CHAPTER-13. PENFOLDS GRANGE.
FREE PRACTICE akhirnya selesai. Brady berhasil menduduki posisi pertama. Setelah hari ini masih aka nada lagi FP 2 dan FP 3, lalu qualifying yang akan diadakan lusa. Brady cukup antusias dengan balapan kali ini, jika sebelumnya ia sempat berpikir untuk tidak terlalu terobsesi dengan sisa balapan yang tersisa karena kemenangan sudah di depan mata, sebaliknya ia justru semakin bersemangat karena kehadiran Midnight.
Midnight… iblis mungil itu dengan cepat membuat dirinya yang dulu tidak mempercayai apa itu cinta mendadak percaya akan hal itu. Cinta… apakah Brady benar-benar telah jatuh cinta? Dan apakah Midnight pantas untuk dicintai?
“Brady…” Midnight menarik tangannya. Bahkan, hanya dengan menyebut namanya saja jantung Brady berdetak tak karuan. “Jangan melamum! Kita datang kemari bukan untuk melihatmu melamun, ‘kan?”
Setelah menyelesaikan rangkaian kegiatannya hari ini, Brady mengajak Midnight untuk pergi ke salah satu sisi dari sirkuit Phillip Island untuk melihat pemandangan laut di bawah mereka. Brady sengaja membawa satu kursi agar bisa menemani Midnight duduk. Pemandangan indah, udara yang segar, serta seorang gadis cantik di atas kursi rodanya membuat perasaan Brady jauh lebih baik. Brady seakan mendapat energy baru untuk memulai hidup yang sudah lama mati sejak meninggalnya Drake. “Aku tidak melamun, Mid.”
“Kau melamun.” Tuduh gadis itu lagi. “Dan kau memandangiku seperti itu.”
“Seperti?” ulang Brady sengaja menggoda gadis itu. “Kau cantik.”
Wajah Midnight merona cantik dan Brady menyukainya. “Apa kau selalu mengatakan hal itu pada semua gadis yang berkencan denganmu, Brady?”
Seolah itu adalah pertanyaan yang cukup sulit, Brady berpura-pura berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Midnight. Pria itu menengadah, memandangi langit yang sebentar lagi akan berubah warna. Sebenarnya tidak sulit bagi Brady untuk menjawabnya karena sejauh Brady nyaris belum pernah berkencan dengan gadis mana pun. Hubungannya dengan para wanita hanyalah sebatas kepuasan seksual, tidak lebih.”
“Brady…” kali ini Midnight mencubit kecil lengan pria itu. “Kenapa kau diam?”
Brady menyengir kuda. “Kau tahu, ibuku sangat cantik. Saat masih kecil, aku selalu berkata. “Mommy, kau cantik sekali. Boleh aku bermain di luar?” seperti itu setiap kali kami di kurung di dalam rumah.”
“Kami?” ulang Midnight.
Brady mengangguk dengan bangga. “Aku dan saudara-saudaraku.”
“Kalian pasti sangat dekat.”
“Ya.” Brady meraih tangan Midnight dan menggenggamnya erat. “Aku anak kedua dari lima bersaudara. Ayah dan ibuku menginginkan anak perempuan, mereka nekat memproduksi bayi setiap tahunnya. Hingga saat adik terakhirku lahir dah ternyata laki-laki, mereka berhenti berusaha.”
“Lima?” ulang Midnight tidak percaya.
“Lima.” Sahut Brady. “Ibuku yang tercantik di rumah kami. Percayalah, kau tidak akan kuat menghadapi keempat saudaraku. Mereka semua menyebalka, berisik dan berbahaya.”
Kalimat terakhir memunculkan tawa kecil dari Midnight. Gadis itu meremas tangan Brady sembari berkata, “Mungkin itulah kenapa kau juga berbahaya.”
“Aku sama sekali tidak berbahaya, Mid.” Brady memajukan wajah, mengecup bibir gadis itu singkat. “Aku tidak bohong saat kubilang kau cantik.” Gumamnya di depan bibir gadis itu.
Midnight mengulurkan tangan, membelai rahang Brady. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Apa?”
“Apa kau selalu mengucapkan hal itu pada semua gadis yang kaukencani?”
Kali ini Brady menggeleng. “Aku hanya pernah berkencang satu kali.”
“Kau lupa bilang kalau teman kencanmu cantik?”
Sebelah alis Brady terangkat, “Aku tidak bilang begitu. Sebaliknya, aku memuja gadis yang sedang kukencani. Dia benar-benar cantik.”
Embusan angin dari laut menerbangkan helaian rambut Midnight. Brady membiarkan rambut Midnight menutupi wajah mereka, ia dengan sengaja menghidu aroma helai sehalus sutra itu. Udara dingin menusuk hingga ke tulang keduanya. Ia menarik tengkuk Midnight lalu mengulum bibir gadis itu dengan semangat menggebu. Seandainya saja mereka sedang tidak berada di area sirkuit, mungkin Brady bisa memberi gadis itu sedikit kehangatan. “Kaulah satu-satunya gadis yang pernah kukencani.” Ujar Brady setelah bibir mereka tak lagi saling bertaut.
Midnight melepas genggaman tangan Brady dan memeluk tubuhnya sendiri. “Dingin.” Gumamnya lirih.
“Mungkin sebaiknya kita pulang.” Usul Brady sembari bangkit dari duduknya. Brady memeriksa sekeliling mereka, tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan Midnight. Ia sengaja mengosongkan area tersebut agak dirinya dan Midnight memiliki privasi. Brady bersumpah pada dirinya sendiri kalau dia akan membuat setiap momen yang mereka miliki berkesan. Waktu mereka di Victoria tidak banyak. Di sela-sela jadwalnya yang cukup padat, Brady ingin meliangkan waktu untuk Midnight dan memberi gadis apa yang pantas ia dapatkan. “Matahari hampir tenggelam dan kau kedinginan, Mid.”
Melihat tubuh Minidght yang semakin menggigil, Brady berinisiatif melepas hoodie yang ia pakai lalu memakaikan pada gadis itu. “Kita benar-benar harus segera pulang. Bibirmu pucat, kau butuh segelas teh atau mungkin coklat panas.”
“Bagaimana kalau aku masih ingin di sini?”
Brady menggeleng tegas. “Tidak. Aku tidak mau mengambil resiko. Kau bisa sakit, Mid.” Brady memasukkan hoodie melewati kepala Midnight. Tangannya tidak sengaja menyentuh salah satu buah d**a gadis itu, Brady meringis, membayangkan ekspresi Midnight. “Maaf.” Katanya sembari mendongak.
“Aku tahu kau tidak sengaja melakukannya. Jangan meminta maaf.”
Ucapan Midnight memunculkan ide jahit di benak Brady, “Bagaimana kalau aku sengaja melakukannya?” bisiknya.
Sembari memasukkan salah satu tangannya ke lengan hoodie, Midnight menyahut. “Kalaupun kau sengaja melakukannya, aku tidak terkejut.”
“Begitu?” akhirnya hoodie tersebut berhasil terpakai di tubuh Midnight. “Bagaimana kalau aku menyentuhnya sekali lagi.” Brady menunduk, kedua tangannya bertumbu di sisi kursi roda Midnight. “Mereka sungguh indah dan kenyal, Mid.”
Midnight justru menggeleng tidak setuju. “Mereka gagal tumbuh dan tidak terlalu menggoda.”
“Ah,” Brady menyatukan kening mereka. “Aku cukup tergoda untuk membawa payudaramu ke mulutku. Kau tahu resikonya, bukan?”
Hanya dengan satu gerakan sederhana Midnight berhasil mengulum bibir Brady. “Aku sudah dewasa, berapa kali harus kukatakan padamu.”
“Kau akan kehilangan apa yang selama ini kau jaga, Cantik.”
“Sekarang aku tahu kenapa Drake melarangku berhubungan dengan orang asing sepertimu.”
“Aku bukan orang asing lagi.” Brady berbisik di telinga Midnight. “Apa alasannya?” Brady membawa lidahnya menyusuri leher jenjang Midnight, ia berhenti saat hampir mencapai d**a gadis itu. “Jika kau tidak beratan aku sampai di titik ini, maukah kau membuka sedikit gaunmu untukku?”
Dengan gerakan elegan, Midnight mendorong d**a Brady pelan. “Untuk urusan ini, kurasa aku butuh privasi.” Ia membelai bibir bawah Brady dengan jemarinya. “Bukan di tempat umum seperti ini.”
“Hotel.” Brady menegakkan pungguh dengan ekspresi tidak suka. “Tapi kakimu belum benar-benar siap untuk itu. Jadi, sebaiknya kita pulang dan menikmati makan malam romantis di restoran ternama di sini.”
“Aku lebih memilih hotel daripada restoran.”
“Kau yakin?” tanya Brady tidak percaya.
“Ya.” gadis itu memelankan suara hingga hanya tersisa bisikan lembut. “Just you and me.
“Deal.”
**
Malamnya, seorang dokter datang untuk memeriksa keadaan kaki Midnight. Brady mengawasi pria berjas putih itu dengan tatapan tidak suka. Sedangkan Midnight, cukup antusias dengan setiap kata yang keluar dari bibir pria itu. “Kau akan segera pulih. Dalam waktu dua atau tiga hari dari sekarang aku akan melepas gips dari kakimu.”
Berita itu membuat suasana hati Midnight semakin membaik. Setelah cervical collar, sebentar lagi ia bisa bergerak bebas seperti orang normal. “Terima kasih.”
“Perlu kau ingat, kau tidak boleh bergerak terlalu banyak. Mungkin setelah aku melepas gips ini kakimu tidak terlalu sakit, tapi jika kau memaksa bergerak itu akan berakibat fatal.” Pria itu berkata lagi.
“Ya.” Midnight mendengar dengan seksama apa saja yang diucapkan oleh dokter tersebut. “Aku akan mengingatnya. Sekali lagi terima kasih, Dok.”
Sang dokter muda itu hanya bisa tersenyum pada Midnight. “Semoga lekas membaik, Mid.”
Midnight membuka mulut, hendak membalas ucapan dokter tersebut tetapi Brady lebih dulu bereaksi. “Kau tidak boleh memanggilnya seperti itu.” ucap pria itu ketus.
Dokter muda itu mengerutkan kening, sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Brady. “Bukankah namanya Midnight?”
“Bukan.” Sahut Brady dengan nada satu oktaf lebih tinggi. “Namanya Emmaline.”
Sang dokter semakin kebingungan. “Emmaline? Sejak kapan dia mengganti namanya?”
“Sejak awal namanya memang-“
“Apa aku harus minum obat tertentu? Kau bisa meninggalkan resepnya di sini. Brady akan membantuku membeli obatnya.” Potong Midnight cepat. Ini kali pertama Midnight melihat Brady marah sejak mereka memutuskan untuk bersama. Sebelumnya Brady selalu bersikap baik kepada siapa pun yang dia temui, kecuali jika hal itu berkaitan dengan Elliot. Brady akan langsung mengambil langkah seribu untuk mengadapi pria itu. “Dan terima kasih karena telah datang malam ini.” Kalimat terakhir adalah perintah untuk dokter tersebut. Midnight ingin dokter itu mengerti maksudnya.
Setelah satu helaan napas, akhirnya dokter tersebut bangkit. “Selamat malam,” ucapnya.
Midnight mendesah lega, ia melihat kepergian dokter teersebut dengan diikuti salah satu pelayannya. Begitu punggung pria itu menghilang di balik pintu, ia mendengar suara Brady dengan nada tidak suka di dalamnya. “Sampai kapan kau melihatnya seperti itu? Dia tidak akan kembali.”
Mengabaikan Brady, Midnight meminta pelayan yang lain untuk meninggalkan dirinya dan Brady berdua saja di kamar mereka. Keduanya mengangguk kemudian bergegas keluar dari secepat yang mereka bisa.
“Mid…” Brady kembali mencari perhatian Midnight. Pria itu menarik pelan tangannya, “Kenapa kau melihat dokter-“
“Ternyata kau menyebalkan kalau sedang cemburu.” Tembak Midnight langsung tepat pada sasaran. Mendengar penuturan itu keluar dari mulutnya, membuat Brady seketika menganga. Pria itu benar-benar tampak terkejut dengan apa yang barusan dia katakan. Jangankan Brady, bahkan Midnight sendiri tidak percaya ia mampu menuduh Brady seperti itu.
Cemburu. Jika memang itu yang dirasakan oleh Brady, Midnight tidak bisa lebih bersyukur dari ini. Meskipun rasanya mustahil seorang Brady Smith menyukai gadis tidak sempurna seperti dirinya. Jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, Midnight tahu betul kalau dirinya jauh dari kata sempurna. Selain bentuk tubuhnya yang jauh dari kata sempurna menurut pandangan kebanyakan pria, wajahnya pun jauh dari kata cantik, tapi di sinilah dia sekarang, memenangkan pertaruhan yang cukup besar karena bisa menghabiskan waktu bersama pria paling digilai oleh kebanyakan wanita.
“Aku-“
“Akui saja kau sedang cemburu pada dokter itu.” Midnight memotong sebelum Brady menyelesaikan ucapannya. “Katakan kalau aku salah.”
Brady tersenyum miring. “Sejak kapan kau pandai menebak?”
“Sejak beberapa menit yang lalu. Dan karena suasana hatiku sedang baik, aku memaafkan sikap kekanak-kanakanmu.” Ucapannya kali ini membuat Brady menggigit bibir bawahnya. Terkutuklah kedua orang tua Brady karena menciptakan pria sesempurna Brady.
“Tebak apa yang ada di benakku saat ini.”
Senyum penuh dosa yang disuguhkan Brady padanya membuat Midnight ingin melempar pria itu ke neraka sekali lagi. “Kau ingin melenyapkan dokter itu dan bercinta denganku.”
“Tepat.” Brady menarik tengkuk Midnight dan mencium gadis itu tanpa ampun.
Astaga, meskipun setiap pujian yang keluar dari bibir Brady hanya sebatas bualan, entah mengapa Midnight begitu menyukainya. Brady mungkin b******k, tapi Si b******k itu benar-benar sudah mencuri akal sehatnya.
Mundurlah sebelum terlambat, Mid.
Dia bukan laki-laki baik-baik.
Brady pembunuh kakakmu.
Brady tidak akan puas hanya dengan satu wanita.
Dia b******k.
Kau sebaiknya menjaga jarak dari pria itu.
Kembali pada rencana awal dan hancurkan dia, Mid.
Kau harus membalas dendam atas kematian Drake.
Brady… sempurna.
Selama berciuman, suara-suara itu terus memenuhi benark Midnight. Ia menyalahkan arguman keliru itu dan membenarkan kalimat terakhir. Brady sempurna. Midnight yakin ia telah terpesona dengan kesempurnaan pria itu. Meskipun rasanya sakit sekali mengingat apa yang terjadi dengan kakaknya, tetapi ia tidak bisa memungkiri apa yang sebenarnya dia rasakan pada Brady. Midnight menginginkan pria itu lebih dari dia menginginkan pembalasan dendam untuk Drake.
Ampuni aku, Drake…
“Sialnya, percintaan kita mustahil terjadi karena kakimu belum sembuh.” Gumam Brady dengan nada kesal di dalamnya.
“Jadi…”
“Aku akan menunggu sampai kakimu sembuh. Mungkin satu minggu lagi. Kau tahu, aku rela menunggu hingga akhir hidupku hanya untuk membuatmu takhluk di bawah tubuhku.” Brady mencium kening Midnight dengan sayang.
“Aku belum pernah mendengar ungkapan seperti itu.” keluh Midnight. Ia melihat Brady turun dari ranjang, “Kau mau kemana?”
“Makan malam kita hampir dingin, Mid.” Brady meraih kursi roda dan membawanya ke dekat ranjang. “Ada perut yang kelaparan di sini.”
“Bukan aku.” Kedua tangan Midnight terulur, meminta digendong oleh Brady. “Aku tidak mau kursi roda.”
Kepala Brady meneleng sedemikian rupa, “Kau yakin?”
“Tapi aku mau digendong.”
“Dasar!” Brady lalu menggendong Midnight ala Bridal Style dan membawa gadis itu ke meja makan. “Anak manja!”
Midnight terkikik di dadanya. “Aku bukan anak Anda, Tuan.” Tawanya semakin meledak karena kalimat yang dia ucapkan sendiri. “Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kau menjadi seorang ayah. Kau pasti ayah yang payah.”
Brady menurunkan Midnight di kursi. “Aku tidak tahu. Kurasa kau benar.”
“Ya. Kau akan menjadi ayah yang sangat-sangat berbahaya, Tuan.”
Brady melirik Midnight tidak suka. “Sekali lagi kau memanggilku ‘Tuan’, aku tidak segan-segan menjadikanmu makanan buaya!”
“Oh,” Midnight memeluk perutnya sendiri. “Aku takut sekali, Tuan.”
“Midnight,” pria itu melipat kedua tangan di depan d**a. “Coba ulangi lagi.”
Melihat ekspresi menakutkan pria itu, Midnight hanya bisa mengangkat kedua tangan. “Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Jadi, apa menu kita kali ini?”
“Lennon menyarankan untuk mencicipi ayam parmigiana Australia. Terbuat dari tepung roti yang di dalamnya berisi irisan daging ayam, dilumuri lelehan keju parmesan dan disiram dengan saus tomat. Apa kau tertarik?” Brady menyendok makanan di piringnya dan memasukkan ke mulut. Setalah beberapa saat pria itu kembali berkata, “Enak. Kau harus mencobanya.”
Sesuai perintah Brady, Midnight menyendok makanan di piringnya. Setelah satu suapan, ia mulai bereaksi. “Enak.”
“Kubilang juga apa,” sahut Brady sambil terus mengunyah.
Mereka terus berbincang selama makan, Brady menjelaskan apa yang akan dia lakukan besok, lusa dan kapan mereka akan meninggalkan Victoria. Di akhir suapan, Brady mengambil sesuatu dari laci dapur dan membawanya kembali ke meja makan. Midnight yang melihat pria itu hanya membawa satu gelas pun akhirnya bertanya, “Apa itu?”
“Wine.” Sahut Brady ringan. “Dan kau tidak boleh mencobanya.”
“Aku sudah 18+, Brady.”
Brady mengabaikan Midnight. “Aku tidak peduli, Cantik. Kau tidak boleh minum alkohol.”
“Baiklah,” Sambil melipat kedua tangan di depan d**a, Midnight menyandarkan punggung. “Apa namanya?”
“Penfolds grange.” Pria itu menuang wine ke dalam gelas lalu menyesapnya perlahan.
Mindight mengangkat dagu, jika Brady bisa mencoba minuman itu, maka dia pun bisa. “Kalau begitu, aku akan membelinya sendiri.”
Mendengar ancamannya Brady hanya bisa mengedikkan bahu. “Tidak tahukah kau, peneliti mengungkap bahwa tak dibutuhkan bergelas-gelas wine untuk membuat seseorang mulai mabuk dan meracau. Satu gelas wine saja ternyata sudah mampu mengganggu kemampuan otak. Hal ini karena wine memutus komunikasi antara dua bagian otak yaitu amygdala dan prefrontal cortex.” Brady berhenti sejenak untuk menyesap anggurnya lagi. “Aku tidak mau melihatmu mabuk, Cantik.”
Midnight mengangguk-anggukan kepala. “Bagaimana jika aku tertarik mabuk bersamamu malam ini?”