01 - Firasat buruk Brian.

2981 Words
Hari ini, jauh lebih cerah dari hari sebelumnya yang di guyur hujan deras. Brian sedang fokus menonton siaran berita di televisi ketika ponselnya tiba-tiba bergetar, dan tak lama kemudian berdering. Atensi Brian seketika tertuju pada ponselnya yang berada di atas meja. Brian meraih ponselnya, segera membuka pesan yang baru saja di kirimkan oleh supir pribadi Devina, Markus. Tadi pagi, sebelum Markus pergi mengantar Devina ke kampus, Brian memang meminta agar Markus tidak langsung pergi meninggalkan kampus Devina. Brian meminta agar Markus menunggu Devina sampai selesai kuliah, lalu begitu Devina selesai kuliah, Brian meminta agar Markus mengikuti Devina secara diam-diam. Kemarin malam, Devina meminta izin pada Brian kalau hari ini, setelah selesai kuliah, Devina ingin belajar bersama dengan teman-temannya di sebuah cafe. Meskipun berat, tapi pada akhirnya, Brian memberi Devina izin untuk pergi bersama teman-temannya. Brian berdecak, tak menyangka jika tebakannya benar. Ternyata, Devina memang memiliki seorang kekasih. Pantas saja beberapa bulan belakangan ini Devina menunjukkan gelagat mencurigakan. Beberapa bulan belakangan ini, intensitas Devina dalam bermain ponsel sangat tinggi. Devina yang awalnya senang berkumpul dengan kedua orang tua juga kakaknya, tiba-tiba menjadi lebih asyik mengurung diri di kamar sambil bermain ponsel. Bahkan tak jarang, Brian melihat Devina yang senyum-senyum sendiri dengan fokus yang terus tertuju pada ponselnya. Brian sudah curigai jika Devina memiliki kekasih sejak 2 bulan yang lalu, hanya saja, Brian baru bisa mengkonfirmasinya sekarang, lebih tepatnya hari ini, itupun, Brian tidak bisa mengkonfirmasinya secara langsung, tapi lewat supir pribadi Devina, Markus. Padahal, sebelum Devina memasuki bangku kuliah, Brian sudah menasehati Devina agar fokus kuliah, dan tidak menjalin hubungan asmara. Tapi ternyata Devina malah mengabaikan nasehat Brian. Brian jelas kesal, tapi tak bisa berbuat banyak. Meminta Devina untuk mengakhiri hubungan dengan kekasihnya juga percuma, karena Brian tahu, pasti Devina akan merajuk. Brian akan terus memantau Devina, jika nanti hubungan Devina dengan kekasihnya menganggu fokus Devina dalam belajar, maka Brian terpaksa meminta agar Devina mengakhiri hubungan asmaranya, lalu fokus pada kuliahnya. Dengan seksama, Brian mengamati wajah pria yang menjadi kekasih Devina, dan entah kenapa, perasaan Brian menjadi tidak tenang. "Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain mengawasi Devina secara langsung," gumam Brian sambil menghela nafas panjang. Brian sudah mempunyai pikiran menempatkan pengawal untuk Devian dan Devina sejak beberapa bulan lalu. Ada banyak alasan yang mendorong Brian berpikir seperti itu, salah satu alasan terkuat Brian adalah, Brian tidak mau kejadian di masa lalu kembali terulang, baik itu pada Devian ataupun pada Devina. Apalagi, sekarang Devina memiliki kekasih yang asal usulnya belum Brian ketahui. Brian merasakan firasat buruk ketika melihat bagaimana wajah dari pria yang menjadi kekasih putrinya. Naluri Brian mengatakan bahwa pria tersebut bukanlah pria baik-baik, dan Brian berharap kalau nalurinya salah. Jadi, setelah Brian pikirkan secara matang-matang, memang akan jauh lebih baik jika kedua anak kembarnya menggunakan pengawal pribadi. Tak lama kemudian, panggilan Brian tersambung. "Ada apa?" "Gue butuh bantuan lo, Luc." "Bantuan apa? Langsung ke intinya aja. Gue sibuk." Brian terkekeh, sedangkan Lucas, pria yang Brian hubungi malah mendengus. "Gue butuh pengawal, Luc." "Pengawal? Pengawal untuk siapa?" Lucas bertanya penuh kebingungan. "Untuk Devian sama Devina, terutama untuk Devina." "Brian, lo sudah mendiskusikan masalah ini dengan Devian dan Devina?" "Belum, karena gue tahu apa jawaban mereka kalau gue terlebih dahulu berdiskusi dengan keduanya." "Lo yakin dengan keputusan lo?" "Yakin, Luc. Asal lo tahu, ada alasan kuar kenapa gue memutuskan untuk menempatkan pengawal bagi Devian dan Devina. Tapi gue gak mau cerita sekarang, kan lo lagi sibuk." Lagi-lagi Lucas mendengus, dan Brian tertawa. "Lo butuh berapa orang?" "Kurang lebih 5 orang, dan gue mau, salah satu pengawal Devina nantinya adalah Dean Alexius Ivander, bisa?" "Dean?" Ulang Lucas memperjelas. "Iya, Dean. Bisa, kan?" Lucas diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Brian. Lucas sedang berpikir, haruskah melepas Dean untuk menjadi pengawal Devina, atau tetap menjadikan Dean sebagai pengawal pribadinya? "Lucas, lo masih di sana?" Brian akhirnya menegur Lucas ketika tak kunjung mendengar suara Lucas. "Iya." Lucas menyahut singkat, lalu terdengar menghela nafas panjang. "Lo tahu sendiri kalau Dean adalah salah satu pengawal terbaik yang gue miliki." "Justru karena gue tahu kalau dia adalah salah satu pengawal terbaik yang lo miliki, makanya gue mau dia jadi salah satu pengawal Devina. Gue yakin, Dean bisa menjaga Devina dengan baik." "Baiklah, gue setuju," lirih Lucas pasrah. "Bagaimana dengan sisanya?" "Tolong lo pilih sendiri deh." Untuk 4 orang pengawal yang lainnya, Brian akan mempercayakan Lucas untuk memilihnya sendiri. Bagi Brian, yang terpenting adalah, salah satu pengawal Devina nantinya adalah Dean Alexius Ivander. "Ok, sisanya akan gue pilih sendiri." "Kapan mereka siap untuk bekerja?" "Siang ini, gue akan langsung kirim mereka semua ke tempat lo. Jadi lo bisa langsung ketemu sama mereka untuk memberi pengarahan. Mungkin, mulai besok, mereka siap untuk bekerja, mengawal Devian dan Devina, terutama Devina." Senyum di wajah Brian mengembang, senang dengan jewaban yang baru saja Lucas berikan. "Ok, terima kasih banyak, Luc." "Sama-sama." Selesai berbincang dengan Lucas, Brian keluar dari kamar, mencari di mana istrinya berada. Brian akan memberi tahu Brianna jika mulai besok atau besok lusa, Devian dan Devina akan mengunakan pengawal pribadi. Brian tidak akan memberi tahu Brianna tentang Devina yang memiliki kekasih, masalah itu akan Brian simpan sendiri, dan Brian juga sudah meminta agar Markus tutup mulut. Brianna sedang duduk santai di kursi yang berada di taman belakang. Brianna menyadari kehadiran Brian, lalu dengan gerakan tangan, meminta agar sang suami duduk di sampingnya. "Selamat pagi, Sayang." Brian mengecup bibir Brianna, dan Brianna balas mengecup bibir Brian sesaat setelah membalas sapaan Brian. Alih-alih duduk di samping Brianna, Brian malah duduk di belakang sang istri. "Sayang." "Hm." "Mungkin mulai besok lusa, ke mana pun, Devian dan Devina pergi, akan di temani oleh pengawal, terutama Devina." "Dad, kamu benar-benar ingin melakukan hal itu?" Brianna menatap Brian dengan raut wajah serius. 2 minggu yang lalu, Brian sudah memberi tahu Brianna, orang tuanya, juga orang tua Brianna tentang rencananya yang ingin menggunakan pengawal, baik itu untuk Devian ataupun untuk Devina. Mereka semua setuju dengan rencana Brian, dan percaya kalau apa yang Brian lakukan sudah sangat tepat. "Iya, Sayang." Brian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Brianna, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Brianna yang memabukkan. Aroma yang sejak dulu selalu menjadi aroma kesukaannya. "Devian pasti tidak akan keberatan, tapi Devina pasti tidak akan setuju," lirih Brianna dengan raut wajah masam. "Dan Daddy sama sekali tidak butuh persetujuan dari Devian ataupun Devina." "Iya, Mommy tahu." Brianna sama sekali tidak berniat untuk merubah keputusan Brian, karena sebenarnya, ia juga setuju dengan rencana Brian. Brianna akan merasa jauh lebih aman jika Devian dan Devina menggunakan pengawal. "Devian belum turun?" "Belum, paling sebentar lagi juga turun." Hari ini, hanya Devina yang pergi kuliah, sementara Devian tidak kuliah karena sedang libur. "Baguslah kalau Devian belum turun, kita bisa bermesraan terlebih dulu." Brianna mendengus, sedangkan Brian malah tertawa. *** Sama seperti hari-hari sebelumnya, hari ini di kediaman keluarga Jhonson sangat ramai. Bukan ramai karena ada banyak tamu yang datang, tapi ramai oleh teriakan dari Devina. Seperti biasa, setelah bangun dari tidur siangnya, Devina akan mencari di mana keberadaan sang Mommy, Brianna. Cara cepat mencari Brianna adalah dengan berteriak, karena itulah, sejak keluar dari lift, Devina sudah beteriak memanggil Brianna yang tak kunjung menyahuti teriakannya. "Mommy!" Untuk ketiga kalinya Devina berteriak, teriakannya kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya. Sejak pertama kali Devina berteriak, Brianna sudah mendengarnya. Tapi Brianna memilih diam, tidak menyahuti panggilan dari putri semata wayangnya tersebut. Setiap hari, Devina akan berteriak mencari Brianna. Devina akan berteriak ketika akan pergi kuliah, yang artinya sesaat sebelum sarapan, ketika pulang dari kuliah, dan ketika bangun tidur siang di hari libur. Devina tidak akan berteriak ketika sedang sakit, dan saat itulah, semua orang sangat merindukan teriakan Devina, termasuk Brianna. Mereka semua terbiasa mendengar teriakan Devina, jadi merasa kehilangan ketika tidak mendengarnya. Saat ini Brianna berada di ruang tamu, bersama dengan sang suami, Brian. Brian dan Brianna sedang mengobrol, membicarakan tentang masa depan kedua anak kembar mereka, Devian dan Devina. Brian mengecup pelipis Brianna, lalu meminta agar sang istri segera memberi tahu di mana posisi mereke saat ini pada Devina yang masih saja berteriak. Jika saja tenggorokannya sedang tidak sakit, sejak tadi pasti ia sudah membalas teriakan Devina. "Sayang, kasihan Devina. Nanti pita suara dia rusak karena keseringan berteriak." Brianna terkekeh, lalu membalas teriakan Devina, memberi tahu Devina di mana posisinya saat ini. Begitu tahu di mana posisi Brianna, Devina segera pergi menuju ruang tamu. "Mommy!" Devina kembali berteriak, kali ini menyalurkan rasa kesalnya karena ia yakin kalau sejak tadi, Brianna sudah mendengar teriakannya, tapi pura-pura tidak mendengarnya. Brian dan Brianna tahu kalau Devina pasti akan berteriak, karena itulah sebelum Brianna berteriak, pasangan suami istri tersebut sudah terlebih dahulu menutup telinga mereka dengan telapak tangan. Devina menghentakkan kakinya, dengan tangan bersedekap, juga raut wajah yang sangat masam. Devina menghampiri kedua orang tuanya, lebih tepatnya menghampiri Brianna. Devina melepas kedua tangan Brian dari pinggang Brianna, lalu ia segera memeluk Brianna, menggantikan Brian. Brian mendengus, sedangkan Brianna tertawa. Brian mencoba melepas pelukan Devina dari pinggang Brianna, karena ia ingin kembali memeluk sang istri. Devina tentu saja tidak mau melepaskan pelukannya, malah meminta agar Brianna balas memeluknya. Brian dan Devina memang sering berebut untuk memeluk Brianna. Devian yang baru saja memasuki ruang tamu hanya bisa menggeleng saat melihat Brian dan Devina yang memperebutkan Brianna. Ini bukan kali pertama Devian melihat perebutan antara Brian dan adiknya, Devina. Tapi tetap saja ia bingung, kenapa Brian tidak pernah mau mengalah dengan Devina? Padahal setiap malam, Brian selalu bisa memeluk Brianna. "Dad, hari ini kita akan pergi ke mana?" Biasanya, jika hari libur tiba, mereka akan pergi berkunjung ke kediaman Kakek dan Nenek dari kedua orang tuanya. Jadi, Devian ingin tahu, ke mana mereka akan pergi? Pertanyaan yang Devian ajukan berhasil menghentikan keributan yang terjadi antara Brian dan Devina, yang tentu saja di menangkan oleh Devina. Atensi Brian tertuju pada Devian yang duduk tepat di hadapannya. "Hari ini kita tidak akan pergi ke mana pun, Kak. Hari ini kita di rumah saja, istirahat." "Kita tidak akan berkunjung ke rumah Kakek dan Nenek?" "Kakek dan Nenek kalian sedang double date. Jalan-jalan ke luar negeri." "Kakek dan Nenek jalan-jalan ke mana, Dad?" Devinalah yang bertanya dengan penuh semangat membara. Devina ingin tahu, ke mana pergianya Charles, Williams, Liana, dan juga Pauline. "Ke Dubai, dan mereka akan berada di Dubai selama 2 minggu." "Ih, kenapa enggak bilang dulu sama Devina kalau mereka mau pergi jalan-jalan ke Dubai?" Devina merajuk, kesal karena baru tahu kalau mereka semua sedang pergi jalan-jalan ke Dubai. "Daddy yang melarang mereka untuk memberi tahu kamu kalau mereka akan pergi ke Dubai." Brian menyahut santai. "Ih! Kenapa?" Devina semakin merajuk. "Daddy takut kalau kamu ingin ikut pergi ke Dubai bersama mereka." Devina sontak tersenyum begitu mendengar jawaban Brian. "Kok Daddy tahu sih?" "Tentu saja, kamu kan anaknya Daddy." "Pantas saja Kakek dan Nenek tidak bisa dihubungi," gumam Devian yang masih di dengar dengan jelas oleh Brian. "Iya, mereka masih dalam perjalanan." "Oh begitu," lirih Devina sambil mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh, iya, ada hal penting yang ingin Daddy bicarakan dengan kalian berdua." Brian menatap Devian dan Devina secara bergantian. Raut wajah Brian sangat serius, membuat Devina deg-degan, lain halnya dengan Devian yang terlihat santai. "Apa itu, Dad?" Kali ini Devian sudah terlebih dahulu bertanya. Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang juga ingin Devina ajukan. "Mulai besok, akan ada 3 pengawal yang menemani kamu pergi, ke mana pun." Fokus Brian tertuju pada Devina itu artinya apa yang baru saja pria itu ucapkan untuk Devina, bukan Devian. "Daddy berbicara pada siapa? Devina apa Kak Vian?" Devina menunjuk dirinya terlebih dahulu sebelum akhirnya menunjuk Devian. "Sama kamu, Sayang." Raut wajah Devina berubah dalam sekejap. "Tadi Daddy bilang apa?" "Mulai besok, akan ada 3 pengawal yang menjaga kamu." "Pengawal?" "Iya, Sayang." "Enggak mau!" Tanpa mau banyak berpikir, Devina menolak dengan tegas. "Daddy tidak meminta pendapat kamu little girl." Brian kembali bersuara, kali ini jauh lebih tegas dari sebelumnya. Devina mengalihkan pandangannya pada Brianna, meminta agar Brianna mau membantunya. "Mom, tolongin Devina. Devina tidak mau pakai pengawal." Devina tidak mau ada pengawal yang menjaganya, mengikutinya ke mana pun ia pergi. Pasti gerak-geriknya sangat terbatas, tidak akan bisa lagi sebebas sebelumnya. Devina yakin, kalau tugas para pengawal nantinya bukan hanya untuk menjaga ataupun melindunginya, tapi juga untuk melaporkan segala kegiatannya pada sang Daddy. Hanya dengan membayangkannya saja sudah berhasil membuat kepala Devina pusing. "Mo–" "Keputusan Daddy mutlak! Tidak bisa di ganggu gugat, sekali pun oleh Mommy, ataupun oleh oleh Kakek dan Nenek. Jadi, kamu harus patuh pada Daddy." Brianna belum selesai berbicara, tapi Brian sudah terlebih dahulu menyela. "Daddy, Devina sudah besar. Jadi Devina tidak perlu memakai pengawal." Devina masih mencoba untuk menolak, kali ini berbicara dengan sangat pelan, tapi Devina yakin kalau Brian masih bisa mendengar ucapannya. "Justru karena kamu sudah besar, makanya Daddy menempatkan 3 pengawal untuk kamu. Daddy tidak mau kamu bergaul dengan sembarang orang sampai akhirnya kamu salah dalam bergaul." Devina menghela nafas penjang, sadar kalau ia tidak bisa menolak. Meskipun ia menolak, Brian pasti akan tetap menempatkan pengawal untuknya. "Apa Kak Vian juga akan menggunakan pengawal?" Devina menunjuk Devian yang ada di hadapannya. Brian mengangguk. "Tentu saja, tapi Kak Vian hanya menggunakan 1 pengawal, tidak seperti kamu yang akan di temani oleh 3 pengawal." "Kak Vian 1 pengawal, lalu kenapa Devina harus 3 pengawal? Apa itu tidak terlalu banyak?" Devina ingin tahu apa alasan ia menggunakan 3 pengawal, sedangkan sang Kakak hanya 1 pengawal. "Pertama, karena kamu perempuan. Kedua, karena kamu tidak jago bela diri. Kamu tidak bisa melindungi diri kamu sendiri, berbeda dengan Kak Vian yang bisa melindungi dirinya sendiri, karena sejak kecil, Kak Vian sudah berlatih bela diri." Sejak usia 5 tahun, Devian sudah belajar bela diri, dan itu kemaun dari diri Devian sendiri. Sampai saat ini Devian juga masih sering melakukan latihan bela diri bersama dengan pelatihannya uang dipilih secara langsung oleh Lucas. "Kenapa sih harus pakai pengawal segala?" Devina akhirnya mengeluh, masih belum bisa menerima kalau mulai besok, akan ada 3 pengawal yang menemaninya. Brian menatap lekat Devina. "Apa kamu tidak tahu apa tugas para pengawal, sampai Daddy harus menjelaskan apa saja tugas mereka?" Devina sontak menggeleng. "Tidak usah, Dad. Devina sudah tahu apa saja tugas mereka," jawabnya lirih. "Baguslah kalau begitu." Devina pamit undur diri, dan Brianna sama sekali tidak mencegah kepergian Devina. Devina sudah kembali ke kamarnya. Jadi saat ini hanya ada, Brian, Brianna, dan juga Devian. "Kakak keberatan?" Bukan Brian yang bertanya tapi Brianna. Wanita yang berstatus sebagai Ibu dari Devian dan Devina tersebut bertanya dengan lemah lembut. "Kakak sama sekali tidak keberatan, Mom. Kakak yakin, pasti Daddy mempunyai alasan yang kuat sampai akhirnya Daddy memutuskan untuk menempatkan pengawal untuk Kakak dan Devina." Senyum di wajah Brian dan Brianna terbit, senang karena Devian mau mengerti apa maksud Brian menempatkan pengawal. "Percayalah, Daddy melakukan itu semua karena Daddy, dan tentu saja semua orang tidak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kalian berdua." "Iya, Dad. Kakak tahu." "Tentang Devina, Daddy tenang saja. Cepat atau lambat, dia akan terbiasa. Semua hanya masalah waktu, Dad." Brianna yakin pasti saat ini Brian merasa sedih karena ternyata Devina tidak memberi respon seperti apa yang Brian harapkan. Brian memeluk Brianna. "Iya, Mom. Daddy tahu, ini hanya masalah waktu." "Mommy akan melihat Devina, kalian lanjut saja mengobrolnya." Brianna lantas pamit undur diri, jadi sekarang hanya ada Brian dan Devian. "Dad, boleh Devian bertanya?" "Tentu saja boleh, bertanyalah." "Apa para pengawalnya sudah tua? Atau masih muda?" "Mereka berusia di bawah 30 tahun, rata-rata usia mereka adalah 27 tahun. Kenapa, Kak?" Perasaan Devian lega begitu mendengar jawaban Brian. "Baguslah kalau begitu." "Memangnya kenapa, Kak?" "Devina pasti tidak akan mau kalau pengawalnya orang yang sudah tua, Dad. Tapi kalau mereka masih muda, Devina pasti mau." Brian sontak tertawa. "Kamu tenang saja, mereka masih muda, dan mereka sangat tampan." "Baguslah kalau begitu. Tapi, apa mereka jauh lebih tampan dari Devian, Dad?" Brian terkekeh, lalu menggeleng sambil menatap Devian dengan raut wajah menilai. "Entahlah, tapi sepertinya ada yang lebih tampan dari kamu." Raut wajah Devian berubah masam, dan perubahan yang terjadi pada raut wajah Devian tak lepas dari pengamatan Brian. "Apa mereka akan mengenakan pakaian seperti para pengawal yang lainnya, Dad? Menggunakan jas serba hitam?" "Senyamannya kalian saja. Kalau memang kamu dan Devina merasa tidak nyaman saat melihat mereka mengenakan pakaian serba hitam, maka kalian bisa meminta mereka agar mereka mengenakan pakaian biasa. Daddy tidak akan melarang kalian untuk merubah penampilan mereka, tapi kalian juga tidak boleh kelewatan ya. Kalian juga harus membuat mereka merasa nyaman." "Ok, Dad. Kalau Devian sama sekali tidak masalah jika memang nanti pengawal Devian ingin mengenakan pakaian serba hitam, tapi sepertinya Devina tidak menyukainya." Devian tahu betul kalau Devina sangat tidak menyukai warna hitam. "Kita lihat saja besok, bagaimana respon adik kamu nantinya." "Oh iya, mereka mulai bekerja besok pagi ya?" "Iya, mereka akan bekerja besok pagi." "Boleh Devian bertemu dengan mereka semua?" Devian ingin melihat bagaimana wajah dari para pengawalnya dan Devina, terutama para pengawal Devina. "Tentu saja boleh. Bagaimana kalau malam ini kita mengunjungi mereka? Kamu mau?" "Tentu saja mau. Memangnya mereka ada di mana, Dad?" "Sekarang mereka masih tinggal di markas besar, tapi mulai besok, mereka akan pindah ke mansion dan tinggal bersama dengan kita." "Tinggal bersama dengan kita?" "Iya, mereka akan tinggal bersama dengan kita. Kenapa? Apa kamu tidak setuju dengan pilihan Daddy?" Jika Dengan cepat, Devian menggeleng. "Devian setuju, Dad." "Daddy sudah bertemu dengan mereka semua?" "Sudah, kemarin. Daddy juga sudah memberi pengarahan pada mereka semua tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan." "Apa Daddy juga sudah memberi tahu para pengawal Devina tentang trauma masa lalu Devina?" "Bagaimana menurut kamu, Kak? Apa Daddy harus memberi tahu para pengawal Devina tentang trauma masa lalu Devina?" Tanpa rasa ragu, Devian mengangguk. "Menurut Kakak, sebaiknya Daddy juga memberi tahu mereka tentang trauma masa lalu Devina agar mereka tidak terkejut jika tiba-tiba trauma Devina muncul." Brian menghela nafas panjang. "Baiklah, besok, Daddy akan memberi tahu mereka." Devina pernah mengalami insiden penculikan ketika usianya masih 5 tahun. Sejak saat itulah, Devina tidak suka berada di ruangan sempit sekaligus gelap gulita, apalagi jika di tambah dengan suara petir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD