Bab 12. Mamama!

1018 Words
Ketika Dewa membawa Darren masuk ke dalam kamar, Arsila sudah tidak terlihat di tempat tidur, akan tetapi terdengar suara shower yang menyala di kamar mandi. Dewa duduk di tepi kasur yang terlihat berantakan, dia baru bangkit berdiri setelah melihat Arsila keluar dari kamar mandi. Arsila sudah membersihkan diri, rambutnya basah dan tubuhnya hanya terbalut kemeja Dewa yang terlihat kebesaran. Keduanya berpandangan dengan canggung, bagaimana tidak, ronde ke tiga mereka terpaksa terhenti karena tangis Darren. " ... Saya pinjem baju Bapak, ya," ujar Arsila, mengulurkan tangannya untuk mengambil alih Darren. Dewa tidak membalas, dia menyerahkan Darren, setelah itu ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Beberapa menit kemudian, ketika Dewa keluar, hal pertama yang dia lihat adalah Arsila duduk di tepi kasur, dengan tiga kancing kemeja terbuka, dan Darren yang menyusu padanya. Anak yang tadi menangis itu sekarang terlihat tenang, dan bahkan sesekali tertawa pada Arsila. Setelah memakai kaus dan celana, Dewa mendekati Arsila dan berkata, melihat p******a Arsila yang penuh dengan cupang, jakunnya bergerak naik-turun. Dewa memalingkan wajah, berkata pada Arsila, "Saya di ruang kerja, kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa temukan saya di sana." "Iya, Pak." Arsila mengangguk sebagai jawaban. Dia fokus menyusui Darren, bahkan mengajak anak itu untuk mengobrol. *** Dewa baru keluar dari ruang kerja sekitar pukul satu malam. Keluar dari ruang kerja Dewa melihat Arsila yang sedang duduk bersandar pada kepala tempat tidur dengan mata tertutup. Darren yang sedang menyusu masih membuka matanya. Berjalan mendekat, Dia menatap Darren yang terlihat energik, matanya seterang bintang, diam-diam menatap Arsila yang terlelap. Ketika Dewa mengulurkan tangan untuk mengambil alih Darren, Arsila tiba-tiba terperanjat, membuka matanya dengan bingung. "Darren..." Wanita itu bergumam dengan mata mengantuk. "Sama saya, kamu lanjut tidur aja." Setelah mendengar itu, seolah Arsila merasa tenang, dia kembali menutup matanya dengan keadaan linglung. Dewa juga membantu menutup kembali kancing pakaian Arsila tanpa ada ekspresi tambahan di wajahnya. Di pelukan sang ayah, Darren kecil tampak bersemangat, terus mengoceh, kakinya bahkan menendang-nendang dengan lincah. "Papapapa! Uwooo!" "Sst! Jangan berisik!" Anak itu mungkin salah mengira jika ayahnya mengajak dia bermain, Darren terkikik, bertambah semangat dalam gendongan Dewa. Dewa merasa lelah, dia naik ke atas tempat tidur, meletakan Darren di antara dia dan Arsila. Ketika Dewa berbaring di atas ranjang, Darren tidak bisa diam, anak itu mencoba untuk tengkurap meski akhirnya gagal karena tubuh gemuknya terlalu berat. "Wuuuuuu." Bibir anak itu cemberut, tampaknya kesal karena berkali-kali gagal membalikan tubuh. Mulut kecilnya mengerucut, mencoba sekali lagi namun tetap saja gagal. Kening Dewa bertaut, merasa anaknya sangat bodoh. Darren, yang mungkin merasakan tatapan menghina dari ayahnya, dia marah. Anak itu membelakangi Dewa, membiarkan sang ayah menatap p****t gemuknya. Darren beringsut mendekati Arsila, masuk ke dalam pelukan wanita itu. "Mamama!" *** Rasanya sesak, seolah batu besar menekan dadanya. Saat Dewa terbangun, dia melihat sebuah p****t mencuat di depan wajahnya. Pemilik dari p****t itu adalah putranya sendiri, berbaring di atas tubuhnya dengan posisi terbalik. Dewa menghela nafas, mengangkat tubuh kecil Darren, meletakkannya di tempat tidur. Dia meletakan bantal di sekeliling Darren agar anak itu tidak berbalik dan terjatuh. Arsila sudah tidak berada di kamar, kemungkinan besar wanita itu sudah bangun dan kembali ke kamarnya. Dewa turun dari tempat tidur, keluar dari kamar, dia turun ke kantai bawah. Melihat Arsila di ruangan laundry, sedang memasukkan pakaiannya hang kotor ke dalam mesin cuci. "Kenapa nyuci sendiri?" tanga Dewa, karena biasanya akan ada orang yang datang untuk mencuci dan menyetrika pakaian. Ketika mendengar suara Dewa, Arsila lantas menoleh. "Eh, Pak. Ini baju kotor semalem, malu kalau di liat orang," jawab Arsila. Arsila merasa tidak nyaman memikirkan seseorang melihat pakaian dalamnya yang penuh dengan bercak basah. Dewa mengangguk, mengerti. "Bapak mau saya buatkan sarapan sekarang?" tanya Arsila. Menggeleng, Dewa menjawab, "Nanti aja, hari ini libur, jadi saya bisa sarapan agak siang." Arsila mengangguk mengerti. Dewa pergi ke gym pribadinya untuk berolahraga, sedangkan Arsila kembali melanjutkan mencuci pakaian. Setelah selesai, Arsila tidak lupa mengeringkannya dan menjemurnya di belakang rumah. Saat dia menjemur, tatapan Arsila tanpa sadar beralih pada sebuah ruangan yang memiliki kaca transparan, ruang gym. Ruang gym berada di belakang rumah, temboknya sebagian besar terbuat dari kaca dengan alat gym yang berjajar rapi di sana. Arsila dapat melihat bayangan Dewa di sana, mengenakan celana panjang longgar, dengan tubuh bagian atas yang telanjang. Pria itu tampak sedang berjalan di atas treadmill. Arsila terdiam, dia penasaran bagaimana rasanya berolahraga di alat-alat seperti itu. Di kampung, orang-orang biasanya berolahraga dengan cara berjalan kaki di waktu subuh atau sore. *** Selesai berolahraga, Dewa menyeka keringatnya dengan handuk. Dia keluar dari ruang gym, bersiap untuk mandi ketika secara tidak sengaja berpapasan dengan Arsila yang sedang membawa pakaian yang telah di setrika ke kamarnya. "Pak," sapa Arsila dengan senyum. Matanya tanpa sadar melirik tubuh Dewa yang tampak menakjubkan. "Kamu belum mandi?" tanya Dewa, melihat Arsila yang masih memakai daster. "Oh." Arsila melihat pakaiannya sendiri, lalu menggelengkan kepalanya. "Habis ini saya mandi. Bapak mau dibuatkan sarapan sekarang?" tanya Arsila. Dewa kemudian mengangguk. "Kamu mandi dulu, setelah itu saya. Air di kamar mandi sebelah enggak keluar, kan?" "Iya, Pak." "Jam delapan nanti akan ada orang yang datang untuk memperbaiki." Arsila mengangguk lagi. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju kamar. Arsila mandi terlebih dahulu, setelah itu baru Dewa. Selesai mandi dan berpakaian, Arsila menggendong Darren yang sudah terbangun, membawanya ke halaman belakang untuk berjemur. Kaki Darren Arsila sengaja dibuat menyentuh rerumputan halus, membuat Darren menarik kakinya, menatap rumput hijau di bawah dengan bingung. "Kenapa, Sayang?" tanya Arsila sambil tersenyum. Lucu rasanya melihat raut wajah Darren yang penasaran sekaligus takut pada rumput. "Uh, uh, uh!" Darren mengoceh dengan suara tidak jelas. "Dududu." "Rumput." Arsila mengejanya untuk Darren. "Coba bilang, rumput!" "Mamama." "Kakak, panggil, Kakak!" Arsila mengajari Darren cara memanggil dirinya. "Mamama!" "Bukan Mamah, tapi Kakak!" Anak itu menatap Arsila dengan bingung, tidak mengerti apa yang salah. Dia terus mengoceh pada Arsila, memanggilnya mamah. Arsila tidak mempermasalahkan, toh, biasanya anak kecil memang seperti itu. Apa yang keluar dari bibir Darren hanyalah ocehan polos, bukan karena Darren benar-benar menganggapnya sebagai 'mamah'. Setelah menjemur Darren, Arsila kembali masuk ke dalam rumah untuk memandikannya. Anak itu sama sekali tidak takut pada air, Darren malah senang dan berjingkrak-jingkrak, membuat Arsila harus ekstra hati-hati saat memegangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD