Ini malam Minggu. Dan, Evan memutuskan untuk berkunjung kembali ke rumah Khadijah. Siapa tau, ia bisa berjumpa dengan Ciara di sana.
Rumah Khadijah dan Laila, ibunya Ciara, masih dalam satu pekarangan yang sama. Rumah tersebut, merupakan warisan dari kedua orang tua mereka. Dalam satu pekarangan, terdapat tiga rumah yang terpisah. Rumah Khadijah di bagian tengah. Rumah Laila di bagian kiri. Sedangkan di bagian kanan, milik kakak lelaki mereka yang bernama Syahril. Syahril tak tinggal di sana. Ia, menetap di kota Palembang bersama anak dan istrinya. Hanya sesekali saja, ia berkunjung ke rumah itu.
Rumah itu pun, jarang kosong. Karna mereka sering menyewakan rumah tersebut pada orang-orang, yang sekiranya mampu merawat rumah itu dengan baik. Untuk dijual, tidak akan mungkin. Karna, wasiat dari kedua orang tua mereka adalah, merawat rumah tersebut dan tak boleh dijual meski mereka tak tinggal di sana.
Sudah lebih dari lima belas menit, Evan duduk di depan Rahmat. Fokusnya kini, berada di papan catur di hadapannya. Memegang kuda, ia mengarahkan bidaknya untuk berpindah kotak. "Skak," ujar Evan penuh kemenangan.
Rahmat merasa kesal, karna harus kalah dari Evan. Meski demikian, ia tetap merasa senang karna akhirnya bisa bermain catur lagi dengan Evan seperti dulu.
"Uwak akui, No. Makin jago aja kamu sekarang mainnya." Keduanya membereskan bidak mereka masing-masing. Lalu, memasukkannya kembali ke dalam papan catur.
Evan tertawa. "Iya dong, Wak. Sengaja. Biar bisa sering-sering ngalahin Uwak." Keduanya tertawa bersama.
"Wak. Ano numpang ke kamar mandi sebentar, ya?" ijin Evan, yang langsung diiyakan Rahmat.
Sedikit berlari kecil, Evan menuju ke kamar mandi. Ia sudah menahan rasa ingin buang airnya, sejak bermain catur tadi.
"Ah ... Leganya," ucap Evan, saat keluar dari kamar mandi.
Baru beberapa langkah dari kamar mandi. Evan berpapasan dengan Ciara, yang sedang berada di dapur.
Ciara terkejut, melihat Evan di hadapannya. Sedang Evan, justru sangat senang melihat Ciara.
"Eh, Ara. Lagi apa, Ra?"
Ciara membuang muka. Lalu, memilih untuk meninggalkan Evan.
Sayangnya. Rencana itu tak berhasil, karna Evan menahan lengannya.
"Bisa, ga? Kamu jangan acuhin aku kaya gini?"
Ciara berbalik menatap Evan. "Ga, bisa," jawaban yang tegas, Ciara berikan.
"Minimal, ijinin aku buat jadi temen kamu dulu."
Ciara melepas pegangan tangan Evan di lengannya. "Kenapa kamu segitu berusahanya sih, No? Ga bisa kah, kamu menyerah dan mengejar wanita lain?" tanya Ciara frustrasi.
Evan mengusap kasar wajahnya. "Andai aku bisa. Sekarang ini, mungkin aku udah nikah sama cewe lain, Ra," jawab Evan tak kalah frustrasi. "Nyatanya. Aku ga bisa ngelupain kamu. Aku ga bisa cari pengganti kamu. Hatiku, ga bisa berdebar buat cewe lain selain kamu. Aku udah mati rasa sama cewe lain," lanjutnya.
Ciara menutup wajahnya. Lalu, terlihat bahunya berguncang kecil.
Lagi-lagi, Evan melihat Ciara menangis.
Tak tahan. Evan pun, menarik Ciara ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya lembut. Demi menenangkan wanita itu.
Ciara yang tersadar, segera mendorong tubuh Evan menjauh darinya.
"Aku, bukan wanita yang pantas lagi buat kamu, No." Lagi. Ciara ingin meninggalkan Evan. Namun, kembali Evan cegah. Ia, butuh penjelasan lebih rinci.
"Kasih aku alasan yang lebih jelas, Ra. Kenapa kamu ga pantes lagi buat aku?"
Ciara hanya menangis. Dan, semakin pilu tangis yang ia keluarkan. Evan jadi bingung sendiri. Ada apa sebenarnya dengan Ciara.
Khadijah, yang sebenarnya sejak tadi mendengarkan semua percakapan keduanya, namun memilih untuk tetap diam menunggu di samping, masuk ke dapur dan meraih Ciara ke pelukannya. Lalu, membawa wanita itu pergi bersamanya.
Evan masih berdiri mematung. Kakinya, terasa sulit untuk digerakkan.
Rahmat datang, dan menepuk pundaknya pelan. "Sebaiknya, kamu pulang dulu, No."
Tanpe membantah. Evan melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu, setelah sebelumnya ia sempat mencium takzim tangan Rahmat untuk berpamitan.
***
Senin pagi, Evan dikejutkan dengan adanya tas bekal di meja makannya. Tak ada yang mengakui bekal tersebut di ruangannya. Yang artinya, bekal itu memanglah untuknya.
Evan terperangah, begitu melihat isi kotak bekal tersebut. Tampilannya sangat cantik. Persis, seperti kotak bekal yang sering ia tonton di kartun Jepang saat ia remaja dulu. Di bagian dalam tas tersebut, yang tertutup kotak bekal, terdapat secarik kertas yang berisi catatan.
Selamat pagi, Mas Evan...
Ini salah satu bentuk ungkapan terima kasih aku ke Mas Evan. Karna Mas Evan udah banyak bantu aku pas sakit kemarin.
Selamat menikmati ya, Mas.
Tertanda, Naya.
"Padahal, dia sakit juga gara-gara gue. Ngapain malah ngasih makanan segala," gumam Evan, sambil memperhatikan secarik kertas tersebut.
"Uwih ... Cantik banget bekelnya, Mas." Lili yang baru saja masuk ke ruangan, terkagum dengan tampilan bekal Evan. Hal itu, membuat Andin jadi tertarik untuk melihat juga.
"Wah ... Iya. Beneran cantik banget, ini. Kayanya, dari orang yang istimewa ya, Mas?" Andin beralih memandang Evan.
Evan menggeleng. "Bukan, kok. Ini cuma bentuk ucapan terima kasih aja."
Lili mencebik. "Begini, ya, Mas Evan yang ganteng seantero kantor tapi jomblo abadi sampai saat ini." Kini, giliran Evan yang mencebik mendengar julukan yang semua temannya sematkan untuknya, diucapkan oleh Lili. "Yang namanya orang, kalau ngasih makanan home made. Apalagi ditata sampai secantik ini. ga mungkin kalau, dia ga nyimpen perasaan apa-apa sama Mas Evan." Lanjut Lili menjelaskan.
Sebenarnya, tanpa Lili menjelaskan, pun Evan sudah tau jika Kanaya menaruh perhatian lebih padanya. Apalagi, ketika kemarin ia menemani Kanaya ke klinik sampai pulang ke rumah. Gerak-gerik wanita itu sangat mudah dibaca oleh Evan. Namun, Evan sengaja mengabaikannya. Bersikap seolah ia tak tau perasaan Kanaya terhadapnya.
Evan melirik ke arah Ciara, yang tengah menundukkan wajahnya. Entah kenapa, Evan jadi tak enak hati pada pujaan hatinya itu.
Evan menyodorkan bekal tersebut pada Lili dan Andin. Keduanya, sontak menatap Evan penuh tanya.
Evan yang paham dengan arti tatapan keduanya, pun membuka suara. "Buat kalian aja."
Kedua wanita tersebut kompak menggeleng. "Ini dibikin khusus buat Mas Evan. Ga baik kalau Mas Evan memberikan bekel itu ke kami."
Andin mengangguk, setuju dengan ucapan Lili. "Sebagai wanita. Aku ngerti gimana rasa kecewanya orang yang ngasih bekel ini buat Mas Evan. Kalau sampai, Mas Evan kasih bekel ini ke kita."
Kedua wanita itu kembali ke meja mereka masing-masing, setelah dengan tegas menolak pemberian Evan.
Evan, semakin tak enak hati jadinya. Mau tak mau, ia harus menerima bekal makannya.
"Aku ga tau, kalau ada yang mengirim bekal ini untukku."
Satu pesan, Evan kirimkan untuk Ciara. Sebagai cara pria itu untuk menjelaskan tentang bekal tersebut.
"Bukan urusanku."
Evan mengusap wajahnya kasar, saat balasan dari Ciara masuk ke ponselnya.
Kembali, Evan melirik Ciara yang terlihat acuh padanya. Bahkan, wanita itu sepertinya sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya. Dilihat dari cara tangan wanita itu bergerak lincah di depan laptop. Seolah, bekal yang Evan dapatkan bukanlah hal yang dapat menganggu konsentrasinya.
Sesaat Evan berharap, kiriman bekal yang ia dapat bisa menganggu pikiran Ciara barang sedikit saja. Untuk membuktikan bahwa, masih ada sedikit saja perasaan yang Ciara miliki untuk Evan. Namun sepertinya, harapan Evan sirna setelah ia melihat ekspresi Ciara, yang tak berubah sedikit pun. Wanita itu, terlihat biasa saja. Seperti biasanya.
***