bc

MUSUH TAPI MENIKAH

book_age18+
59
FOLLOW
1K
READ
one-night stand
HE
fated
opposites attract
arranged marriage
heir/heiress
drama
sweet
bxg
lighthearted
witty
office/work place
lies
like
intro-logo
Blurb

Anggita dan Rafka adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Saling sindir, saling menjatuhkan, dan selalu bikin satu sama lain kesal, itulah hubungan mereka selama bertahun-tahun.

Namun reuni SMA membuat semuanya kacau. Nostalgia, alkohol, dan satu malam yang salah kamar, salah ranjang, dan… salah langkah membuat mereka terpaksa menghadapi kenyataan: musuh bebuyutan ternyata bisa sangat dekat dan terjebak cinta satu malam.

Besok paginya, kepala pusing, malu setengah mati, dan teman-teman yang iseng sudah melihat semua. Gosip pun menyebar cepat, dan keluarga yang panik memutuskan satu hal: supaya aib tertutup, Anggita dan Rafka harus dinikahkan. Sekarang, kehidupan chaos mereka dari musuh menjadi mempelai pun dimulai.

chap-preview
Free preview
Bab 1 Malam Tak Terencana
Hujan mengguyur Jakarta Selatan malam itu. Lampu-lampu di sepanjang jalan Gatot Subroto memantulkan cahaya ke genangan air, sementara di dalam ballroom hotel mewah, musik klasik pelan mengiringi tawa dan nostalgia. Reuni SMA Anggita berjalan seperti pesta kecil orang dewasa. Beberapa datang dengan pasangan, sebagian sibuk memamerkan karier, dan sisanya hanya ingin tahu kabar cinta lama yang mungkin masih ada. Di antara semua wajah yang familiar itu, satu yang paling membuat Anggita mendengus jengkel yaitu kehadiran seorang pria bernama Rafka. Padahal, awalnya dia merasa lega karena pria itu tidak terlihat di manapun. Pria itu datang terlambat, dengan jas hitam pas badan, rambut sedikit berantakan, tapi senyum sombongnya tetap sama seperti sepuluh tahun lalu. Baru saja bertemu, pria itu sudah membuka mulutnya dan membuat bara api di hati Anggita terbakar cepat. “Wah, juara dua hadir juga ternyata,” katanya begitu melihat Anggita. “Juara dua?” Anggita menaikkan alis. “Aku yang ranking satu waktu itu, Raf.” “Iya, tapi cuma di nilai. Di gaya hidup, aku masih unggul.” Anggita mendesis pelan. “Kamu masih sama aja, masih nyebelin.” "Kamu saja yang selalu mengatakan aku menyebalkan, padahal yang lain tidak." Mereka duduk berseberangan, tapi entah kenapa selalu saja berakhir dalam lingkar obrolan yang sama. Mungkin karena teman-teman lain sengaja. Mungkin juga karena takdir punya selera humor yang aneh. Sejak dulu, mereka memang selalu bertengkar. Namun, tidak pernah berakhir dengan sesuatu yang fatal sehingga mereka dikenal sebagai kucing dan tikus dari masih SMA. "Sudah, ayo nikmati malam ini," ujar Mira, salah satu teman keduanya, sembari mengambil gelas winenya. Semua orang mengikuti. Mereka bersulang memaksa Anggita dan Rafka ikut terjun dalam pesta reuni mereka setelah sekian lama tidak berjumpa. Beberapa saat kemudian, Anggita mulai rileks. Lagu Can’t Take My Eyes Off You terdengar samar dari sudut ruangan, dan ia tak bisa menahan diri untuk tidak ikut bernyanyi pelan. Rafka, dari seberang meja, memperhatikannya dengan tatapan berbeda, bukan lagi tatapan saingan, tapi seseorang yang tiba-tiba merasa asing dengan kenangan sendiri. Dia tidak tahu kalau kedatangan Anggita bisa membuat sesuatu di hatinya kembali bangkit seolah sejak dulu dia hanya mengabaikannya perasaan itu. “Kamu masih hafal lagu itu?” tanya Rafka. “Itu lagu favorit guru musik kita, inget nggak? Yang selalu maksa kita duet waktu lomba sekolah.” “Oh iya,” Rafka terkekeh pelan. “Aku kira kamu yang sengaja pilih lagunya biar bisa nyanyi lebih tinggi dariku.” “Kamu pikir semua orang hidup cuma buat ngalahin kamu, ya?” Mereka tertawa, tawa yang hangat tapi aneh, karena untuk pertama kalinya, tak ada kebencian di dalamnya. --- Jam menunjukkan lewat tengah malam ketika reuni mulai bubar. Beberapa teman sudah berpamitan, sisanya mabuk dan tertawa tanpa kendali. Anggita melangkah keluar ballroom, mencari udara segar di balkon hotel. Hujan sudah berhenti, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara. Ia menyandarkan kepala di pagar balkon, menatap gemerlap lampu kota. “Masih benci aku?” Suara di belakangnya pelan, tapi cukup jelas. Ia menoleh, menemukan Rafka berdiri membawa dua gelas wine. “Nggak tahu,” jawab Anggita. “Mungkin aku udah capek benci kamu.” “Kabar baik buatku, berarti aku bisa berhenti pura-pura nggak peduli.” Mereka saling pandang. Anggita meneguk wine-nya. Dadanya hangat, kepalanya ringan. Mabuk, tapi lebih karena kata-kata daripada alkohol. “Rafka…” suaranya pelan, nyaris tenggelam di antara deru malam. “Kenapa sih dulu kamu selalu nyebelin banget?” “Karena kamu selalu keliatan sempurna,” jawabnya jujur. “Dan aku benci ngerasa kalah sama kamu.” “Lucu, aku juga gitu. Aku benci kamu karena kamu nggak pernah takut salah.” “Dan sekarang?” “Sekarang aku nggak tahu siapa yang lebih t***l. Kita berdua sama-sama nggak bisa move on dari masa SMA.” Rafka mendekat. Tangannya terulur, ragu, lalu menyentuh pelan ujung rambut Anggita yang sedikit berantakan karena angin malam. Tatapan mereka bertemu — bukan tatapan saingan, tapi dua orang yang diam-diam saling memahami. “Kamu masih sama,” katanya. “Cuma sekarang lebih berani.” “Kamu juga,” jawab Anggita. “Cuma sekarang lebih berbahaya.” Mereka saling melempar senyuman. Tidak ada yang bicara, tetapi mata mereka jelas mengungkapkan lebih dari sekadar kata yang bisa diucapkan. Langit mulai meredup, lampu balkon berpendar lembut di kulit mereka. Mabuk, nostalgia, dan sesuatu yang belum sempat diucapkan menyatu dalam hening. Anggita menghela napas. “Rafka, ini bodoh.” “Ya, tapi aku nggak mau nyesel lagi,” jawabnya. Sebelum Anggita sempat menolak, Rafka menariknya dalam pelukan yang anehnya terasa hangat, jujur dan tulus. Bukan pelukan musuh, tapi seseorang yang akhirnya berani mengakui rindu yang selama ini pura-pura tak ada. Ciumannya datang perlahan — lembut, ragu, tapi nyata. Mereka terhuyung, masih tertawa kecil di antara genggaman, sampai dunia di sekitar seolah memudar. "Ikut aku!" Entah siapa yang menarik dan tertarik, yang jelas, mereka menuju kamar yang sama, meneruskan ciuman yang seolah tidak bisa diakhiri dan dilengkapi dengan pelukan yang terus mengobarkan api yang sudah telanjur berkobar. Malam pun menutup mata, membiarkan dua jiwa yang lama terpisah saling menemukan dalam keheningan. Hujan kembali turun, menulis rahasia di kaca jendela. Waktu berhenti sejenak di antara tawa, sesal, dan keberanian yang terlambat datang. Tak ada benci di antara mereka malam itu, hanya dua orang yang lupa caranya menolak takdir. --- Pagi datang terlalu cepat. Anggita terbangun dengan kepala berat dan mata menyipit. Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapa ruangan yang asing baginya. Ia mengerjap pelan—dan detik berikutnya, menjerit kecil. “YA TUHAN. RAFKA?!” Rafka yang masih setengah tertidur langsung bangun, panik, rambut acak-acakan. “Ssst! Pelan-pelan! Kepala aku masih muter!” “Kamu… kamu ngapain di sini?!” “Aku yang harusnya nanya itu! Ini kamarku!” “Nggak mungkin, aku yang check-in di sini!” “Yah berarti salah kamar. Atau… salah takdir?” “JANGAN ROMANTIS-ROMANTISAN, RAFKA!” seru Anggita, menutupi wajah dengan bantal. Belum sempat mereka merapikan keadaan, pintu kamar terbuka. Seorang teman mereka, Mira, muncul dengan ekspresi kaget campur senyum nakal. “Heeeeh... pagi yang produktif, ya?” “Bukan kayak gitu!” sahut Anggita refleks. “Jelas bukan,” tambah Rafka cepat-cepat. “Kita cuma... diskusi akademis.” “Diskusi di kamar hotel jam tujuh pagi, tanpa baju?” Mira tertawa keras. “Wah, reuni kali ini sukses banget!” "KELUAR!!" Mira hanya mengangguk pelan lalu keluar. Itu kamar Anggita, Rafka yang salah kamar atau mungkin dia memang diundang dengan sengaja. "Kita ketahuan," ungkap Anggita. "Monyet juga tahu kalau barusan kita ketahuan, Git." Keduanya saling memandang. "Malu!" Anggita menutup wajah dengan selimut, sementara Rafka cuma bisa menghela napas dan menahan tawa. Dalam kekacauan itu, mata mereka bertemu dan tanpa sadar, keduanya tersenyum kecil seolah mereka melakukannya dengan sukarela. Ada sesuatu di antara mereka yang berubah. Sesuatu yang tak bisa mereka tolak, meski tak satu pun berani mengakuinya. Begitulah malam reuni yang seharusnya biasa berubah menjadi kisah yang tak pernah mereka duga. Antara kesalahan dan takdir, di bawah langit Jakarta yang terlalu ramai untuk menyimpan rahasia. Namun, tidak pernah ada rahasia yang bisa dijaga apalagi ada saksi mata.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
299.8K
bc

Too Late for Regret

read
235.4K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.5M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
130.0K
bc

The Lost Pack

read
327.7K
bc

Revenge, served in a black dress

read
130.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook