Bab 10. Permainan Dimulai

1142 Words
Malam berganti dengan cepat. Kanaya terlihat mengemasi barang-barangnya dengan tidak bersemangat. Wanita itu sejak tadi memikirkan ucapan putrinya yang tidak mau pindah rumah jika rumah itu bantuan dari Dewa. "Pokoknya aku enggak mau ibu nerima apapun bantuan dari dia. Lebih baik aku enggak punya rumah daripada tinggal di rumah laki-laki itu." Nara mengatakan dengan jelas penolakan tersebut membuat Kanaya jadi bingung harus apa. Tidak ada orang lain lagi yang bisa membantunya selain Dewa. Saat Kanaya sedang sibuk melamun, ponselnya terdengar berdering diatas meja rias. Ia mengambilnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Ternyata Dewa, ia pun langsung mengangkatnya. "Hal-" "Selamat pagi, mbak pacar. Bagaimana tidurnya tadi malam? Pasti nyenyak karena mimpiin aku 'kan?" Sebelum Kanaya mengatakan apapun, Dewa sudah lebih dulu menerocos dengan suara yang terdengar riang. "Astaga, kamu ini percaya diri sekali. Aku enggak mimpiin kamu, malah mimpi ketemu setan. Atau jangan-jangan setannya kamu?" seloroh Kanaya. "Jahatnya pacar sendiri dikatain setan. Padahal aku udah ganteng gini," ujar Dewa berpura-pura kesal. "Bodo amat, katakan apa yang kamu inginkan?" Kanaya langsung bertanya to the point. "Kalau aku bilang aku menginginkanmu, pasti tidak akan percaya. Baiklah, tolong bukakan pintunya, aku membawakan bubur ayam paling lezat di kota X." "Apa? Kamu di rumah aku?" Kanaya membulatkan matanya syok, ia segera bangkit dari duduknya lalu melihat ke jendela kamar dan bisa melihat sosok Dewa yang berdiri didepan mobilnya. "Iya, udah kram kaki aku berdiri disini. Bukain pintunya, pasti kamu belum sarapan," kata Dewa lagi. "Baiklah, aku turun dulu sebentar. Kenapa dateng nggak ngomong?" gerutu Kanaya buru-buru keluar kamarnya lalu turun ke bawah untuk menemui Dewa. "Ya kalau ngomong pasti nggak boleh 'kan? Makanya aku kasih surprise." Dewa menyahut santai, ia mematikan sambungan telepon itu setelah memastikan Kanaya sudah turun. Dewa mengulas senyum tipisnya, ia melihat makanan yang ia bawa lalu menatap rumah Kanaya kembali. Ia sudah seperti seorang pujangga yang menanti kekasihnya datang. Damn it! Sebenarnya ini bukan sifatnya sama sekali mengejar wanita, apalagi bisa dikatakan banyak sekali wanita diluar sana yang menginginkan dirinya sebagai pacar. Tapi untuk kali ini Dewa rasanya tidak berselera menghadapi para wanita itu. Ia lebih suka tantangan baru dengan mengejar Kanaya, seorang janda dua anak yang membangkitkan jiwa pemburu dalam dirinya. Yes, setelah ditolak berkali-kali, harga dirinya seolah terusik. Semakin penasaran dengan wanita yang bernama Kanaya ini. "Gila ya, kenapa datang kesini segala?" Kanaya langsung mengomel begitu sampai didepan rumahnya. Dewa tersenyum lalu menunjukkan makanan yang dia bawa. "Mau sarapan di kos sendirian enggak enak banget. Temenin ya mbak pacar, anak-anak udah berangkat belum? Sekalian deh biar bisa makan bareng," sahut Dewa. "Udah berangkat, ini udah jam berapa coba. Ya udah ayo masuk," tukas Kanaya mau tidak mau membiarkan Dewa masuk ke rumahnya. "Yah, padahal mau sarapan bareng anak-anak, pasti rame." Dewa menyayangkan hal tersebut. "Kalau pagi mereka itu jarang sarapan. Suka langsung berangkat," ujar Kanaya. "Kenapa?" "Enggak apa-apa." Kanaya menyahut singkat, enggan untuk menceritakan masalah jika suami dan selingkuhannya ada di rumah kalau pagi hari. "Kanaya," panggil Dewa tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Hm?" Kanaya mendongak untuk melihat apa wajah Dewa. "Sekarang kamu udah punya aku, jadi jangan ragu membagi masalahmu denganku. Mungkin tidak bisa mengurangi masalahmu, tapi aku bisa menjadi pendengar setia untukmu," tutur Dewa seraya mengusap lembut pipi Kanaya. Kanaya mengedipkan matanya berkali-kali, hatinya mendadak didera perasaan yang ia sendiri tidak bisa menggambarkannya. Tapi kini jantungnya berdetak tak karuan karena perhatian Dewa padanya. "Aku sepertinya sudah lapar," kata Kanaya buru-buru melepaskan dirinya, bisa meledak jantungnya nanti jika ia terus menatap mata Dewa yang menghanyutkan itu. Dewa tersenyum geli, Kanaya itu wanita yang sangat polos sekali menurutnya. Hanya karena sedikit sentuhan dan speak iblis darinya, sudah gugup sendiri. Rasanya sangat lucu melihat wanita itu salah tingkah. Dewa lalu mengikuti Kanaya dibelakangnya, untuk pertama kalinya masuk ke dalam rumah yang sangat besar itu. Tidak ada apapun yang menarik baginya, tapi kenapa Kanaya bisa begitu ngotot ingin mempertahankan rumah itu. "Kamu mau minum pa?" tanya Kanaya, ia mengajak Dewa ke dapur dan mengambil minuman untuk pria itu. "Air putih aja, aku bawa bubur," sahut Dewa mendudukkan tubuhnya di kursi bar yang bersatu dengan dapur itu. "Enggak ada kelas hari ini?" Kanaya kembali bertanya. "Ada sih, tapi agak sorean nanti. Aku minta sendok dong," kata Dewa lagi. Kanaya melirik Dewa sekilas. "Mau makan sekarang? Aku ambilkan piring dulu," ujar Kanaya melihat Dewa yang sudah membuka bubur miliknya. "Enggak usah, gini aja." Dewa menggelengkan kepalanya menolak. "Mana boleh seperti itu? Wadah yang kamu pakai itu tidak higienis. Itu juga belum cuci tangan 'kan? Cuci tangan dulu gih," titah Kanaya mengernyit melihat Dewa yang asyik menyomot kerupuk tanpa mencuci tangannya. "Ini tanganku bersih, lihat deh." Dewa mengerutkan dahinya, merasa tangannya sudah bersih. "Bukannya tadi habis nyetir? Pasti banyak debu yang nempel, buruan cuci tangan," ujar Kanaya lagi. "Enggak usah deh, mau pakai sendok juga." Dewa menyahut malah, terbiasa makan sesukanya karena hidup sendiri selama ini. "Dewa! Buruan cuci tangan." Kanaya menarik tangan Dewa dengan kasar karena pria itu tidak mau menurut. "Iya iya, bawel banget sih. Aku cuci tangan nih, bila perlu aku ampelas sekalian," gerutu Dewa segera bangkit meski dirinya sangat malas. Kanaya mencibir sebal, setelah itu barulah ia menyiapkan bubur yang dibeli Dewa ke dalam mangkok kecil agar pria itu segera menikmatinya. Ia juga membuatkan kopi untuk Dewa, biasanya pria sangat suka kopi kalau pagi hari. "Wihhh, dibuatin kopi juga. Kayaknya beneran deh, makin yakin aku buat nikahin kamu," celetuk Dewa tiba-tiba saja sudah berdiri dibelakang Kanaya. "Nikah nikah Mulu, giliran di iyain nanti kamu malah kabur," cibir Kanaya. "Ya enggaklah, kalau mau kita langsung gas ke KUA, gimana?" ucap Dewa seraya mendekatkan wajahnya tepat disamping Kanaya. Kanaya tersentak, ia menatap Dewa yang tengah mengulas senyum manis itu. Ia tidak berbohong kalau Dewa ini pria yang sangat menarik. Mudah akrab dengan orang sehingga setiap apapun yang mereka bicarakan bisa saja nyambung. Tapi ini bukan tentang keakraban Dewa. "Jika kamu ingin bermain-main, menjauhlah dariku, Dewa. Aku adalah wanita yang pernah gagal dalam sebuah pernikahan. Kamu pasti tahu apa yang aku rasakan ini bukanlah hal mudah. Dan kamu juga perlu tahu, aku tidak berniat untuk menikah lagi. Hidupku hanya untuk kedua anakku," ujar Kanaya. Dewa mengulum bibirnya, jalannya sepertinya tidak semulus yang ia bayangkan. Tapi ia harus tenang, terlalu dini untuk mengakui kekalahan dan bergerak mundur. "Ya, aku tahu kamu masih trauma. Aku akan menunggumu," kata Dewa mengulas senyum manis lalu duduk di kursinya. Kanaya menghela napas panjang, ia berniat untuk membuang sampah bekas bubur tersebut, tapi tiba-tiba netranya tidak sengaja melihat dua orang laknat masuk ke dalam rumahnya. Melihat hal itu tiba-tiba ia reflek menjatuhkan dirinya di pangkuan Dewa. "Kanaya?" Dewa terkejut bukan kepalang, ia hampir saja menjatuhkan sendok yang ia pegang karena sangking terkejutnya. "Sayang, kamu mau sarapan sekarang? Aku suapin ya?" ucap Kanaya dengan sangat mesra, ia mengedipkan matanya sebagai gestur berkomplot kepada Dewa. "Kanaya kamu ini kenapa si h?" Dewa mengerutkan dahinya bingung, masih belum paham maksud Kanaya ini. "KANAYA! APA-APAAN INI!" Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD