Bab Lima

1409 Words
Semalaman Evan merenung. Memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Haruskah, berhenti mengejar Ciara. Sesuai permintaan wanita itu. Atau kah, tetap nekat mencoba mendekati. Dan, setelah berkali-kali memikirkannya. Pilihan Evan jatuh pada, tetap berusaha mendapatkan Ciara kembali. Tak peduli, meski wanita itu sudah melarangnya. Tak peduli, jika akhirnya ia akan ditolak berkali-kali. Tak peduli, jika akhirnya ia merasa sakit. Karna bagi Evan. Tak ada wanita lain di mata dan hatinya selain, Ciara. Tekad Evan, bulat. Tak peduli, jika jalan yang akan ia tempuh sulit nantinya. Pagi ini, Evan tak sengaja berpapasan dengan Ciara di depan lift. Senyum cerah terkembang di bibirnya. Segera, ia menyapa wanita itu riang. "Pagi, Ciara." Semua orang, yang sedang menunggu lift. Sontak saja menoleh ke arah Evan. Mereka tentu heran, melihat Evan begitu ramah pada karyawan perempuan. Evan memang ramah. Tapi, tak seramah itu pada perempuan. Biasanya, pria itu tetap menjaga jarak pada perempuan. Bahkan, kadang terkesan cuek. Namun demikian, sikapnya yang seperti itu justru sangat digilai banyak perempuan. Menurut banyak perempuan, sikap yang seperti itu menunjukkan bahwa, Evan bukan pria yang mudah tebar pesona. Meski banyak wanita yang mengejarnya. Namun, ia pasti akan tetap setia pada pasangannya. Maka dari itu, banyak yang berharap bisa mendapat sedikit saja perhatian dari pria itu. Walau banyak dari mereka yang harus menelan pil pahit, kala ditolak oleh Evan. Ciara, yang diperhatikan oleh banyak orang. Mau tak mau menjawab salam Evan dengan terpaksa. "Pagi juga, Mas," sahutnya sambil sedikit membungkukkan tubuh. Mendengar Ciara menjawab salamnya. Evan mengerti, bahwa sepertinya wanita itu menjaga sikapnya di depan orang banyak. Dan ia, akan menggunakan hal itu untuk mengambil kesempatan berbicara pada Ciara. Evan yakin. Ciara pasti akan tetap menjawabnya, meski sebenarnya wanita itu tak ingin. "Udah sarapan, Ra?" Kini, mereka sudah masuk ke dalam lift. Evan sengaja, sedikit mendorong Ciara saat masuk ke dalam tadi. Hingga, mereka kini berdiri di belakang secara bersisian. "Udah," jawab Ciara singkat. Sungguh, rasanya Ciara ingin keluar dari lift secepatnya. Dan terbebas dari Evan. "Yah. Kirain belum. Baru aku mau ajak sarapan bareng." Raut wajah Evan, ia buat sesedih mungkin. Berusaha menarik rasa simpati Ciara. Yang sayangnya, tak berpengaruh apapun pada wanita itu. Saat mereka sampai di lantai tujuan. Ciara segera keluar dari lift agar bisa segera menjauh dari Evan. Secepat Ciara berjalan. Secepat itu pula Evan menyusulnya dan berjalan di samping Ciara. "Kok, buru-buru banget sih, jalannya." Evan mensejajarkan langkahnya dengan Ciara. Ciara berhenti. Begitu juga dengan Evan. Kemudian, wanita itu menengok ke sekeliling. Memastikan bahwa kondisi sekitar mereka sepi. Agar tak ada orang yang mendengar ucapannya. "Aku udah bilang ke kamu kemarin, No. Jangan coba-coba buat mengejar aku kembali," ucap Ciara penuh penegasan. Evan hanya memandang Ciara. Tanpa menjawab. Tak mendapat jawaban dari Evan. Ciara memilih untuk pergi meninggalkan Evan. "Aku ga peduli, meski kamu udah melarang. Sekeras apa pun, kamu melarang. Sekeras itu juga aku akan berusaha mendapatkan kamu kembali." Ciara berbalik, menatap Evan dengan mata merah. Juga, air yang menggenang di sana. "Aku, ga pantes lagi buat kamu, No." Sebulir air mata, mengalir di pipi Ciara. Evan tertegun, melihatnya. Otaknya tiba-tiba kosong saat melihat ekspresi wajah Ciara yang tak ia duga sebelumnya. Bahkan, ia juga masih diam saat Ciara sudah pergi meninggalkannya. Beberapa menit setelah Evan tersadar. Ia, membelokkan langkah kakinya menuju kantin. Ia rasa, ia butuh sesuatu yang dapat menjernihkan pikirannya saat ini. *** Di kantin, Evan melihat Zaid dan Iksan sedang mengobrol. Ia pun, memutuskan untuk mendekati keduanya. Zaid terperanjat, saat Evan tanpa suara duduk di sebelahnya. "Ngagetin aja lu, Van." Evan hanya diam. Tak menanggapi ucapan Zaid. Bahkan kini, ia menatap kosong ke depan. Iksan melambaikan tangan di depan wajah Evan. Sedang Zaid. Mengguncang tubuh Evan pelan. "Lu kenapa, sih?" tanya Zaid yang heran melihat sikap Evan pagi ini. "Kalian inget, kan. Gue pernah bilang kalau gue belum move on dari mantan?" Iksan dan Zaid, kompak menganggukkan kepalanya. "Mantan gue itu, Ciara." Evan merebahkan kepalanya di meja kantin. Zaid dan Iksan saling pandang satu sama lain. "Maksudnya, Ciara yang jadi bawahan lu sekarang?" tanya Iksan memastikan. Anggukkan kepala Evan, menjawab pertanyaannya. Keduanya diam. Tak menyangka jika mantan Evan begitu dekat. "Gue mau ngajak dia balikan. Tapi, dia udah ngelarang gue duluan buat deketin dia lagi," ucap Evan lemah. "Lu, udah tanya alasan kenapa dia ngelarang?" Kini, giliran Zaid yang bertanya. "Dia bilang. Dia udah ga pantes buat gue." Zaid menepuk pundak Evan pelan. Isyarat, untuk menguatkan lelaki itu. "Kalau menurut gue ya, Van. Mungkin, lu bisa cari tau dulu alasan kenapa dia bilang dia udah ga pantes buat lu, dulu. Kalau misal jawabannya masuk akal. Ya, mending lu hargai inginnya dia buat ga dideketin sama lu, lagi." Evan langsung menegakkan badannya, setelah mendengar saran dari Iksan. Benar, apa yang Iksan bilang. Harusnya, ia cari tau dulu alasan Ciara menolaknya. Sebelum ia nekat mendekati wanita itu. Siapa tau, dengan mengetahui alasannya. Evan justru bisa menemukan celah untuk bisa meluluhkan hati Ciara kembali. Evan menjabat tangan Iksan erat. "Makasih banyak, Bro. Saran dari lu, bener-bener berguna banget buat gue." Evan pun, bangkit berdiri. Menepuk pundak Zaid. Ia, berpamitan pada kedua temannya tersebut. Evan menyusun rencana, untuk mengunjungi rumah Ciara malam ini. Namun, ia tak akan memberitahukan perihal rencana kedatangannya itu pada Ciara. Biar saja, menjadi kejutan bagi Ciara. Dengan hati yang sedikit lega. Evan akhirnya bisa kembali ke ruangannya, dan menatap Ciara kembali. "Tunggu aja, Ra. Kali ini, aku ga akan pasrah aja dengan keputusan yang kamu buat," gumam Evan pelan. *** Malam pun, tiba. Sesuai rencana. Evan mengunjungi rumah Ciara malam ini. "Assalamu'alaikum." Evan sedikit berteriak dari luar pagar. Tak lama, keluar seorang wanita paruh baya, yang sangat Evan kenal. "Siapa, ya?" tanya wanita tersebut. Setelah ia membuka pintu. Mata wanita itu melebar, melihat Evan di hadapannya. "Assalamu'alaikum, Wak." Evan meraih tangan wanita itu, lalu menciumnya takzim. "Wa'alaikumsalam. Ya Allah, Ano. Apa kabar, No?" Wanita paruh baya, yang Evan kenal bernama Khadijah, bibi dari Ciara itu, membawa Evan dalam pelukannya. "Alhamdulillah baik, Wak. Uwak sendiri, gimana kabarnya?" pelukan itu merenggang. Namun, jarak mereka tetap dekat. "Uwak juga, alhamdulillah baik. Kamu kok, baru main lagi, sih?" "Kirain Ano. Uwak, udah ga tinggal di sini, lagi. Makanya, ga pernah mampir lagi." Khadijah memandang Ano sambil tersenyum. "Eh. Yuk, masuk dulu. Wak Rahmat ada di dalem lagi ngopi. Kamu, mau kopi juga?" tawarnya, yang langsung diangguki Evan. Pria itu juga, rindu dengan kopi buatan Khadijah, yang memiliki rasa dan aroma yang khas. Keduanya berjalan bersisian ke dalam. Dan, saat sampai di dalam. Dapat Evan lihat, Rahmat sedang menonton berita sambil ditemani secangkir kopi hitam. "Assalamu'alaikum, Wak," sapa Evan, yang langsung mengalihkan fokus Rahmat. "Wa'alaikumsalam." Rahmat menegaskan penglihatannya sejenak. "Ano? Bener, Ano?" tanyanya memastikan. "Iya, Wak. Ini, Ano." Evan berjalan mendekati Rahmat. "Masyaallah. Makin ganteng aja kamu, No." Rahmat mempersilahkan Evan duduk di sampingnya. "Mah, bikinin Ano kopi. Cepet," pinta Rahmat bersemangat. Wajar, jika mereka begitu senang dengan kedatangan Evan. Karna memang, hubungan mereka sangat dekat dulunya. Khadijah, merupakan kakak dari ibunya Ciara. Ia dan Rahmat, tak memiliki anak selama pernikahannya. Untuk mengadopsi anak pun, keluarga mereka semua menentang habis-habisan. Alasannya, mereka tak ingin Rahmat dan Khadijah mengasuh anak yang tak jelas asal-usulnya. Terlebih, banyak dari anak yang dibuang merupakan anak hasil diluar pernikahan. Padahal, Khadijah dan Rahmat sudah meyakinkan. Bahwa, tiap anak terlahir suci. Terlepas dari siapa pun orang tua mereka. Dan, dari jalan seperti apa pun, mereka lahir. Khadijah yakin. Jika, mereka bisa mendidik anak itu dengan tepat. Maka, anak itu akan tumbuh dengan perilaku yang baik. Namun tetap saja, keluarga mereka melarang sangat keras. Untuk itu lah, Khadijah dan Rahmat mengurus Ciara. Sejak Parto, ayah Ciara, meninggal dunia saat Ciara kelas satu SMP. Keduanya sepakat, mengurus Ciara agar Laila, ibu Ciara, tak menanggung beban terlalu berat. Karna, Ciara masih memiliki adik laki-laki yang masih berusia tujuh tahun saat itu. "Kamu gimana kabarnya, No?" tanya Rahmat. "Alhamdulillah baik, Wak. Uwak juga sehat, kan?" tanya Evan balik. "Alhamdulillah. Uwak juga baik, No." Rahmat menepuk lengan Evan pelan. "Eh, kamu udah nikah, belum? Ga kedengeran kabarnya sama sekali." Evan tersenyum kecut. Mengingat status jomblonya saat ini. "Belum, Wak. Belum ada yang mau sama saya." Rahmat tertawa. Rasanya mustahil, tak ada wanita yang mau bersama lelaki seperti Evan. Terlebih, pribadi Evan sangat baik menurut Rahmat. "Kali aja, Uwak punya keponakan yang mau sama saya," lanjut Evan bergurau. Meski, terselip harapan serius di dalamnya. Bersamaan dengan Evan mengucapkan kalimat itu. Ciara memasuki ruang televisi, di mana Rahmat dan Evan tengah berbincang. Seketika, tubuh Ciara menegang demi melihat sosok Evan yang tengah duduk di samping Rahmat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD