Bab 3. Tidak Tahu Diri

1692 Words
Pagi-pagi sekali Kanaya sudah menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya. Hari itu Kala dan Nara akan mengikuti tes masuk SMP favorit yang sudah diidam-idamkan oleh mereka berdua. Jadi, ia menyiapkan sarapan istimewa untuk kedua anaknya. "Kalandra, Keinara. Ayo turun, Sayang, sarapan dulu!" teriak Kanaya memanggil kedua anaknya. Tak beberapa lama kemudian, Kala dan Nara turun. Mereka ini memang kembar sepasang yang besarnya hampir saja. Wajah mereka juga sangat mirip sekali. Tentunya karena mereka berdua kembar. "Nasi goreng seafood kesukaan Kakak," ucap Kanaya mengambilkan nasi goreng untuk Kala–putranya. "Dan, ini spaghetti lasagna untuk Nara," lanjut Kanaya juga mengambilkan makanan untuk Nara–putrinya. "Ayo makan sayang, nanti Ibu antar dan tunggu didepan gerbang. Semangat, semoga hasil tes nanti bagus, ya," kata Kanaya memberikan semangat dengan mengulas senyum tipisnya. "Apa Ibu baik-baik saja?" Bukannya langsung makan, tiba-tiba Nara bertanya, ia memandang ibunya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Baik? Tentu saja Ibu baik. Kenapa Nara bertanya seperti itu?" Kanaya mengerutkan dahinya merasa heran, tidak biasanya Nara bertanya seperti itu. "Laki-laki itu memang jahat ya. Kalau sudah tidak mencintai, dia akan memperlakukan wanita seperti barang yang tidak punya perasaan. Ibu enggak usah nyari laki-laki lagi, hidup sama Nara, nanti Nara yang ngurus ibu sampai tua," ujar Nara, masih sangat trauma dengan sikap kejam ayahnya yang dengan tega menyiksa ibunya. Wanita yang telah melahirkan dua anak itu terkejut, tidak menyangka jika kalimat itu akan keluar dari bibir putrinya. Nara seolah begitu mengerti bagaimana perasaannya saat ini. "Banyak omong banget, yang salah itu bukan laki-laki, tapi orang itu!” celetuk Kala yang sejak tadi diam. Enggan sekali menyebut pria yang telah membuat ibunya terluka itu. "Sama aja, 'kan? Dia itu laki-laki. Pokoknya aku enggak mau kalau Ibu menikah atau dekat dengan pria lagi," tukas Nara mendadak buruk moodnya, ia langsung bangkit dari duduknya dengan gerakan kasar. "Aku mau berangkat duluan. Ibu antar saja Kala, aku tidak mau berangkat bersama dia," ujar Nara menatap penuh kekesalan pada saudara kembarnya itu. "Loh, Nara kok gitu? Makanannya belum habis," cegah Kanaya. Namun, Nara tidak menggubrisnya. Gadis itu bergegas beranjak dari kursi lalu keluar rumah. Akan tetapi, saat ia akan masuk ke ruang tengah, bersamaan dengan dua orang manusia tidak tahu diri itu datang. Membuat wajah Nara semakin kesal. Siapa lagi kalau bukan Adit dan juga Desi, keduanya seolah tidak tahu malu karena setiap hari datang ke rumah mantan istrinya. "Nara, udah mau berangkat, ya? Mau berangkat sama siapa?" ucap Desi yang langsung sok akrab, tentunya ingin mengambil hati anak dari pujaan hatinya. "Jangan pernah memanggil namaku, kita bukan orang yang sedekat itu!” tukas Nara, anak remaja itu merasa muak sekali dengan sok akrab Desi. "Nara, bicaralah yang sopan sama Mama kamu," ujar Adit, memberikan tatapan yang tajam untuk memperingatkan putrinya yang terlalu kasar kepada Desi. Ucapan Adit itu membuat Nara kaget, ia semakin marah dengan tangan yang mengepal erat. Matanya berkaca-kaca dan kebencian yang semula sudah ada itu kian menjadi-jadi. "Aku tidak sudi menyebut dia Mama. Aku benci Ayah!" Nara berteriak seraya menangis lalu pergi meninggalkan rumah itu dengan perasaan kecewa yang luar biasa. Seorang anak perempuan yang sudah tidak lagi percaya dengan seorang laki-laki karena Ayahnya sudah membuatnya sangat trauma dan membenci semua laki-laki yang ada didunia ini. Bagi Nara laki-laki hanya akan membuat hidupnya menderita. "Nara!" panggil Adit, tetapi tidak digubris oleh anak itu. "Sepertinya Nara tidak menyukaiku, Mas," ucap Desi dengan wajah sedihnya, mencari simpati agar Adit iba dan merasa semakin mencintainya. "Tidak apa-apa, dia pasti hanya butuh waktu," ujar Adit menenangkan. “Sebaiknya kita masuk saja, anggap saja ini rumahmu juga karena sekarang kita akan tinggal di sini,” sambung Adit. “Yang benar, Mas? Apa Kanaya tidak marah?” Desi bertanya dengan wajah yang pura-pura takut. “Memangnya siapa dia? Jika memang tidak suka, silakan saja dia pergi,” sahut Adit mengulas senyum sinis, sangat yakin kalau ia akan tetap menang dan berhasil merebut rumah yang ditinggali oleh mantan istri dan anak-anaknya tersebut. Desi tersenyum manis, diam-diam wanita itu tertawa dalam hatinya. Ternyata sangat mudah mengendalikan Adit, dengan sedikit rayuan saja sudah membuat pria itu luluh. Setelah ini bukan hanya mendapatkan cinta Adit, tetapi ia juga akan mendapatkan seluruh aset pria itu. Keduanya lalu pergi menemui Kanaya di ruang makan. Tanpa rasa sungkan sedikit pun, Adit membawa wanita selingkuhannya itu duduk bergabung bersama mantan istri dan putranya yang masih menikmati sarapan. “Aku mau sarapan di sini, cepat siapkan sarapan untukku dan calon istriku!” ucap Adit dengan memerintah. Perintah itu ia tunjukkan pada Kanaya yang duduk dengan tenang di kursinya. “Kala cepat habiskan makannya, sebentar lagi udah jam 7!” Bukannya menggubris perkataan Adit, wanita yang telah disakiti berkali-kali itu dengan sengaja mengabaikan kedatangan kedua orang tidak tahu diri itu. Kala langsung membanting sendok dengan kasar. Ia juga bangkit dengan gerakan yang begitu kasar. "Aku udah selesai, mau berangkat sekarang," kata Kala dengan tangan mengepal, anak laki-laki itu tengah menahan amarahnya tatkala melihat kedatangan seorang pria yang seharusnya ia panggil ayah. "Itu nasinya belum habis, Kak. Ayo Ibu antar,” ujar Kanaya menatap putranya, makanan yang tadi ia ambilkan masih tersisa di meja. "Udah enggak selera." Kala menyahut ketus, bukan sengaja marah dengan ibunya, tetapi marah karena sang ayah datang bersama Desi. Kala pun segera pergi tanpa berpamitan pada Adit maupun Desi. Ia tidak suka berurusan dengan siapa pun yang membuat moodnya berantakan, terlebih wanita yang sejak tadi dilihatnya dengan tajam datang seolah tanpa dosa. “Mas, kenapa putra Mas bersikap seperti itu? Dia pasti sangat membenciku bukan?” Kembali dengan aktingnya, Desi merengek manja kepada Adit. Sengaja ingin membuat mantan sahabatnya itu kepanasan. Kanaya tersenyum sinis. "Aku tahu kenapa Tuhan membongkar kebusukan kalian dengan cepat. Kalian memang pasangan yang sangat cocok. Sama-sama tidak tahu diri dan menjijikan," kata Kanaya dengan nada sarkas. "Jaga bicaramu, Kanaya! Aku disini karena aku memang masih punya hak atas rumah ini. Jika kamu tidak suka, kenapa kamu saja yang tidak pergi?" ujar Adit balas menatap mantan istrinya dengan sinis. "Tidak akan pernah! Aku juga punya hak di rumah ini. Justru kalian yang seharusnya malu, sudah berbuat dosa, tapi terus berkoar-koar seolah kalian yang paling tersakiti. Hanya orang bodoh yang melakukan hal seperti itu, kalian tahu?" sergah Kanaya rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya agar kedua orang itu segera pergi dari hadapannya. "Kurang ajar, beraninya kamu!" Adit mengangkat tangan, mengayunkan untuk menampar Kanaya karena dinilai terlalu berani dan lancang padanya. Namun, dengan cepat Kanaya menangkap tangan itu sebelum menyentuh pipi mulusnya. "Jangan kamu pikir aku akan diam saja, Mas setelah apa yang kamu lakukan padaku. Kamu harus tahu, aku bukan lagi Kanaya yang dulu, yang diam saat kamu sakiti, apalagi alasanmu menyakitiku hanya karena perempuan sampah ini," sergah Kanaya lalu menghempaskan tangan Adit dengan kasar. Wajahnya memerah penuh amarah yang sebenarnya ia gunakan untuk menutupi rasa sakit hatinya. "Bilang saja kamu cemburu," ucap Adit dengan tidak tahu dirinya mengatakan hal seperti itu. Kanaya tertawa, ia melipat tangannya diatas perut. "Cemburu? Apa kamu tidak merasa ucapanmu terlalu tinggi, Adit? Sampah sepertimu memang pantas mendapatkan sampah seperti dia," kata Kanaya dengan jelas menunjuk Desi, ekspresinya seolah begitu jijik membuat wanita itu sangat kesal. "Kamu–" "Jangan bicara padaku! Apa kamu tuli? Putriku bilang, kita tidak sedekat itu hingga kamu berhak bicara denganku," tukas Kanaya dengan penuh amarah, lalu pergi meninggalkan kedua pengkhianat itu. Kanaya pun pergi meninggalkan rumah dengan perasaan yang campur aduk tidak karuan. Berusaha tegar bukan berarti ia tidak hancur. Ia sangat hancur, tetapi ia terus pura-pura terlihat baik-baik saja demi anak-anaknya agar tidak ikut sedih. Ia memilih pergi ke taman untuk menenangkan dirinya. Kini Kanaya benar-benar sudah berada dititik terendahnya, ia memilih menangis sejadi-jadinya agar perasaannya lebih lega. Sekuat apa pun wanita, ia akan tetap menyerah dan menjadikan tangisan sebagai tempat pelampiasan. "Ayah ... Ibu, Kanaya ingin bertemu," ucap Kanaya disela-sela tangisnya. Teringat dulu kedua orang tuanya yang selalu merangkulnya saat ia sedang dalam keadaan terluka. Sekarang siapa lagi? Kanaya tidak ingin hidup seperti ini. Seolah menjadi pengemis dengan mempertahankan rumah itu. Namun, ia juga bingung harus tinggal di mana, sementara ia tidak punya sanak saudara yang bisa dimintai tolong dan ia pun tidak punya pekerjaan. Selain itu, uang tabungan yang ia miliki juga tidak banyak karena selama ini Adit menjatah uang bulanannya pas-pasan. "Aku nggak bisa seperti ini, aku harus kerja lagi. Aku nggak mau hanya mengharapkan uang dari pria b******k itu," ucap Kanaya sambil mengusap air mata. Sejenak ia menghela napasnya, berharap agar beban itu juga ikut hilang hingga bisa lebih kuat menghadapi Adit. Tak ingin terlalu larut dalam kesedihannya, Kanaya pun bertekad untuk bangkit dan mulai menata hidupnya kembali. Tiba-tiba di saat Kanaya sedang berjalan di taman, ada seorang jambret kurang ajar yang ingin mengambil tasnya. Kanaya yang pikirannya sedang ruwet tidak mempertahankan tas itu sama sekali. "Kamu mau? Ambil sana! Ambil semuanya! Semua laki-laki memang tidak berguna. Kalian hanya bisa menyakiti seorang wanita!" Kanaya berteriak memaki jambret sialan itu dengan penuh amarah. Rasa kecewa dan marah pada mantan suaminya membuat ia melampiaskannya pada setiap siapa pun yang ditemuinya. Jambret itu pun seperti ketiban durian runtuh, ia segera berlari membawa tas itu dengan penuh semangat. "Laki-laki brengs*k! Pergi, pergi yang jauh sana! Kalian memang menjijikan!" teriak Kanaya lagi, ia menangis sendiri karena benar-benar sudah lelah dengan hidupnya ini. "Hei! Tas kamu diambil itu! Kenapa kamu diam saja?!" hardik seorang pria yang suaranya tiba-tiba terdengar menghampiri Kanaya. Sejak tadi ia melihat apa yang terjadi pada Kanaya dan ia sangat kesal karena Kanaya malah diam saja saat tasnya diambil oleh pejambret itu. Kanaya pun menoleh. Menatap pria yang baru saja mendatanginya dari atas sampai bawah. Penampilannya sangat modis, mengenakan kemeja kedodoran dengan dalaman berwarna putih. Terlihat sekali pria itu anak kuliahan. Kanaya mendengus kesal. "Laki-laki memang hanya bisa menyalahkan wanita tanpa tahu alasan. Memangnya apa yang kamu tahu, ha? Apa kamu pernah disakiti oleh seseorang sampai rasanya kamu ingin mati? Tidak pernah, 'kan? Jadi, jangan coba-coba ikut campur masalahku! Sekolah saja yang benar sana!" Kanaya balas menghardik, jangan ditanya bagaimana kekesalannya jika sudah bertumpuk, ia pasti akan melabrak apa saja yang ia lihat. Pria itu terlihat kaget, baru pertama kali ini ada wanita yang bersikap galak seperti itu. Ia melihat wanita itu, masih muda dan cantik. Dalam hatinya bertanya-tanya, siapakah wanita cantik yang galak ini? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD