⚠️ Perempuan Tanpa Nama ⚠️

1425 Words
Lampu temaram kamar suite lantai atas klub malam itu berpendar lembut, membingkai sosok pria yang duduk bersandar di tepi ranjang dengan satu tangan memegang segelas wine merah. Jasnya sudah terlepas, dasinya longgar, dan kancing kemeja bagian atas terbuka. Di hadapannya, perempuan itu berdiri diam, mengenakan gaun hitam ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. “Nama?” tanyanya, menatap perempuan itu dari atas ke bawah. “Tak penting,” jawabnya pelan. Pria itu bangkit dari duduknya, mendekat pelan seperti binatang buas yang siap menerkam. “Kau tahu siapa aku?” “Tidak.” Ia mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu. “Alvaro." "Namamu Alvaro?" "Hem, agar kau tak penasaran." "Aku tidak," geleng perempuan itu. "Tepat, karena tak baik jika kau penasaran tentang siapa Alvaro." "Kenapa?" "Semakin sedikit kau tau, semakin baik." Perempuan itu menatap matanya. “Aku tidak tertarik pada siapa kau. Aku hanya ingin malam ini.” Alvaro tersenyum kecil. “Bagus. Aku suka jawaban itu.” Tangannya menarik pinggang si perempuan, mendekatkan tubuh mereka tanpa peringatan. Ciuman pertama mereka tajam, panas, lidah saling mencicip tanpa sopan. Ia mendorong perempuan itu ke dinding, satu tangan mencengkeram rambutnya, yang lain menelusuri sisi pahanya naik ke lekuk pinggul. "Gugup?" Perempuan itu tampak meneguk ludah, tapi ia menggeleng. "Tidak kok." “Kau manis. Tapi aku tak akan lembut malam ini.” “Aku tidak ingin kau lembut.” Namun Alvaro menatap keraguan dan sedikit ketakutan di sudut matanya. Tapi itu tidak masalah, Alvaro suka. Gaun itu meluncur turun dari bahu, menyisakan lingerie tipis yang nyaris tak menyembunyikan apa-apa. Mata Alvaro menyapu tubuhnya pelan, penuh kekaguman gelap. “Telanjang untukku.” Perempuan itu tak menjawab, hanya menuruti. Ia membuka pengait bra, menurunkan celana dalamnya perlahan, membiarkan dirinya terlihat sepenuhnya di bawah sorot mata pria itu. Alvaro menjatuhkan kemeja dan celananya, lalu berjalan ke arah ranjang. Ia menarik tubuh perempuan itu ke atas seprai. “Kau basah untukku?” “Iya.” “Tunjukkan.” Perempuan itu menuntunnya ke antara pahanya. Alvaro mengumpat pelan. “Sial, ini pertama kalimu?” Perempuan itu mengangguk. “Iya.” Mata Alvaro menajam. “Kenapa aku?” “Aku hanya ingin tahu rasanya saat dilakukan oleh pria lain. Bukan oleh diriku sendiri.” "Kau memuaskan dirimu sendiri?" Alvaro terkekeh. "Kenapa memangnya, jangan menggodaku." "Tidak, aku suka kau yang b*******h tinggi rupanya." "Kau tak cukup jantan jika hanya berbicara." "Wow." Alvaro menatap wajahnya lama, lalu menunduk, mencium lehernya, turun ke d**a, mengulum lembut dan menggigit pelan. “Kalau begitu, aku akan buat kau tak bisa lupa,” gumamnya. Ia membopong perempuan itu dan meletakkannya telentang di tengah ranjang. Tubuhnya menyusul, menindih dengan perlahan. Tangan kirinya meraba tubuh menantang perempuan itu, menggenggam dan memijat dengan tekanan yang membuatnya melengkung. Tangannya yang lain mengusap bagian bawah tubuh perempuan itu, membuatnya mengerang pelan. “Kau boleh berteriak kalau tak tahan. Aku suka mendengar suara perempuan di bawahku.” Perempuan itu menggigit bibirnya, tapi tak bisa menahan suara saat Alvaro mulai menyentuhnya lebih dalam, lebih berani. Ia mencium, menjilat, menggoda hingga tubuhnya bergetar. Ketika Alvaro mulai menyatu, ia melakukannya perlahan. Tatapannya tetap menatap mata perempuan itu. Gerakan pertama membuat tubuh perempuan itu menegang, bibirnya terbuka lebar dalam desahan panjang. “Rasakan perlahan. Kau akan mengingatnya.” Rasa sakit dan panas bercampur, tapi perempuan itu tidak menarik diri. Justru menggenggam erat lengan Alvaro, mendorongnya lebih dalam. Ia terengah di telinga pria itu. “Hmmpp..." "T-tidak!" "Kenapa kau ragu sekarang?" "B-Bukan begitu." "Tak ada kesempatan, kau tamat!" Gerakan Alvaro semakin cepat, semakin dalam. Ranjang berderit, suara desahan mereka memenuhi ruangan. Setiap dorongan membuat tubuh perempuan itu melengkung dan menjerit pelan. Ia tak lagi mencoba menahan suara. “Katakan siapa yang membuatmu seperti ini.” “Agghh!!" "Jawab!!" "K-Kau!!" "Teriakkan namaku." "Alvaro!" Tangannya mencengkeram pinggul perempuan itu kuat-kuat. Ia mencium bibirnya, dalam dan rakus, tubuh mereka bergerak dalam irama tak terkendali. "Sialan kau nikmat perempuan!" Puncak malam itu datang seperti badai. Perempuan itu melengkung tajam, menggigit bahunya untuk meredam erangannya, lalu Alvaro menyusul dengan geraman berat, menahan napas di leher perempuan itu. Beberapa menit, hanya suara napas yang terdengar. Alvaro memeluknya dari belakang, menarik selimut menaungi tubuh telanjang mereka. “Tidurlah. Aku tak akan kemana-mana malam ini.” Tapi pagi harinya, saat Alvaro membuka mata, tempat tidur itu kosong. Tidak ada jejak, tidak ada nama. Hanya aroma samar yang masih tertinggal. Ia menyentuh sisi ranjang yang dingin, menggeram pelan. “Sial, kau benar-benar pergi.” ** Alvaro duduk di tepi ranjang, memandangi bekas lipatan seprai yang sudah dingin. Tangannya menggenggam ujung selimut yang masih menyimpan jejak wangi tubuh perempuan itu. Manis, hangat, dan samar seperti dosa yang belum selesai ditebus. Dia mendengus, menenggak sisa wine di gelasnya, lalu melemparkannya ke lantai hingga pecah berhamburan. “Sialan.” Seharusnya itu hanya malam biasa. Satu dari banyak malam di mana tubuhnya bergumul dengan perempuan yang berbeda-beda. Tidak ada nama. Tidak ada cerita. Hanya nafsu. Tapi kali ini berbeda. Perempuan itu, siapa pun dia. Telah berhasil meninggalkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bukan hanya aroma di bantal, tapi juga rasa panas yang masih menggantung di kulit Alvaro, bahkan setelah tubuhnya dibasuh air dingin di kamar mandi. Ia berdiri, membuka laci kecil di nakas, mengambil satu batang cerutu dan menyalakannya perlahan. Asap pertama yang ia hembuskan terasa pahit. "Pintar sekali kau mainkan aku, huh?" gumamnya. Ponsel di meja berbunyi pelan. Ia mengangkatnya dengan malas. "Bos, kami sudah menunggu di ruang bawah. Rapat dimulai lima menit lagi." “Aku turun kalau aku mau. Jangan suruh aku lagi,” tukas Alvaro dingin lalu menutup panggilan tanpa memberi kesempatan bicara. Tak ada satu pun yang bisa memerintahnya. Ia berjalan ke jendela besar, menatap kelam kota yang perlahan disinari matahari pagi. Satu tangan dimasukkan ke saku celana, satu lagi memegang cerutu yang mulai habis. "Perempuan sialan. Bahkan kau tidak meninggalkan nama." Itulah masalahnya. Biasanya, Alvaro tidak peduli. Bahkan kalau mereka memohon untuk bertemu lagi, ia tak pernah sudi melirik dua kali. Tapi kali ini, tubuhnya menolak lupa. Matanya masih mengingat tatapan perempuan itu—berani, menggoda, tapi menyimpan ketakutan yang memabukkan. Sentuhan pertamanya, erangan pertamanya, bahkan darah tipis yang mengotori seprai. “Apa maksudmu datang begitu saja lalu pergi sebelum aku membuka mata?” gumamnya, nada suaranya rendah, nyaris mengancam. Ketua klan mafia seharusnya tidak terikat pada siapa pun. Dunia Alvaro dibangun dari darah dan kekuasaan, bukan perasaan atau rasa penasaran. Tapi entah kenapa, pagi ini ia tidak ingin mencari tahu siapa yang mengkhianatinya. Ia hanya ingin tahu: siapa perempuan itu. Bukan untuk balas dendam. Tapi untuk mengulang. ** Beberapa jam kemudian, Alvaro memasuki ruang utama klub malam miliknya—tempat ia biasa mengendalikan jaringan kekuasaan. Para anak buahnya berdiri tegak, menunduk saat ia lewat. Tapi hari ini, langkah Alvaro lebih dingin. Matanya lebih tajam. “Kemarin, siapa saja yang masuk ke suite VIP lantai atas?” tanyanya pelan pada asistennya. Asisten itu, pria muda bernama Rafi, tampak kaget. “Maaf, Tuan? Biasanya Anda tidak peduli.” "Dan sekarang aku peduli," balas Alvaro datar. "Jangan buat aku ulang dua kali." Rafi menelan ludah, buru-buru membuka ponselnya dan mengetik sesuatu. “Ada dua orang perempuan yang diizinkan masuk lewat jalur belakang. Tanpa nama. Mereka hanya menunjukkan simbol khusus di gelang hitam.” Alvaro menyipit. “Gelang itu hanya aku yang pegang.” “I-ya. Tapi seseorang memberikannya pada mereka. Mungkin dari orang dalam.” “Aku tidak tanya kemungkinan. Cari CCTV. Temukan siapa perempuan itu.” Ia menyelipkan kembali cerutunya ke bibir, matanya menyala marah. "Kalau perlu, bakar semua yang tak bisa menjaga mulut di tempat ini." Alvaro berbalik pergi, meninggalkan ruang itu dalam keheningan yang mencekam. ** Malamnya, Alvaro berdiri sendirian di ruangan privat di balik klub, menatap layar besar yang menampilkan rekaman CCTV. Berkali-kali ia mengulang cuplikan detik-detik perempuan itu masuk ke kamar suite. Gaun hitam. Rambut panjang tergerai. Tumit tinggi. Wajah tertunduk sebagian, tertutup masker tipis dan topi. Namun gerak tubuhnya, Alvaro mengenali. Langkahnya percaya diri. Tapi sorot matanya saat berhadapan dengan kamera, seolah menantang. Ia mengepalkan tangan. "Bukan kebetulan," desisnya. "Kau datang mencariku." Sekali lagi, Alvaro tersenyum kecil, tapi kali ini bukan karena puas. Senyuman itu berbahaya, seperti binatang buas yang baru saja mencium aroma darah. "Kau pikir aku akan lupa begitu saja? Tidak, sayang, kau sudah membuatku penasaran." Ia membalik badan, menyalakan layar besar yang memperlihatkan jaringan nama-nama perempuan dalam data pelacakan klubnya. “Cari semua perempuan dengan tinggi sekitar 165. Rambut panjang. Suara serak manja." Anak buahnya menatap dengan takut-takut. “Jumlahnya bisa ratusan, Tuan.” “Kalau perlu, periksa satu per satu. Sampai kutemukan dia.” Ia tersenyum miring. “Karena kalau aku sudah dapat, malam itu tak akan jadi yang terakhir.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD