Bab 10. Deketin Aja Pak Dewa

1034 Words
"Iya, kamu enggak tau?" Atika menatap Arsila dengan heran. "Istrinya kabur sama laki-laki lain, cuma beberapa minggu setelah melahirkan. Semua orang di perumahan ini heboh, tapi enggak ada yang berani ngegosip secara terang-terangan." Arsila tiba-tiba terdiam, dia tidak menyangka jika Darren kecil akan sangat mengenaskan. Di tinggal oleh ibunya hanya beberapa minggu setelah lahir, Arsila merasa sakit hati untuk anak itu. "Terus pak Dewa gimana?" tanya Arsila. "Ya, gimana. Istrinya kabur ke luar negeri, mereka akhirnya cerai." Atika mengedikan bahunya. "Aneh banget, laki-laki sekelas pak Dewa aja di tinggalin. Udah ganteng dan kaya, kurang apa lagi coba!" Arsila mengangguk setuju dengan apa yang Atika katakan. Memang, terlepas dari sifat Dewa yang sedikit dingin, pria itu memang tampan dan kaya. Seseorang yang bisa menjadi istrinya dikatakan 'beruntung'. "Mbak mendingan deketin pak Dewa, deh. Dia duda kaya, pasti kesepian karena enggak ada istrinya. Kan, lumayan kalau dapet, Mbak." Atika kembali mengoceh. "Tapi, ya, gitu. Pak Dewa cuek orangnya. Dulu ada yang nyoba deketin dia, tapi gagal karena enggak pernah ada respon. Kasihan banget, pokoknya. Itu perempuan sampe nangis-nangis, tetangga pada liat, jadi bahan gosip akhirnya." Mendengar Atika terus mengoceh, menjelaskan gosip seputar Dewa, Arsila mendengarkan dengan cermat. Dari cerita Atika, Dewa sebelumnya jarang kembali ke rumah itu, dan biasanya orang-orang juga jarang berinteraksi langsung dengan Dewa. Laki-laki itu lebih banyak tinggal di perusahaan. "Tapi saya cuma pengasuh, enggak mungkin juga pak Dewa mau." "Haduh, kata siapa? Kamu liat ibu-ibu yang pakaiannya norak di sana?" Artika menunjuk seorang wanita berpakaian merah menyala dengan banyak emas yang menggantung di tubuhnya. Arsila melihatnya dan mengangguk. "Dia dulunya pembantu, tapi sekarang jadi istri ke dua majikannya. Cih, sombong, gayanya juga norak. Liat, satu toko emas dia pake, enggak berat apa—" "Ekehm." Suara deheman tiba-tiba terdengar dari belakang mereka. Atika dan Arsila lantas tersenyum, seorang pria dengan kacamata, memakai kemeja dan celana hitam, berdiri di belakang kursi taman, menatap Atika dengan tatapan tidak berdaya. "Eh, Mas. Kok kamu di sini?" Atika bangkit berdiri, menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Aku baru aja pulang, enggak liat kamu di rumah. Ngegosip lagi, Hm?" Tatapan mata pria yang tampaknya adalah suami Atika itu sangat lembut dan memanjakan. Pria itu bahkan mengulurkan tangannya, mengelus keringat Atika di keningnya. "Enggak, kok. Aku cuma lagi ngobrol sama pengasuh barunya pak Dewa. Kamu tau, kan?" Tatapan Atika beralih pada Arsila. Pria itu juga menatap Arsila, tersenyum sebagai sapaan. Arsila ikut tersenyum. "Saya Graha, suami Atika." Graha memperkenalkan dirinya. "Saya Arsila." "Jangan di pikirkan, istri saya memang tukang gosip." Arsila tertawa kecil mendengar apa yang Graha katakan. Atika cemberut, memukul bahu Graha dengan pelan. "Siapa yang tukang gosip?!" Ada senyum di bibir wanita itu. Berbeda dengan Dewa yang terlihat kasar secara visual, Graha terlihat lebih halus, seperti anggota idol korea yang sering Arsila lihat di ponselnya. Tinggi, putih, dan terlihat seperti memiliki kepribadian yang lembut. Sangat cocok bersanding dengan wanita secantik Atika. "Di mana Gania? Udah sore, ayo pulang!" Graha celingak-celinguk, mencari keberadaan putrinya. "Tuh, lagi main sama temen-temennya." Atika menunjuk putrinya. "Mbak Sila, kita pergi dulu, ya, mau pulang." Arsila mengangguk, melihat pasangan suami istri itu menemui putri mereka, lalu pergi setelah itu. Melihat keakraban Graha dan putrinya, Arsila tiba-tiba menyadari jika Dewa belum pernah menggendong Darren sejak dia bekerja. Bukan hanya tidak pernah menggendong, pria itu bahkan tidak pernah mengajak Darren mengobrol atau sekedar bermain. Padahal Darren adalah anaknya. Arsila tanpa sadar tersenyum, sedikit iri dengan keluarga bahagia Atika. Dia menunduk, melihat Darren di pangkuannya. Anak itu mengoceh dengan nada tidak jelas, menampilkan raut wajah yang lucu. Arsila tidak bisa menahan diri untuk tidak mencium Darren. Darren kecil terkikik geli saat Arsila menciumi dia. "Bababa! Mamama!" "Aduh, lucu banget, kamu, Sayang!" *** Arsila pulang ke rumah, menemukan bahwa mobil yang biasa dikendarai Dewa sudah terparkir rapih di halaman rumah yang luas. Masuk ke dalam, Arsila tidak menemukan siapa pun di ruang tamu atau dapur, dia berasumsi jika mungkin Dewa berada di kamarnya. Ketika Arsila hendak membuka pintu kamar, sebuah suara yang amat Arsila kenal terdengar. "Habis dari mana?" tanya Dewa ketika melihat Arsila. Berbalik, Arsila menatap Dewa. "Habis dari taman. Kebetulan Bapak di sini, saya titip Darren ya, soalnya saya mau mandi dulu!" Setelah mengatakan itu Arsila buru-buru menyerahkan Darren ke pelukan Dewa, dia berlari masuk ke dalam kamar, meninggalkan ayah dan anak itu. Dewa, yang tiba-tiba memegang makhluk kecil yang lembut dan rapuh, tercengang di tempat. Dewa tidak menyangka jika Arsila akan menyerahkan Darren padanya. "Arsila—!" Dewa kesal, dia tidak tahu harus bagaimana dengan anak itu. Menunduk, Dewa menatap Darren yang juga sedang menatapnya. Mata bulat anak itu tampak seterang bulan. Mungkin Darren merasa asing dengan Dewa, bibirnya perlahan berkerut, air mata berlinang di pelupuk mata Darren. Tidak lama kemudian, terdengar tangisan yang menghancurkan bumi. "HUAAAAAAA!" Anak itu memberontak dari pelukan ayah nya, mencoba untuk melepaskan diri. Raut wajah Dewa terlihat buruk, dia menggendong Darren dengan postur yang salah, membawa anak itu ke ruang tamu. "Jangan nangis!" titah Dewa pada Darren, nadanya seperti sedang berbicara dengan orang dewasa. Tangis Darren bertambah keras. "Stop! Jangan nangis!" Dewa menitah lagi. Bagaimana anak berusia empat bulan bisa mengerti apa yang orang dewasa Katalan? Anak itu terkejut karena Dewa membentaknya, tangisnya menjadi semakin keras dan menyedihkan. Kepala Dewa pusing mendengar tangisan Darren yang tidak kunjung berhenti. Dia memijat keningnya, membaringkan Darren di karpet tebal, dan memberikan sebuah mainan kecil untuk anak itu mainkan. Darren yang menangis menolak mainan yang ayahnya berikan. Anak itu melempar ke samping dan terus menangis. "HUAAAA, HIKS, HIKS, BABABABA! AWAWA! MAMAMA!" Entah apa yang diucapkan Darren, akan tetapi anak itu terlihat menyedihkan. *** Arsila merasa lega karena telah memberikan kesempatan pada Dewa untuk menggendong putranya. Dia pergi mandi dengan senang hati. Selesai mandi dan berpakaian, Arsila keluar dari kamarnya, berjalan menuju ruang keluarga. Belum tiba di sana, Arsila mendengar suara tangisannya Darren dari kejauhan. Panik, dia buru-buru berlari mencari Dewa. "Darren kenapa, Pak?!" tanya Arsila ketika melihat Darren kecil yang sesenggukan karena terlalu banyak menangis. "Dia nangis," jawab Darren. "Saya tau Darren nangis, maksud saya, kenapa Darren nangis?!" Darren melihat wajah yang dia kenal, sambil berteriak mengoceh, lengan kecil dan gemuk anak itu menggapai-gapai pada Arsila. Arsila mengambil Darren, membawanya ke dalam gendongannya. "Gimana, sih, Pak. Suruh ngejaga anak sendiri aja enggak bisa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD