Ranupatma Sri Kencana

2017 Words
---**--- Rumah Seto Rahdiansyah, Jakarta, Indonesia., Halaman depan., Pagi hari.,             Hari minggu seharusnya menjadi hari yang sangat dinanti oleh semua orang. Selain bisa beristirahat panjang, juga bisa menghabiskan waktu dengan berleha-leha setelah 6 hari bekerja keras.             Tapi tidak untuk wanita yang akrab disapa Kencana. Dia akan selalu bekerja tanpa memandang hari apapun.             Dia sadar akan posisinya di rumah yang saat ini dia tempati bersama sang Mbah. Kencana tahu mereka pasti akan menerima Mbah yang sangat dia sayangi dengan tangan terbuka, tapi tidak untuk dirinya yang dibiarkan tinggal bersama dengan mereka tanpa beban pekerjaan.             Itu sebabnya Kencana dengan ikhlas membantu pekerjaan rumah serta berjualan membantu perekonomian Paman dan Bibinya yang mau memberinya tempat tinggal. … “Ranu! Kenapa lama sekali nyapunya ?! Bantu aku di dapur!” Teriak seorang wanita dari arah pintu. “Iyah, Bi! Sebentar kenapa sih! Ranu cuma punya dua tangan, dua kaki! Puspa sama Pita kan bisa bantu Bibi dulu!” Dia melirik sekilas ke arah pintu rumah dengan wajah sebal.             Wanita itu menarik nafas dalam-dalam. “Kamu tahu sendiri mereka pemalas! Aku sudah malas menyuruh mereka! Yauda cepat selesaikan nyapunya! Habis itu ke dapur!” Balasnya lalu berbalik badan, masuk ke dalam rumah. “Iya! Iya! Cerewet banget sih!” Jawab Kencana mendengus kesal.             Dia segera menyelesaikan kegiatannya saat ini. Sungguh sangat melelahkan, dia baru saja selesai mencuci pakaian lalu menyapu halaman.             Belum selesai dia menyapu halaman, sang Bibi kembali menyuruhnya membantu di dapur. Bagaimana dia tidak kesal, dua sepupunya justru hanya berleha-leha saja.             Dia tahu kalau Bibinya sudah bosan menasehati dua sepupunya, Puspa dan Pita. Tapi dia juga sangat lelah sekali. Bahkan sejak bangun dari jam shubuh hingga jam 8.30 saat ini, dia juga belum sarapan.             Tapi jika dipikirkan kembali, memang tidak ada yang bisa dia lakukan selain menuruti perintah Bibinya. Demi membalas budi mereka yang sudi memberikan tumpangan hidup untuknya. ..**..             Ranu adalah panggilan masa kecilnya. Ranupatma Sri Kencana adalah gadis desa kelahiran Jakarta, Indonesia. Bukan hanya Ranu yang menjadi panggilannya. Tapi Kencana juga menjadi panggilan akrabnya untuk teman-teman atau pelanggannya yang sudah mengenal dagangan siomaynya.             Tidak sedikit orang-orang mengatakan jika dirinya adalah bukan warga negara Indonesia. Sebab parasnya yang cantik alami dan dua warna bola matanya memang terlihat seperti gadis Eropa.             Apalagi tubuhnya setinggi 1,70 m dan kulitnya yang sangat mulus membuat Kencana sangat cocok menjadi seorang model dewasa. Tidak hanya itu, Kencana juga mampu berbahasa Inggris sebab didikan kedua orang tuanya sejak kecil. Kencana merupakan gadis yatim piatu yang menumpang hidup bersama dengan Paman dan Bibinya yang bernama Seto Rahdiansyah dan Nilam Lestari. Sejak dia menumpang hidup di rumah mereka, dia tidak pernah akur dengan dua sepupunya, Puspa Ananda dan Pitaloka Ananda.             Sejak kecil, Kencana selalu dijaga oleh Mbah putri yang saat ini juga ditanggung oleh Seto dan Nilam. Mbah putri yang sangat dia sayangi, Sri Hariati.             Sebelum kedua orang tua dan Abangnya meninggal dunia akibat kecelakaan maut, Kencana merupakan anak perempuan yang hidupnya serba berkecukupan. Dia memang tidak terlalu akrab dengan kedua orang tuanya yang bekerja di Negeri Paman Sam, Amerika demi mencari nafkah.             Apalagi setelah Abangnya dewasa dan memilih untuk berkuliah serta bekerja di Amerika, Kencana hanya hidup berdua bersama Mbah putrinya. Meski mereka hanya hidup berdua, namun kedua orang tua Kencana selalu mengirim uang untuk biaya hidup mereka di Indonesia.             Kebahagiaan hidup Kencana memudar saat mereka mendapat kabar bahwa kedua orang tua dan saudara laki-lakinya mengalami kecelakaan maut yang membuat mereka meninggal di tempat. Berita itu membuat Kencana syok.             Usianya sudah 20 tahun saat itu. Tentu saja dia sudah bisa berpikir mengenai segala hal yang harus dia lakukan untuk membawa pulang jenazah keluarganya ke Indonesia.             Banyak administrasi yang harus dia selesaikan hingga menghabiskan banyak biaya. Namun sangat disayangkan, uang yang dia punya dari hasil penjualan aset keluarganya juga belum cukup untuk melunasi semua biaya yang tersisa.             Karena pertimbangan yang sudah matang, akhirnya Kencana merelakan jenazah keluarganya disemayamkan di pemakaman New York tepatnya di Green-Wood Cemetery. Kencana bersyukur sebab biaya pemakaman tidak melebihi keuangan yang dia punya.             Sedih yang sangat mendalam membuat Kencana menjadi anak murung saat itu. Sebab dia tidak bisa berjumpa dengan keluarganya disaat terakhir setelah 2 tahun mereka tidak bertemu.             Apalagi dia juga tidak memiliki rumah lagi. Adik dari almarhum Mama Kencana mengizinkan dirinya untuk tinggal bersama dengan mereka. Begitu juga dengan sang Mbah, Sri.             Dia mengakui jika Pamannya sangat baik dan menerimanya dengan tangan terbuka. Namun Bibinya, Nilam terlihat keberatan. Padahal dia adalah keponakannya. Bahkan kedua sepupunya, Puspa dan Pita juga tidak berteman baik dengannya sejak dia tinggal di rumah mereka.             Keadaan Kencana yang baru membuatnya terpaksa menerima segala perlakuan dan peraturan yang dibuat oleh sang Bibi terhadapnya. Dia tidak mengeluh jika harus disuruh ini dan itu setiap hari. Dia juga menerima peraturan mereka untuk ikut berjualan siomay keliling kampung.             Tapi Mbah mereka, Sri. Beliau merasa sedih melihat Kencana yang harus bersusah payah berdagang untuk membantu perekonomian mereka.             Selisih paham selalu terjadi diantara Kencana dan kedua sepupunya. Hal itu membuat Sri selalu membela Kencana yang terlihat dikucilkan.             Kesedihan selalu mendera kehidupan Kencana. Sejak kecil dia jauh dari orang tuanya. Setelah dia dewasa, dia bahkan ditinggal oleh keluarganya untuk selama-lamanya.             Hidupnya yang berubah membuat Kencana menjadi sosok wanita yang tegar dan kuat. Apalagi Paman dan Bibinya menyuruhnya untuk terus melanjutkan pendidikan kuliahnya saat dia hampir berhenti selama 1 semester.             Bagaimanapun keadaannya, Kencana tetap bersyukur sebab Paman dan Bibinya masih mendukung pendidikannya. Lain hal dengan kedua sepupunya yang memilih untuk tidak berkuliah setelah tamat dari pendidikan Sekolah Menengah Atas. …             Saat ini, Kencana tengah menempuh pendidikan Sarjana di salah satu Universitas Swasta terfavorit yang ada di Jakarta. Karena dia berhenti selama 1 semester, membuat Kencana harus mengulang semester sebelumnya hingga dia harus telat 1 tahun dari teman-temannya yang lain.             Tapi karena Kencana salah satu mahasiswa berprestasi dan nilainya selalu lebih unggul, membuat Kencana bisa menyusul teman-teman satu angkatannya. Beasiswa yang dipertahankan oleh Kencana membantu biaya kuliahnya sehingga dia terbebas dari segala administrasi kampus. Bahkan dia juga mendapatkan uang saku setiap 6 bulan sekali.             Pendidikannya sudah memasuki semester 7. Namun dia sudah selesai melakukan penelitian dan menunggu jadwal untuk ujian akhirnya saja. … Dapur.,             Kencana sudah selesai menyapu halaman. Kini dia membantu Bibinya di dapur. Bersama dengan sang Mbah, dia mengiris bunga kol dan berbagai bahan lainnya yang akan dia rebus. “Bi, kentangnya sudah Bibi cuci ?” tanya Kencana sembari mengiris kol.             Nilam yang tengah mengaduk bumbu di meja masak, dia melirik ke arah Kencana yang duduk di lantai bersama Ibunya, Sri. “Belum. Nanti cuci sekalian sama yang lain. Pisahkan aja, jangan dicampur.” Jawabnya kembali memfokuskan matanya pada bumbu siomay yang ada di panci besar itu.             Kencana menganggukkan kepalanya seraya paham. Dia segera menyelesaikan tugasnya dan membersihkan semua bahan-bahan yang akan direbus.             Saat dia tengah membersihkan bahan-bahan untuk direbus, salah satu sepupunya menjerit memanggil namanya. “Ran! Dimana charger ponselku ?!” teriaknya wanita yang usianya sebaya dengan usia Kencana. Dia, Puspa Ananda.             Tanpa menoleh ke arah sumber suara, Kencana menjawabnya. “Di kamarmu.” Jawabnya dengan nada biasa saja.             Puspa mendengus kesal. “Kalau naruh barangku, bisa gak ? Gak usah pakek disembunyiin!” Ketusnya kesal.             Kencana kesal dan dia sangat lelah sekali. Dia malas menjawabnya.             Tetapi Nilam yang mendengar hal itu, telinganya sedikit gatal. Hal yang sama selalu terjadi berulang kali. “Kalian bisa gak ? Kalau naruh barang ditempat yang benar ?!” “Semua asal naruh saja! Kalian pikir rumah ini punya pembantu apa ?!” Nilam berteriak seraya mengeluarkan semua isi hatinya. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya merubah pola pikir dan sikap kedua putrinya agar tidak manja dan tidak semena-mena.             Omelan Nilam didengar oleh anak bungsunya yang bernama Pitaloka Anda. Pita yang berada di teras samping rumah, dia masuk ke dalam rumah sembari membawa piring kotor. “Kenapa sih Mama selalu bela dia! Bela aja terus!!” Pita melirik ke arah Kencana yang menatapnya dengan tatapan sebal.             Sri yang ada disana. Dia merasa jika setiap pagi selalu terjadi keributan. “Kalian apa ndak bisa baik-baik sama Ranu ?” “Kenapa kalian selalu marahi Ranu ?” “Bantu beres-beres rumah pun, kalian ndak mau.” Sri melirik cucunya yang berjalan ke arah wastaple.             Pita mulai berwajah kesal, sebab sang Mbah selalu membela Kencana. “Bela aja terus cucu kesayangan Mbah! Kami kan bukan cucu kesayangan!” Pita justru menjawabnya dengan nada cuek.             Nilam menoleh, melihat sang putri. “Mulutmu, Pita! Mama gak pernah ngajari kamu kurang ajar sama Mbah ya, Pita!” Dia menatap tajam Pita yang sudah berjalan ke arah ruang tamu.             Wanita berusia 55 tahun itu menghela panjang nafasnya. Kepalanya serasa mau pecah kalau melihat sikap dua putrinya yang tidak bisa diajak bicara.             Dia menoleh ke arah Kencana yang masih mencuci bahan-bahan di wastaple. Sepintas, dia melihat ke arah meja makan. Masih ada sebungkus sarapan pagi disana. “Itu bungkusan di meja punya siapa ?” “Ibu uda sarapan belum ?” tanya Nilam berjalan ke arah meja makan, dan membuka bungkusan sarapan yang ternyata berisi nasi uduk kesukaan Kencana.             Sri yang masih duduk di lantai. Dia masih memetik bahan-bahan untuk dihaluskan. Pekerjaan ringan yang biasa dia lakukan untuk membantu mereka di dapur. “Oh iya, Nil. Ranu belum sarapan. Ran … kamu sarapan dulu, nduk …” Sri melirik ke arah Kencana.             Kencana melirik ke arah Mbahnya. “Iya, Mbah. Sebentar lagi siap. Tanggung ini.” Jawab Kencana terus melanjutkan kegiatannya.             Nilam kembali menghela nafasnya. Dia tidak habis pikir keponakanannya itu melewatkan sarapan yang sudah dia beli sejak 1 jam yang lalu.             Sejak jam 4 shubuh dia sudah bangun, bahkan sudah mencuci pakaian. Tapi perutnya belum terisi apapun, pikirnya. “Hey! Sarapan dulu! Biar aku yang lanjutkan!” Nilam berjalan ke arah Kencana, hendak mengambil alih pekerjaannya.             Tak disangka, Kencana justru menyikut tangan sang Bibi dengan raut wajah tidak sukanya. “Ish, Bi! Biar Ranu bereskan dulu! Ini tanggung!” Ketusnya tidak suka.             Nilam merebutnya paksa. “Sarapan dulu! Nanti kalau kamu sakit, aku juga yang repot! Siapa yang bantu aku di dapur!” Dia mulai berkicau lagi hingga membuat Sri pusing. “Ranu … sarapan dulu, Nduk. Ini sudah jam berapa.” Ucapnya meminta pada Kencana untuk menghentikan kegiatannya.             Kencana langsung membersihkannya dengan sigap. “Iya, Mbah. Ini tanggung.” Dia melirik sang Bibi yang masih berdiri tepat di samping kanannya. “Ini sedikit lagi, Bi. Pekerjaan gak boleh dikerjain setengah-setengah.” Ucapnya pelan seraya mengusir halus sang Bibi.             Nilam masih berdiri disana, sembari membantu Kencana meniriskan bahan-bahan yang sudah dicuci. “Udah! Ini sudah beres. Sana sarapan!” Ketusnya lagi dengan bentakan sedikit kasar.             Kencana mendengus kesal dan meninggalkan pekerjaan itu. Dia berjalan ke arah meja makan, menarik kursi, dan duduk disana. Sarapannya sudah tersedia untuknya.             Tapi Kencana merasa tidak sopan jika duduk di kursi. Dia mengambil sarapannya, dan memilih untuk di bawah bersama dengan sang Mbah. “Makan, Mbah. Makan, Bi.” Kencana menawarkan sopan saat dia hendak menikmati sarapannya. “Iya, Nduk. Itu teh manisnya ada disana.” Ucapnya seraya memberitahu Kencana.             Kencana menganggukkan kepalanya sambil mengunyah. “Iya, Mbah. Nanti Ranu ambil sendiri.” Jawabnya lagi.             Nilam melirik Kencana yang duduk dibawah bersama Ibunya. Selesai membereskan bahan-bahan disana, dia berjalan ke arah meja makan dan menuang segelas teh hangat untuk Kencana.             Dia berjalan ke arah mereka, dan meletakkan segelas hangat itu tepat di sisi kiri keponakannya. “Ini minum. Awas kesempar. Nanti pecah!” Nilam meletakkannya sembari melihat wajah lelah Kencana. “Makasih, Bi.” Jawab Kencana lalu meminum teh hangat itu. “Hmm …” Nilam hanya berdehem menjawab kalimat Kencana barusan. Dia kembali berjalan ke arah meja masak untuk melihat bumbu yang tengah dia masak.             Sembari menyiapkan segala bahan-bahan siomay, sesekali Nilam melirik keponakannya berbincang dengan sang Ibu. Kencana terlihat menikmati sarapannya.             Hanya mereka, keluarga yang dimiliki oleh keponakannya itu. Anak dari Kakak satu-satunya. Nilam tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap Kencana. Sebab sejak awal dia menolak keras untuk mengizinkan Kencana yang menurutnya akan membawa kesusahan dan menambah beban hidup rumah tangga mereka. Ekspresi Nilam memandang Kencana memang susah untuk ditebak. Setidaknya Kencana tidak kekurangan apapun di rumahnya. Dan Nilam mengakui, rezeki mereka semakin deras saat mereka menerima Kencana untuk tinggal satu rumah dengan mereka. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, FB)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD