1. Bos Menyebalkan
Seorang wanita tinggi dengan rambut panjang bergelombang yang indah turun dari mobil tuanya yang sudah terparkir di PT. ABS, Tbk. Perangainya yang cuek dan dingin membuatnya tidak mempunyai banyak teman. Dan itu merupakan keuntungan baginya. Bagi Amelia, tidak ada yang lebih penting daripada putra semata wayangnya, Roni. Kehidupannya sebagai ibu tunggal membuatnya harus bekerja keras untuk putranya dan mengesampingkan kehidupan sosialnya.
Kakinya yang panjang melangkah dengan pasti menuju lift. Matanya menyorot datar. Hanya senyuman tipis dia berikan pada satpam paruh baya yang selalu ramah padanya.
Amelia Rosa namanya. Dia adalah seorang janda berusia 29 tahun yang berpisah dari suaminya empat tahun yang lalu. Dia sudah bekerja selama tiga tahun di sini dan menjabat sebagai salah satu staf sekretaris CEO.
Sejujurnya, dia sudah tidak betah bekerja di sana karena bos besarnya tidak lain adalah seorang penjahat kelamin yang sangat suka berganti pasangan. Ya, Sean Wijaya Putra Ghani, adalah seorang maniak wanita yang membuat Amelia begitu jijik jika harus berada dalam satu ruangan dengannya.
Sebenarnya, Sean sangatlah tampan. Wajahnya terpahat begitu sempurna seakan Tuhan sengaja menjadikannya untuk memanjakan mata para wanita. Sean juga sangat ramah dan cerdas. Hanya dalam satu tahun menjabat CEO, pencapaiannya sudah sangat luar biasa. Bahkan daddy-nya juga mengakui kehebatan Sean! Namun sayangnya, wajahnya yang tampan bersanding dengan senyuman maut yang menjadikan kaki-kaki para wanita begitu mudah lemas. Dan Sean yang cerdas tahu bagaimana memanfaatkan semua keuntungan yang dia miliki.
Menjijikkan!
Amelia baru saja hendak duduk di kursinya saat tiba-tiba saja ponselnya berdering nyaring. Amelia berdecak. Tanpa melihat siapa si peneleponnya, Amelia sudah tahu itu pasti sang CEO. Sebuah nada khusus film horor sengaja diatur hanya untuk panggilan darinya
“Mau apa dia pagi-pagi begini?” pikirnya.
Amelia menatap datar layar ponselnya. Dia memang sengaja tidak langsung mengangkatnya. Dia begitu malas berurusan dengan bos yang suka sekali berganti pasangan itu. Namun Amelia tahu dia masih membutuhkan gaji dari pria itu. Dan Amelia tidak punya pilihan lain selain mengangkatnya.
Amelia mengambil nafas dalam-dalam, menguatkan hatinya sebelum menggeser tombol hijau. “Selamat pagi, Pak.” Suara Amelia sama sekali tidak bersahabat dan tidak bersemangat. Lebih tepatnya, dia tidak pernah bersemangat jika berurusan dengan CEO-nya itu.
“Kenapa lama sekali mengangkat teleponku??” ucap Sean dengan nada dingin. Tampak sekali kalau dia menahan kesal.
“Maaf, Pak, tadi saya baru sampai dan...”
“Tidak usah banyak alasan!!!”
Belum selesai Amelia berkata, Sean sudah memotongnya. Amelia hanya bisa menutup matanya, mencoba meredakan amarah. Dia tahu dia tadi memang hanya beralasan, tapi sungguh tidak sopan memotong kalimat orang lain meski itu bawahannya.
“Belikan saya sarapan! Sebelum pukul delapan sudah harus ada di meja saya,” perintah Sean. Dan tanpa menunggu jawaban Amelia, Sean menutup panggilannya begitu saja.
Amelia menghembuskan nafasnya kuat-kuat, mencoba mengontrol emosinya. Dia hanyalah seorang staf sekretaris, bukan sekretaris utama, apalagi asisten pribadi Sean. Kenapa dia yang disuruh membeli sarapan?
Ini adalah alasan lain kenapa dia begitu membenci Sean. Arogan, egois, diktator, m***m, tukang c***l, penikmat wanita, dan semua yang jelek Amelia alamatkan pada Sean. Amelia bingung kenapa bosnya ini begitu berbeda dengan ayahnya?
Tuan Ghani, meskipun datar dan acuh dengan orang lain, tapi Amelia begitu mengaguminya karena dia tidak pernah terlibat dengan wanita mana pun selain istrinya. Tipe pria yang hangat pada keluarganya tapi dingin dengan orang lain memiliki getaran yang berbeda di mata Amelia. Wanita itu sempat menikmati kepemimpinan Ghani pada dua tahun awal bekerja. Dia merasa begitu nyaman. Namun semenjak CEO diganti oleh sang putra mahkota, Sean, Amelia merasa kantornya seperti neraka.
Wanita yang hampir saja menjatuhkan dirinya di atas kursi kerja itu akhirnya meraih kembali tasnya dan melangkah ke arah lift. Tidak ada pilihan lain.
“Eh, mau ke mana?” tanya Gilang, sang sekretaris utama, di depan pintu lift.
“Beli sarapan untuk bos,” jawab Amelia dengan senyum tipis.
“Kamu nggak capek apa? Biar aku saja yang belikan.” Gilang berusaha membantu Amelia. Dia tahu wanita ini sangat membenci Sean.
Amelia menggeleng. “Tidak perlu. Kita pasti mendapat masalah kalau kau yang berangkat,” jawabnya. Dan Amelia pun langsung masuk ke dalam kotak besi itu lalu memencet tombol tutup.
Gilang yang mendengar kalimat Amelia langsung tersenyum lebar. Baginya, itu seperti Amelia sedang mengkhawatirkan dirinya akan mendapat masalah dari sang bos. Namun kenyataannya, Amelia sebenarnya hanya memikirkan dirinya yang pasti akan mendapat tugas tambahan dari Sean dan membuatnya terlambat menjemput buah hatinya. Amelia jelas tidak ingin putra kesayangannya menunggu terlalu lama.
Setelah perjuangan panjang menembus hiruk pikuk jalanan Jakarta pagi ini, Amelia akhirnya berhasil membeli semua menu sarapan kesukaan Sean, nasi hangat dengan telur balado atau daging dan sayur atau sup miso. Ya, semua sekretaris dan stafnya harus tahu apa yang disukai dan tidak disukai Sean. Untungnya, menu-menu itu tidak sulit dijumpai di Jakarta ini.
Pribadi Sean yang suka memberi tugas dadakan itu mengharuskan meja sekretaris selalu dijaga. Dia akan marah besar jika tidak ada satu pun dari sekretarisnya yang stand by. Selain itu, perusahaan yang sudah menancapkan akarnya ke penjuru Asia itu mempunyai segunung tugas dan dokumen. Itulah sebabnya sekretaris utama Sean membutuhkan bantuan dua orang lagi. Sean pun memakluminya. Selain sekretaris, Sean juga dibantu oleh satu asisten pribadi, Budi. Seorang pria berusia 27 tahun lebih muda tiga tahun darinya, begitu sabar dan efektif menghadapi tingkah Sean. Satu-satunya yang mampu bertahan sampai satu tahun bekerja langsung di bawah Sean.
Amelia kembali memasuki gedung ABS, Tbk dengan langkah lebar pukul delapan kurang tujuh menit. Dalam hati, dia berharap dia bisa sampai tepat waktu meski dalam hati dia meragukannya.
Saat-saat seperti ini, kenapa Amelia merasa lift seakan sedang turun dari angkasa? Lama sekali terbukanya. Dan saat pintu itu terbuka, Amelia tidak membuang waktu untuk memasukinya.
Di dalam lift, Amelia berkali-kali melirik jam tangannya. Kurang tiga menit lagi jam delapan. Dia sudah tidak sabar sampai di depan ruangan Sean. Dia hanya takut Sean akan marah dan memberinya tugas tambahan lain dan menyuruhnya lembur. Dia akan terlambat menjemput Roninya.
Amelia mengetuk-ketuk lantai, berharap kecepatan lift meningkat tiga kali lipat, tapi itu jelas tidak mungkin. Amelia mendesah. Dalam hati dia mengutuk ruangan CEO yang berada di lantai paling atas. Seandainya ruang CEO hanya berada di lantai dua atau tiga, Amelia yakin dia tidak akan terlambat. Akhirnya setelah menunggu lama, pintu pun terbuka.
Amelia bergegas menuju ruangan Sean, mengetuknya sebentar, dan tanpa menunggu jawaban dia langsung masuk. Kotak-kotak berisi sarapan Sean dia tata di atas meja tamu. Tadi, Amelia membelikan telur balado dengan tumis kangkung. Dia juga sengaja membeli empal daging sebagai tambahan lauk.
“Kau terlambat!” Sebuah suara bariton membuyarkan konsentrasi Amelia menata meja.
Wanita satu anak itu menoleh dengan cepat. Sean ternyata sudah berdiri di dekat meja kerjanya dengan pakaian rapi. Wangi sabun dan parfum memenuhi indra penciuman Amelia. Rambut Sean yang sedikit basah membuatnya yakin kalau Sean baru saja mandi dan itu berarti pria ini menginap di ruang pribadinya di sini semalam.
Amelia yang sempat terkejut, kini sudah memasang kembali wajah datarnya. Dalam hati, dia sempat merasa tersentuh dengan semangat kerja Sean hingga rela menginap di kantor.
“Maaf, Tuan, tapi saya masuk ruangan ini sebelum pukul delapan,” jawab Amelia. Matanya menatap datar ke arah Sean.
Sean memicingkan matanya. Dia sangat terganggu dengan wajah Amelia yang tidak mempunyai ekspresi itu. Di saat banyak wanita begitu ingin menggodanya, janda satu ini tidak pernah satu kali pun menunjukkan ekspresi lain selain wajah datar. Sean melangkah perlahan mendekati Amelia.
Amelia bergeming. Dia sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh aura Sean. Rasa benci dan jijiknya begitu mendominasi.
Hanya tersisa satu jengkal lagi antara Sean dan Amelia. Jarak mereka begitu dekat hingga masing-masing dari mereka mampu mengenali wangi parfum keduanya. Kedua orang itu saling tatap, berusaha mempengaruhi lawannya. Sean menatapnya dingin dan Amelia tetap setia dengan wajah datarnya. Hal ini semakin membuat Sean geram.
“Kau terlambat karena aku bilang kau terlambat!” ucap Sean dingin, sangat dingin hingga Amelia hampir saja ketakutan. Namun sayangnya Sean gagal.
Amelia hanya menatap Sean tanpa kedip dan tanpa ekspresi. “Sialan!! Dia memang ingin mencari gara-gara denganku,” batin Amelia.
Sean begitu geram dengan wanita satu ini. Dia begitu ingin mendepaknya, tapi kinerjanya sangat profesional dan selalu melebihi ekspektasi. “Aku bilang sebelum pukul delapan dan kau baru tiba pukul delapan. Kau terlambat!”
“Maaf, Tuan, sejauh yang saya tahu, saat itu saya masih punya satu menit sebelum pukul delapan. Anda bisa mengecek CCTV,” jawab Amelia tanpa takut.
Takut pada Sean? Untuk apa? Amelia tidak akan takut atau segan padanya selama dia tidak bersalah.
Sean mengetatkan rahangnya. Stafnya yang satu ini memang sangat suka membantah.
Saat suhu ruangan semakin memanas, tiba-tiba pintu ruang istirahat Sean terbuka. Seorang wanita cantik dan seksi keluar dari sana. Wajahnya oval dengan rambut lurus yang indah. Amelia iri dengan rambutnya itu.
“Wah, kau sudah membeli sarapan?” Wanita itu sangat bahagia melihat banyaknya makan di atas meja. Amelia yakin wanita itu pasti kelaparan setelah semalaman menemani Sean. Ternyata bosnya ini menginap di kantor dengan seorang wanita panggilan. Menjijikkan!
Baru saja kaki indah wanita itu melangkah, Sean sudah menegurnya. “Keluarlah! Kau sudah tidak dibutuhkan lagi. Aku hanya menyewamu sampai pukul delapan dan sekarang sudah lebih sepuluh menit.”
Sean sungguh tega mengusir wanita yang sudah menemaninya semalaman tanpa memberinya makan. Amelia merasa kasihan padanya.
Wanita itu sempat mengerucutkan bibirnya. Dia benar-benar lapar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia memang disewa sampai pukul delapan. Dan sarapan tidak termasuk dalam perjanjian.
Dengan kesal, wanita cantik itu meninggalkan ruangan Sean. Suara sepatunya yang nyaring perlahan menghilang.
“Ternyata Anda begitu kelaparan setelah malam panas hingga tidak ingin terlambat sarapan,” ujar Amelia dengan senyum miring. Rasa bencinya pada Sean semakin besar.
Sean mengatupkan rahangnya. Dia ingin marah, tapi yang dikatakan Amelia benar. Dia sangat kelaparan.
“Apa kau juga ingin menghabiskan malam denganku dan bangun dengan perut lapar? Aku bisa mengatur waktu untuk itu,” ucap Sean enteng disertai seringai.
“Sampai kapan pun Anda tidak akan bisa membuat saya bertekuk lutut,” sahut Amelia dengan tangan terkepal. Meskipun dia janda, tapi dia tidak akan membiarkan sembarang pria menyentuhnya.
Namun jawaban Amelia justru memberikan motivasi tersendiri bagi Sean. “Aku akan sangat menantikan saat-saat suara datarmu itu menjadi desahan saat kau berada di bawahku, Amelia. Aku penasaran bagaimana wajah tanpa ekspresi itu mendamba sentuhanku,” bisik Sean tepat di telinga Amelia, memberikan sensasi menggelitik yang membuat seluruh rambutnya meremang. Jantungnya bereaksi, mengirim ribuan liter darah ke seluruh tubuhnya, membuatnya berdegup dua kali lebih kencang.
Lalu Sean menegakkan tubuhnya begitu saja, berbalik, dan berjalan menuju sofa, meninggalkan Amelia dalam kekosongan untuk beberapa saat.
“Keluarlah! Aku akan mulai sarapan.”
Dan kesadaran Amelia langsung kembali. Tangannya terkepal erat. “Dasar bos menyebalkan!!!!” pekiknya dalam hati.