Istana megah yang digunakan sebagai tempat resepsi hari itu penuh sesak oleh para tamu undangan. Lampu kristal menggantung indah dari langit-langit, bunga-bunga putih dan merah muda tertata elegan di sepanjang lorong, menciptakan suasana sakral sekaligus glamor.
Alvaro berdiri tegak di altar dengan wajah datar. Setelan jas hitamnya menjadikan aura dinginnya semakin kuat. Di sampingnya, muncul sosok perempuan dalam balutan gaun putih gading yang anggun, lengkap dengan veil tipis menutupi sebagian wajahnya. Gaun itu jatuh indah di tubuh ramping Arielle, membingkai lekuk-lekuk tubuhnya dengan anggun.
Tatapan Alvaro sempat tertuju ke arah veil itu. Sesuatu dari cara perempuan itu berjalan dan menyembunyikan wajahnya terasa mengganggu. Tapi ia mengabaikannya. Ia tak punya alasan untuk mencurigai apa pun.
Saat akhirnya wajah Arielle tampak jelas, Alvaro memandangnya sejenak. Wajah itu memang cantik, namun tak membangkitkan memori apa pun di benaknya. Tidak ada tanda bahwa ia mengenali perempuan itu sebagai seseorang yang pernah disentuhnya dengan intensitas begitu mendalam. Baginya, ini hanya pernikahan untuk kebutuhan politik dan strategi.
Arielle berdiri tenang di sampingnya. Tak banyak bicara. Tak banyak senyum. Ia hanya menjalankan perannya sebagai istri Alvaro dengan rapi. Tamu-tamu berdatangan, memberikan ucapan selamat dan salam hormat. Alvaro merespons dengan anggukan dingin, sesekali melirik Arielle yang menunduk sopan sambil menyambut para tamu dengan lirih.
Pesta itu berakhir larut malam. Musik telah berhenti, tamu-tamu mulai pulang satu per satu, dan rumah besar tempat tinggal Alvaro kembali sunyi.
Arielle kembali ke kamarnya, lelah, melepaskan veil dan gaun satu per satu, meninggalkan tubuhnya hanya dalam balutan pakaian dalam tipis. Ia berdiri di depan cermin, menghela napas. Hari ini telah berakhir, dan kini ia resmi menjadi istri pria yang dulu menyentuhnya tanpa nama.
Pintu kamar terbuka tiba-tiba.
Arielle menoleh cepat, kaget.
Alvaro masuk tanpa mengetuk, menggandeng seorang wanita bergaun merah pendek yang jelas bukan tamu pesta. Senyum genit wanita itu langsung pupus saat melihat Arielle berdiri di tengah ruangan dengan tubuh nyaris terbuka.
“Alvaro!” seru Arielle spontan, menutupi dadanya dengan tangan gemetar.
Tatapan Alvaro jatuh pada tubuh Arielle. Matanya langsung tajam, bukan karena marah, tapi karena sesuatu di dalam dirinya tiba-tiba berhenti.
Tubuh itu...
Lengkungan itu...
Suaranya saat menjerit...
Ada yang menghantam ingatannya sekilas, cepat dan samar.
Alvaro menoleh pada wanita bayaran di sampingnya, wajahnya berubah kaku.
“Keluar,” perintahnya singkat.
“Eh, tapi—”
“Sekarang.”
Wanita itu buru-buru pergi tanpa berani menatap lagi. Alvaro menutup pintu keras-keras, lalu berdiri di ambang pintu kamar Arielle. Matanya menatap kosong ke arah tempat tidur, kemudian beralih ke arah istrinya yang sudah mengenakan jubah tidur dengan tergesa.
“Aku tak tahu kau di sini,” gumam Alvaro tanpa emosi, lalu ia berbalik pergi menuju kamarnya.
Tapi dalam langkahnya yang menjauh, pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang sosok tubuh Arielle yang barusan dilihatnya. Ada sesuatu yang sangat akrab. Tapi ia belum tahu apa.
Dan itu membuatnya tidak tenang.
***
Arielle masih berdiri terpaku di dalam kamarnya. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tak teratur. Tangannya menutup mulut sendiri, seolah bisa mencegah suara itu kembali keluar.
Ia baru saja meneriakkan nama Alvaro. Refleks. Gugup. Kaget. Selama beberapa hari terakhir, ia berusaha membungkam dirinya, menjaga jarak, bahkan menghindari berbicara jika tak diperlukan. Tapi malam ini, tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya.
Dan suara itu... mungkin saja terdengar familiar.
Panik melanda dadanya. Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya menggigil. Bagaimana jika Alvaro mengenalinya dari suara itu? Bagaimana jika Alvaro menyadari bahwa dirinya adalah gadis yang pernah dia tiduri malam itu? Bagaimana jika semua rahasia ini terbongkar?
Alvaro adalah pria berbahaya. Pemimpin mafia yang bisa menghancurkan siapapun dalam sekejap. Jika dia sampai tahu bahwa wanita yang ia nikahi adalah gadis yang ia sentuh di malam kelam itu, dan gadis itu berani menyembunyikannya darinya...
Arielle menunduk dalam, memeluk dirinya sendiri. Ia tak bisa mengambil risiko itu. Ia tak bisa membiarkan semuanya berantakan. Ia tak ingin Alvaro menganggapnya perempuan murahan. Karena dia bukan itu. Malam itu adalah bentuk pengorbanan demi kebebasan. Bukan pilihan yang ringan.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya.
Tidak. Ia harus tetap diam. Tidak boleh ada yang berubah. Ia hanya perlu menjadi istri yang tak terlihat, tak terdengar, dan tetap menjalankan peran sampai waktu yang tepat.
**
Sementara itu, di kamar lain, Alvaro berdiri di balkon, menatap lampu kota yang bersinar redup. Rokok di tangannya sudah mati sejak tadi, namun belum ia buang. Pikirannya jauh.
Teriakan itu...
Suaranya terlalu familiar. Seolah dia pernah mendengarnya di momen yang berbeda. Nada paniknya. Getaran lembut di ujung nada. Alvaro memejamkan mata, mencoba mengingat.
Kenapa suara itu membuat tubuhnya bergetar?
Apa yang sebenarnya mengganggunya?
Ia mendesah pelan, kemudian masuk kembali ke kamarnya. Tapi suara itu tetap tinggal. Mengendap di pikirannya, menyusup ke dalam tubuhnya dan membuatnya ingin tahu lebih.
***
Malam berikutnya, suasana rumah Alvaro terasa berbeda. Biasanya, ia tidak pernah makan malam di rumah. Tapi kali ini, entah karena alasan apa, Alvaro ada di meja makan.
Ia duduk di kursi utamanya, menatap kosong ke arah piring di hadapannya. Tangannya memainkan sendok dengan pelan, sementara suara pelayan mondar-mandir menyajikan makanan terdengar samar.
Di ujung meja, Arielle duduk dengan tenang. Gaun rumahnya sederhana tapi elegan. Rambutnya disanggul rapi, dan ia tampak bersih serta rapi, seperti boneka porselen yang anggun dan tak tersentuh.
Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar suara alat makan bersentuhan dengan piring porselen. Tapi dalam diam itu, kepala Alvaro penuh dengan pertanyaan yang tak henti mengganggu.
Ia melirik sekali, menatap Arielle sekilas.
Ada yang tidak beres. Tapi ia belum tahu apa.
Dan itu membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Padahal ia tak pernah tertarik mengenal siapa pun di rumah ini.
Tapi kali ini, perasaan itu muncul begitu saja.
Suara sendok terhenti.
“Boleh aku tahu, apa kau terbiasa makan malam sependiam ini?” tanya Alvaro tiba-tiba.
Arielle sempat terkejut, tapi kemudian menjawab pelan, “Maaf, aku tidak bermaksud bersikap tidak sopan.”
Alvaro menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatapnya.
“Setidaknya, kita suami istri. Meski hanya di atas kertas, tak ada salahnya saling mengenal, bukan?”
Arielle mengangguk pelan.
“Aku akan memanggilmu... Arielle terasa terlalu formal. Kau keberatan kalau aku panggil El?”
Arielle menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
“Tidak, panggil saja El. Aku suka.”
Alvaro tersenyum tipis. “Kalau begitu, kau bisa panggil aku Al. Tidak perlu terlalu kaku.”
“Baik, Al,” jawab Arielle, dan suara lembutnya itu kembali menusuk memori Alvaro. Namun ia menahan ekspresi, tetap tampak tenang.
Keduanya terdiam lagi, namun suasana terasa lebih ringan. Tidak sepanas biasanya. Tidak setegang sebelumnya. Tapi tak berlangsung lama.
Pintu ruang makan diketuk. Salah satu anak buah Alvaro masuk, membungkuk dengan wajah tegang.
“Tuan, ada laporan mendesak.”
Alvaro menoleh, wajahnya langsung berubah serius.
“Masuk ke ruang kerjaku. Sekarang.”
Ia bangkit dari kursi, dan sebelum meninggalkan ruangan, ia sempat melirik Arielle sekali lagi.
Tatapan itu lama.
Lalu ia pergi.
Meninggalkan Arielle dengan d**a berdebar, dan rasa takut yang belum juga hilang.
"Astaga, itu tadi membuatku hampir pingsan," ucap Arielle. Ia lalu meneguk air di dalam gelas sampai habis tak bersisa seolah tenggorokannya kering sejak tadi.
**
“Kita kehilangan dua kontainer di pelabuhan. Barangnya diambil, orang kita dibantai,” ujar pria bertato dengan wajah kaku.
Alvaro tidak bicara. Tangannya memutar cincin peraknya pelan. Wajahnya dingin, matanya kosong.
“Jejak mereka sudah kami lacak sampai gudang tua di pinggiran kota. Ingin kami ledakkan langsung malam ini?”
“Tidak,” jawab Alvaro datar. “Biarkan mereka hidup dua hari. Biarkan mereka percaya mereka menang. Baru setelah itu, hantam dengan cara paling keji.”
Bawahan itu mengangguk cepat.
“Tuan, Anda tak terlihat seperti biasanya. Apa ada yang mengganggu?”
Alvaro menatap tajam, seolah kata itu menghina harga dirinya.
“Apa maksudmu?”
Pria itu menunduk cepat. “Maaf. Maksud saya, biasanya Tuan langsung bereaksi cepat. Hari ini Tuan terlihat ragu.”
Alvaro berdiri dari kursinya. Gerakannya lambat tapi mengintimidasi. Ia berjalan ke arah bawahannya itu, berdiri hanya beberapa senti dari wajahnya.
“Jika aku ragu, kau pikir kau masih hidup sekarang?”
“Tidak, Tuan. Maaf, Tuan.”
“Keluar.”
Keduanya cepat pergi, meninggalkan ruangan dalam keheningan.
Alvaro berjalan kembali ke belakang meja, mengambil segelas bourbon, menyesapnya perlahan. Matanya memandang ke arah jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota gelap di luar sana.
Ada suara ketukan lembut di pintu.
Pintu terbuka, seorang wanita masuk. Sosok ramping dengan gaun ketat beludru hitam yang memperlihatkan punggungnya. Rambut panjang dibiarkan tergerai, make-up tebal menambah kesan liar.
Ia tidak bicara. Hanya tersenyum dan menutup pintu, lalu berjalan menghampiri Alvaro.
“Tuan, semua orang sedang sibuk. Mungkin aku bisa membuatmu rileks sebentar?” bisiknya menggoda.
Alvaro menoleh pelan.
Wanita itu sudah berdiri sangat dekat. Tangannya naik ke d**a Alvaro, mengusap pelan d**a bidang pria itu, lalu ke lehernya, menempelkan tubuhnya dengan penuh godaan.
“Aku dengar kau sudah menikah,” gumamnya, menggigit bibir. “Tapi mereka bilang kau tetap lelaki bebas. Apa kabar itu benar?”
Alvaro tak bergerak. Ia hanya membiarkan tangan perempuan itu menjelajah d**a dan bahunya. Tapi wajahnya tetap datar.
Wanita itu naik ke pangkuannya, duduk di pahanya, mencoba mencium lehernya.
Alvaro mendesah, bukan karena kenikmatan, tapi karena lelah menahan kejengkelan.
“Berhenti,” ucapnya pelan.
“Tapi Tuan—”
“Turun dariku. Sekarang.”
Wanita itu terdiam. Matanya bingung.
“Kau tidak suka aku?” tanyanya ragu.
Alvaro menatapnya tajam, seolah perempuan itu adalah hantu yang mengganggu pikirannya yang sudah cukup kacau.
“Aku sudah tidak tertarik dengan tubuh yang hanya tahu cara menjual diri.”
Wanita itu tersinggung, tapi tetap berdiri.
Sebelum ia melangkah pergi, Alvaro menambahkan, “Bukan karena aku menikah. Tapi karena kau tidak bisa memberi rasa yang kucari.”
Wanita itu pergi dalam diam.
Alvaro kembali duduk, mengusap wajahnya dengan tangan kasar. Matanya menatap kosong ke gelas bourbon di tangan.
Ada yang salah dengannya.
Biasanya, dia bisa meniduri siapa pun, kapan pun, di mana pun. Tidak peduli siapa. Tidak peduli nama.
Tapi sekarang tubuhnya memberontak. Jiwanya tidak merasa puas. Bahkan gairahnya pun enggan bangkit jika bukan rasa itu yang muncul.