan letak kerugian yang sesungguhnya semalam. Dan itu ada padanya. Jayakarsa, sih, enak dapat daun muda. Lha, Rea? Kira-kira begitu kasarnya. Jadi, Jayakarsa tidak berhak marah kepadanya. Betul? Tapi Jaya mendengkus dan mengatakan, "Justru karena umurmu tiga puluh tiga dan masih gadis, ini kerugian saya." Rea tidak mengerti. "Kenapa bisa rugi?" "Karena perempuan umur segitu pasti masih mengharapkan cinta, akan jadi sangat merepotkan karena tidak cukup hanya dengan komitmen. Terlebih masih perawan ...." Jaya geleng-geleng. "Ini beban." What?! Rea mencoba memahami walau masih tidak habis pikir. "Intinya Mas takut aku baper, terus nuntut romantisme di hubungan ini?" "Repot, kan? Saya cuma butuh seks." Rea sudah tidak kaget lagi. Dia malah jadi pengin nampol bibir kampret Jayakarsa. "Aku sendiri juga gak bakal baper sama cowok setua ini, kok. Santai aja." Jaya geming, dengan sorot mata yang tentunya masih terpatri di Rea. "Yang jadi polemik itu Mas tadi ... maaf ... di dalem. Ini masalah besar bagi aku, Mas." "Harusnya aman selagi bukan masa subur." Jaya langsung paham arah obrolan Rea. Saat bercinta, Jaya akui akal sehatnya sempat meninggalkan pikiran dan ... lagi pula bercinta tidak mikir apa-apa. Kalau mikir nanti hasratnya hilang. "Atau sekali ini saja kamu minum pil kontrasepsi." "Tuh, kan. Aku yang paling dirugikan." "Ya sudah. Kalau hamil, kita ke KUA." "Bener?" "Tapi tetap pernikahannya masih harus rahasia dari anak dan keluarga saya." "Kalau boleh tahu, emang kenapa?" Jayakarsa menyelipkan helai rambut Rea ke belakang telinga, alih-alih menjawab justru tengkuk Rea ditarik mendekat, lalu bibirnya disantap. Itu awal mula sebelum ada persatuan bangsa-bangsa ronde dua. Dengan lebih intens, lebih membuat Rea kewalahan, meski bagusnya tidak lagi menyemai benih di lahan produktif Rea. Membuat mata Rea ternodai dengan aksi suami sirinya. You know what I mean? Rea merinding di bawah guyuran shower. Sampai akhirnya dia selesai. Meraih bathrobe, lalu keluar. Lelaki itu tidak di ranjang lagi. Bodoh amatlah. Rea ambil paper bag dan tas. Kembali ke kamar mandi untuk siap-siap ke kantor. Meski sudah pasti terlambat, tetap Rea mau berangkat, minimal memberi penjelasan langsung kepada bos. Entah akan didamprat bagaimana. Dan sepertinya bos Rea juga mulai berpikir lebih baik karyawan macam ini di-cut saja. Rea matikan mode terbang, dia nyalakan data seluler. Sambil dandan. Oh, Rea hantam jejak merah di leher dengan cushion. Dempul sampai merata dan tidak terlihat noda-noda Jayakarsa. Well, ponsel Rea kebanjiran notifikasi sampai getar terus sejak tadi. Rea lihat. Wow. Paling banyak dari Nyonya Santi. Paling penting dari Pak Yudi—bos Rea. Langsung Rea kirim pesan permintaan maaf dan ini akan segera berangkat, penjelasannya Rea keep akan dikatakan saat sampai di kantor nanti. Eh! Hampir saja nabrak. Berpapasan dengan Jayakarsa yang masih bertelanjang d**a. Rea berdeham. "Aku ... kerja dulu. Disuruh berangkat, gagal acc resign. Nanti kujelaskan. Oh, ya, aku pulangnya ke apartemen studioku, ya? Mas nanti, maaf, boleh tolong angkutin barang-barangku pas check out? Atau kalo nggak, perpanjang masa check in aja. Aku ganti biayanya." Seburu-buru itu, Rea pun sudah berdiri di dekat pintu, memakai heels. Jayakarsa sama sekali belum melontar sepatah kata, putri Bu Santi telah melenggang meninggalkan suite room mereka. Hei, yang benar saja! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD