Rahasia Jenggala 15

1422 Words
"Mau minum apa Je?" "Nggak usah." "Mau es krim?" Kepala Jelita mengangguk. Jenggala membuka kulkas lalu membawa sekotak es krim coklat ke hadapan Jelita. Jelita mengucapkan terima kasih lalu membuka es krim itu. Hanya ini satu-satunya cara untuk dia terbebas dari pikiran orang tua dan Kakaknya. Jelita tidak ingin keluarganya hancur hanya karena berbeda pendapat. Melihat bagaimana Papanya berteriak saja sudah membuatnya terkejut. Kemungkinan Papanya berteriak karena pria itu sudah berbuat hal yang tidak baik. Papanya tidak mungkin berteriak tanpa sebab. Jelita bergidik, dia mengigit sendok nya gelisah. Bagaimana jika Papanya pun marah karena mendengarnya bolos? Jelita yakin Makanya sudah bercerita pada Papanya. Usapan di kepalanya membuat Jelita menoleh, "Masih mikirin takut di marahin?" Kepala Jelita mengangguk. Mata bulatnya terlihat redup, ada ketakutan dan kekhawatiran di sana. "Mau tau nggak tadi nyokap Lo bilang apa di telepon?" "Apa?" "Beliau bilang 'Tante tuh seneng denger kalau Jelita bolos. Jelita tuh anaknya terlalu baik, hidupnya cuman di lingkaran itu-itu aja. Selama Tante nge-besarin Jelita, nggak pernah sekali aja Tante di telepon dari pihak sekolah. Tante tuh pengen sekali aja dateng ke sekolah Jelita denger omelan gurunya kalau anak Tante nakal. Tapi, harapan itu nggak ada sama sekali. Tante cuman takut kalau Jelita punya masalah sama temen-temennya, makanya dia jadi anak baik. Waktu Gita ngasih tas Jelita terus bilang kalau Jelita bolos rasanya kaya mimpi aja. Tahu sendiri kan anak jaman sekarang gimana? Tante ngerasa harus siap nih buat di telepon sama pihak sekolah. Eh, Jelita malah sebaliknya, kamu tahu sendiri dia gimana' ada nggak sih Je orang tua se-asik Nyokap Lo? Nyokap Lo malah seneng denger anaknya bolos. Kalau nyokap anak lain mungkin beda lagi ceritanya." Jelita sampai di buat ternganga. Benarkah Mamanya bilang begitu? Jelita tahu Mamanya memang berbeda dari orang tua lainnya tapi masa iya anaknya bolos Mamanya senang begitu? Sebenarnya bukan Jelita tidak mau membolos tapi dia tahu diri kapasitas otaknya tidak secerdas Jenita dan dia pun tidak secantik Jemita. Jadi dari pada Jelita mendapat masalah lebih baik dia mencari aman. Jelita hanya merasa takut jika Mamanya malu memiliki anak tidak berguna sepertinya. Terkadang rasa insecure terhadap kedua kakaknya slalu di rasakan olehnya. Tapi Mama dan Papanya tidak pernah membedakan anak-anaknya, semuanya di sama ratakan. Hanya mungkin untuk urusan yang lain Jelita yang paling tidak di izinkan. "Gua nggak mungkin bohong tentang itu Je." "Tapi Lo liat kan tadi Mama natap Kak Nita gitu banget." "Ada nggak sih orang tua yang mau anaknya salah milih pasangan?" Jelita menggeleng. "Itulah kenapa orang tua Lo marah. Kak Nita punya pasangan yang nggak masuk kriteria Orang tua Lo. Lo denger sendiri tadi kalau pria itu belum apa-apa udah berlaku kasar. Orang tua mana yang mau anaknya dikasari? Lo mau gua kasari emang?" "Nggak ma— eh." Jelita melotot kan matanya. "Setiap orang tua pasti punya cara sendiri buat nge-didik anak-anaknya." Jenggala menghela nafas. Jika membahas tentang orang tua, dadanya terasa sesak. Ingatan tentang masa lalu dimana dia hidup bahagia bersama kedua orang tuanya terlintas di pikirannya. Terkadang Jenggala slalu bertanya pada cermin yang memantulkan dirinya. Kenapa takdir hidupnya harus se-mengerikan ini? Kenapa takdir hidupnya harus serumit ini? Kenapa takdir hidupnya se-menyedihkan ini? Sehari tanpa memikirkan masa lalunya sepertinya Jenggala tidak bisa. Untuk melampiaskan rasa marah di dalam hatinya Jenggala lebih memilih pergi menyendiri. Jangan sampai jiwa di dalam dirinya kembali bangkit. Tanpa Jenggala sadari tangannya sudah terkepal, matanya memancarkan kebencian. Keserakahan. Kata-kata itu yang sampai sekarang slalu ada di dalam kepalanya. Tiba-tiba sebuah kepala terjatuh di bahunya. Jenggala mengerjapkan mata terkejut, tangan yang terkepal melemas begitu saja saat Jelita menyadarkan kepalanya. "Udah berapa lama orang tua Lo ninggalin?" "Ayah pergi waktu gua umur 12 tahun." "Ibu Lo?" Jenggala menghela nafas. "Dia ninggalin Bokap dan gua." "Kenapa?" "Bokap sakit-sakitan dan dia nggak mau ngerawat. Akhirnya kami di buang dan dia nikah lagi." Tangan Jelita menepuk lengan Jenggala. "Setelah Bokap Lo pergi, siapa yang rawat Lo?" "Gua hidup di jalanan." "K-kenapa Lo nggak pergi ke panti asuhan?" "Gua nggak bisa." Jelita menoleh, membenamkan wajahnya di bahu Jenggala. Jenggala terkejut saat merasakan panas di bahunya dan melihat bahu Jelita bergetar. "Lo nangis Je?" Jenggala mendorong bahu Jelita tapi gadis itu malah melingkarkan tangannya di lengan Jenggala. Jelita menangis. Jenggala mengusap kepala Jelita, sadar jika gadis ini terlalu cengeng jika mendengar sesuatu hal membuat hatinya tersentuh. "Kenapalonggakpernahceritasamagua." Jenggala mengerutkan kening saat Jelita berbicara namun tidak terdengar jelas. "Gimana Je?" "Kenapaloseakanbaikbaikajapadahallopunyabebanyangmestidipikul." Oke! Jenggala harus sabar, tidak boleh marah. Kebiasaan Jelita jika sudah menangis ucapannya tidak akan pernah jelas. Hanya usapan yang bisa Jenggala berikan karena dia tidak tahu harus menjawab apa. Jika dia menjawab memang apa yang Jelita tanyakan? Jelita mengangkat kepalanya lalu menatap Jenggala. Hidungnya memerah, matanya terlihat masih mengeluarkan air mata. "K-kenapa n-nggak p-pernah cerita?" Jenggala tertawa, sebelah tangannya mengusap air mata Jelita. "Gua harus cerita apa Je? Bukannya setiap gua mau deket, Lo slalu ngejauh?" "M-maaf." "Nggak apa-apa. Mungkin emang udah jalannya gua harus begini. Jujur gua emang belum ikhlas nge-lepas pergi Bokap tapi mau gimana lagi? Tuhan lebih sayang Bokap dan Bokap nggak akan pernah ngerasa sakit lagi." Jelita yang awalnya menangis biasa, tangisannya semakin kencang. Tangannya memukul d**a Jenggala. "M-mulai s-sekarang l-lo h-harus c-cerita s-sama g-gua hueeee." Bukannya terharu, Jenggala malah tertawa melihatnya. Jenggala melepaskan rangkulan tangan Jelita lalu memeluk gadis itu. Tangannya mengusap punggung Jelita mencoba menenangkan. "Emangnya Lo siap masuk ke kehidupan gua?" Jelita menganggukkan kepalanya. "Emang Lo siap buat hadapin semuanya sama gua?" Kepala Jelita kembali mengangguk. Jenggala tersenyum. Matanya menatap sebuah figuran dimana dia dan Ayahnya pergi memancing. Terima kasih, Dad. Ega akan berhenti mulai sekarang. Ega bakal jadi anak yang baik seperti yang Daddy harapkan. Tapi Ega minta maaf, Ega nggak bisa lepasin Mommy gitu aja. Ega udah terlalu sakit hati sama Mommy. Ega nggak bisa seikhlas Daddy yang memaafkan Mommy. ??? Suasana di ruang tamu hening, hanya isak tangis Jenita yang mendominasi. Juwita memalingkan wajah enggan menatap sang Putri. "Kalau itu emang keputusan kamu, silakan, Papa nggak akan larang kamu lagi." "Pa!" Juwita menatap suaminya terkejut. Bagaimana bisa suaminya mengatakan hal itu? "Papa udah nggak bisa lakuin apa-apa lagi, Ma. Semua keputusan ada di tangan Jenita, kalau emang Jenita senang dengan pria kasar seperti itu silakan. Tapi, Papa nggak mau denger suatu saat kamu bercerai karena adanya kekerasan dalam rumah tangga. Karena jika seorang Ayah sudah menjabat tangan suami sang Putri itu artinya semua tanggung jawab Ayahnya sudah berpindah pada suaminya." Jemita mendelik pada Jenita, bahkan dia tidak peduli lagi karena Jenita masih bersi keras ingin melanjutkan hubungannya dengan pria itu. Jemita sebenarnya tahu tentang hubungan kakaknya. Hanya saja dia sudah berjanji untuk tidak ikut campur karena Jenita sendiri yang mengancam untuk tidak banyak bicara. Melihat tatapannya saja Jemita sudah tahu jika pria itu bukan orang baik-baik. Jenita saja yang bodoh, mau-maunya dengan pria seperti itu. Juwita yang mendengar ucapan suaminya mendesah. Jika Januar sudah memberi keputusan seperti itu artinya sudah tidak ada lagi perdebatan. Persidangan di hentikan. Dan semua kembali pada kegiatannya masing-masing. Jenita? Wanita itu tidak tahu harus bagaimana saat Papanya mengatakan keputusan final. Jenita mencintai Beno tapi Papanya tidak menyetujuinya. Jenita sangat senang Beno mau bertemu dengan keluarganya. Sudah beberapa tahun Jenita membujuk namun pria itu tidak pernah menggubrisnya. Namun saat niatan baik Beno untuk datang ke rumah, Papanya yang slalu tenang tiba-tiba di lada emosi saat Beno akan melayangkan tangannya. Jenita tahu Beno pria kasar bahkan sudah berkali-kali dia pernah mendapat tamparan. Karena rasa cinta Jenita bertahan, dia yakin suatu saat Beno akan berubah. Lalu Jenita harus bagaimana sekarang? Mamanya bahkan tidak mau menatapnya. Januar sebenarnya tidak masalah Putrinya akan bersanding dengan siapapun namun untuk berlaku sampai main tangan dia tidak akan tinggal diam. Jenita keras kepala sepertinya jadi Januar yang akan mengalah. Tidak ada lagi yang bisa Januar katakan, karena percuma saja dia mendebat. "Aku pulang." Semua orang yang ada di ruang tamu menoleh. "Lita langsung naik ke atas yah, Ma, Pa, Kak." Setelah menyalami Orang tuanya Jelita pergi berlari naik ke kamarnya. Jelita mendengar percakapan orang tuanya. Di tengah anak tangga dia menatap Jenita lalu menggelengkan kepala. Bisa-bisanya Jenita mencintai pria kasar. Jika Jelita ada di posisi Jenita lebih baik tinggalkan saja. Jatuh dari sepeda lalu mendapatkan luka tidak sengaja saja sudah sakit bagaimana ini dengan luka yang sengaja di dapat. Jelita bergidik ngeri, dia tidak akan ikut campur. Itu urusan orang tua dan Kakaknya. Sebagai anak bungsu dan adik, dia hanya bisa mendukung saja tidak bisa membantu apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD