1. Pertemuan Tak Terduga
Wanita cantik itu menatap rambutnya yang sudah dirapikan di depan cermin dari arah ranjangnya, gaun tidurnya yang sedikit melorot di bagian bahu seolah menandakan bahwa dia sudah siap jika pasangannya meminta lebih.
Sayangnya, mereka hanya berciuman dengan sedikit sentuhan ujung jemari di bagian atas tubuhnya, namun ... ketika wanita itu merasa hasratnya meninggi, ketika dia bisa melihat gelembung di balik celana dalam pasangannya.
Pria itu melepas ciuman mereka, menyeka sudut bibir dengan ibu jarinya secara sensual. Senyumnya tampak tipis, namun begitu menggoda.
“Tidurlah, jika kamu membutuhkanku, aku ada di ruang depan seperti biasa,” ucapnya sambil mengusap pipi wanita yang bersemu merah. Sedetik kemudian pria itu turun dari ranjang hangat yang seharusnya menjadi tempat mereka memadu kasih.
Meninggalkan sang istri yang terpaku tak percaya dengan yang terjadi.
Wanita itu merutuki dirinya sendiri. Seharusnya sejak awal dia tak membuat batasan. Kini dia yang bingung bagaimana cara dia menghapus batasan antara dia dan suami yang dikontraknya? Suami yang diminta menikahinya hanya agar dia bisa keluar dari rumah neraka itu.
Seharusnya mereka bisa melakukan yang lebih dari malam pertama itu kan? Mengapa pertahanan pria itu sangat kuat. Apakah karena ada wanita lain dalam hatinya?
(Beberapa bulan sebelumnya)
Ketukan sepatu hak tinggi terdengar berirama di sepanjang lorong kantor yang megah. Para karyawan yang sedang berbincang di sudut ruangan segera merapikan posisi duduk mereka dan berpura-pura sibuk dengan layar komputer. Seorang wanita dengan balutan setelan blazer hitam dan rok pensil yang rapi melangkah dengan percaya diri. Kacamata minusnya bertengger sempurna di wajah, memberikan kesan serius dan tegas.
Avia Maharani, CEO sekaligus pendiri perusahaan e-commerce terbesar di kota ini, dikenal sebagai wanita yang disiplin, perfeksionis, dan tidak pernah mentolerir kesalahan. Karyawannya menyebutnya sebagai “Singa Betina di Ruang Meeting,” bukan hanya karena pembawaannya yang kaku, tetapi juga karena tatapan tajamnya yang mampu membuat siapa pun bungkam.
Siang itu, ia memasuki ruang rapat dengan ekspresi dingin. Di depannya, para manajer departemen sudah menunggu dengan gelisah.
“Bagaimana dengan kandidat baru yang akan mengisi posisi Manager Senior Marketing?” Avia bertanya sambil membuka berkas di depannya. Suaranya tenang, namun tegas. Juga jangan lupakan tatapan tajam matanya dibalik kaca mata yang membuat orang di hadapannya tertunduk gentar.
Manajer HRD, seorang wanita berusia empat puluhan, tersenyum canggung. “Kami telah menyaring beberapa kandidat terbaik, dan salah satunya memiliki rekam jejak yang sangat baik. Saya pikir Anda harus melihat CV-nya sendiri, Bu Avia.”
Avia mengangkat alis. “Siapa namanya?”
Wanita itu menyerahkan sebuah map ke arahnya. Dengan penuh kewaspadaan, Avia membukanya, lalu membaca nama yang tertera di atasnya.
Dirga Adinata.
Detik itu juga, dunia Avia terasa berhenti berputar.
Nama itu membangkitkan kenangan yang telah lama ia kubur. Dirga. Saingan beratnya saat SMA. Laki-laki yang selalu menyainginya dalam segala hal—dari nilai akademik, kepemimpinan di organisasi, hingga penghargaan-penghargaan sekolah. Avia selalu ingin menang, tetapi Dirga tidak pernah mau mengalah.
Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana mereka sering beradu argumentasi di depan kelas, saling menyindir di rapat OSIS, dan bahkan berkompetisi dalam lomba debat tingkat provinsi. Namun, tanpa pernah ia akui, di dalam hati kecilnya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaingan.
Lima belas tahun yang lalu, mereka berdua adalah anak-anak muda yang penuh ambisi dan mimpi. Avia dengan kecerdasannya yang luar biasa, selalu menjadi yang terbaik di kelas. Dirga, dengan sifatnya yang tidak pernah menyerah, menjadi satu-satunya orang yang bisa menandinginya—bukan hanya dalam akademik, tetapi juga dalam segala hal.
Mereka selalu bersaing, saling mengalahkan dalam berbagai ujian, proyek, hingga lomba-lomba. Namun, di balik persaingan itu, ada ketegangan yang lebih dalam, yang Avia tidak pernah berani ungkapkan—perasaan yang lebih dari sekadar sekadar kompetisi. Dirga, bagi Avia, adalah cinta pertama yang tak pernah terucapkan.
Di masa itu, Avia sering kali melirik Dirga, berharap dia akan menyadari perasaan yang ia sembunyikan. Tapi Dirga selalu terlalu sibuk dengan dunia yang tidak melibatkan dirinya. Mungkin, pada saat itu, Dirga memang tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang saingan. Di mata Avia, Dirga bukan hanya saingan, tetapi seseorang yang seharusnya bisa memahami dia lebih dari siapa pun. Namun, pada akhirnya, Dirga memilih pergi, melanjutkan hidupnya ke luar kota tanpa meninggalkan jejak.
Avia terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap ke kota. Kenapa sekarang dia bisa mengingat perasaan yang dulu dikubur dalam-dalam. Sejak dia mencari keberadaan Dirga bahkan sampai ke rumahnya.
Membuat nilainya turun karena mengkhawatirkannya yang tiba-tiba saja pergi. Dan pria itu ... kembali lagi. Apakah dia masih mengingatnya?
Ia menutup map itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kapan dia akan datang untuk wawancara?”
“Sebentar lagi,” jawab manajer HRD. “Dia sudah ada di ruang tunggu.”
Avia menghela napas pelan, lalu berdiri. “Baik. Saya yang akan mewawancarainya sendiri.”
Para manajer saling bertukar pandang, terkejut dengan keputusan Avia. Biasanya, ia hanya turun tangan dalam seleksi direksi atau posisi strategis. Tapi tidak ada yang berani membantahnya.
Dirga duduk dengan santai di ruang tunggu, tangannya sibuk menggulir layar ponselnya. Meskipun penampilannya kini jauh lebih dewasa—dengan jas navy blue yang pas di tubuhnya dan ekspresi percaya diri yang lebih matang—ia masih memiliki sorot mata yang sama seperti dulu. Sorot mata teduh dan senyum khas yang membuatnya tampak hangat.
Saat pintu ruang wawancara terbuka, ia menoleh dan hampir menjatuhkan ponselnya. Avia berdiri di ambang pintu, masih dengan ekspresi dinginnya. Mata mereka bertemu. Seketika, atmosfer di dalam ruangan berubah tegang.
“Silakan masuk, Pak Dirga,” ucap Avia, suaranya terdengar datar.
Dirga tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya. “Sudah lama sekali, Avia.”
“Di sini, aku adalah CEO-mu,” balas Avia dengan tajam. “Bukan teman sekolahmu.”
Dirga terkekeh pelan. “Baiklah, Bu Avia. Mari kita mulai wawancaranya.” Sialnya Avia sangat ingat kekehan dan seringaian Dirga yang sering dilontarkan ketika dia menggoda Avia yang merasa kesulitan menjawab pertanyaan yang memang tak ada jawabannya. ‘Jangan terlalu kaku.’ Kata itu yang selalu diucapkan ketika Avia menulis essay.
Di dalam ruang wawancara, ketegangan semakin terasa. Avia menatap Dirga dengan tajam, sementara laki-laki itu tetap tenang, bahkan terlihat menikmati situasi ini.
“Jadi,” Avia mulai berbicara sambil melirik CV di tangannya. “Mengapa kamu ingin bekerja di perusahaanku?”
Dirga menyandarkan punggungnya dengan santai. “Aku butuh pekerjaan yang stabil. Aku harus menghidupi tiga adikku.”
Sekilas, ekspresi Avia melunak. Namun dia segera menyembunyikannya.
“Dan kamu pikir dengan melamar di sini, kamu bisa mendapatkan pekerjaan itu dengan mudah?”
Dirga menyeringai. “Aku yakin aku cukup memenuhi syarat. Dan sejujurnya, aku penasaran… apakah aku masih bisa mengalahkanmu di sini?”
Avia mengepalkan tangan di bawah meja. “Aku enggak pernah kalah darimu, Dirga.”
Dirga terkekeh. “Kita lihat saja nanti.”
Wawancara itu berlangsung lebih seperti perang dingin. Namun di balik ketegangan itu, ada sesuatu yang bergetar di hati Avia. Ia tidak tahu apakah itu kemarahan, nostalgia, atau… sesuatu yang lain?
***