"Mbak El, bisa pulang sekarang?"
Kening Elara langsung berkerut. Ia melirik jam tangannya—pukul tiga sore—sambil menjawab, "Mbak masih kerja, lho, By. Ada apa, sih?" rungutnya.
Sebagai salah satu karyawan teladan—tentu saja ini hanya pengakuan sepihak, ia tidak bisa pulang seenak jidatnya. Bulan depan atasannya berjanji memberikan promosi jabatan. Elara tidak ingin kinerjanya tercoreng.
"Ck! Pokoknya Mbak segera pulang. Kami tunggu!"
"Kami? Eh, By—" Elara menatap ponselnya. Panggilan tersebut telah ditutup adiknya dengan semena-mena. Dasar nggak sopan!
Sampai setengah jam kemudian, batin Elara tidak tenang. Beberapa kali ia salah memasukkan data ke dalam kolom spreadsheet. Elara memutuskan menyimpan pekerjaannya untuk dilanjutkan esok hari, lalu menemui atasannya dan meminta izin pulang lebih cepat.
***
Hampir setengah jam Elara lalui dengan berkendara. Ia sampai di rumah pukul tiga sore. Di halaman terparkir sebuah CRV putih yang sangat ia kenal. Elara tersenyum tipis.
Ada Beno rupanya?
Dengan mengulum senyuman senang, Elara bergegas masuk ke rumah. "Ben? Katanya baru pulang minggu depan? Kok—"
Cerocosan El terputus begitu melihat Beno, pacarnya, duduk dengan raut kaku, tegang tanpa senyuman. Sisi kanan pipi laki-laki itu bengkak seperti bekas terkena pukulan. Ditambah lagi kehadiran kedua orang tua Beno di samping laki-laki itu. Keduanya sama-sama menunduk. Tepat di hadapan Beno, duduklah ayah Elara. Di sebuah sofa terpisah ujung ruang tamu, tampak Tira, kakak sulung Elara memainkan kuku cantiknya. Sementara Arby, adiknya, berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan terkepal.
"Om? Tante?" sapa Elara pada kedua calon mertuanya. "Sudah lama?"
Ayah Beno tersenyum kaku. "Sudah cukup lama, El."
"Maaf, tadi aku—"
"Duduk, El," sela ayah Elara tak sabar.
Elara menurut. Ia duduk di sebuah sofa yang tersisa. Arby ikut merangsek di sampingnya, memaksa Elara menggeser bokongnya sedikit. Arby meremas bahu kanan Elara. Perempuan itu meringis. "Sakit, By. Kamu kenapa, sih?" bisiknya.
Ayah Elara berdeham. "Beno dan orangtuanya datang kemari untuk melamar—"
"Tunggu! Melamar?" potong Elara kaget. "Ben, bukannya ini di luar rencana kita? Maksudku—"
"Beno datang bukan untuk melamarmu, Elara!" bentak sang ayah tidak sabar. "Dia datang untuk melamar kakakmu!"
Ruang tamu seketika hening. Detak jarum jam terdengar melambat. Remasan Arby di bahu Elara mengencang. Anehnya, Elara tidak merasakan sakit. Hanya wajahnya yang memucat.
"Ma–maksudnya ... ba–bagaimana?" Elara tergagap beberapa detik kemudian. Bola matanya bergerak liar menyapu semua orang. "Aku nggak ngerti, ini ... kenapa?"
"Tira hamil, Mbak," sela Arby tanpa embel-embel 'Mbak' di depan nama Tira.
"Lalu? Apa hubungannya dengan Beno?"
"Tira hamil anaknya Beno."
Bagaikan petir di siang bolong menyambar Elara. Detak jantungnya seperti dipaksa berhenti. Dadanya sesak dan seketika menghirup udara terasa menyakitkan. Pelan-pelan ia menepuk kupingnya, memastikan dirinya tidak salah dengar. "Nggak mungkin!"
Ini bukan mimpi, kan?
"Ta–tapi, By, Beno itu calon suami aku!" racau Elara. Gemetar ia meremas tangan Arby. Kini adik laki-lakinya itu yang terlihat meringis. "Ini–kamu bercanda, kan, Ben? Kamu nge–prank? Nggak lucu!"
"Sadar, Mbak!" desis Arby menahan marah. "Ini kenyataan. Beno nggak pantas menjadi suami Mbak. Sampah sepantasnya memang berakhir di tempat sampah!"
"Arby!" bentak Tira dengan mata melotot. "Kamu—"
"Apa?" tantang Arby membalas Tira. Ia berdiri dan melepaskan tangan Elara. "Kau itu memang sampah! Kelakuanmu kayak lonte!" tunjuknya kasar.
"Arby! Tutup mulutmu!" sanggah sang ayah berang ikut berdiri.
"Oh, belain terus anak kesayangan Papa!" balas Arby tak kalah sengit. "Dia tidur dengan calon suami adiknya sendiri. Apa sebutan yang pantas kalau bukan lonte?"
"Maaf, ini kesalahan saya," sela Beno memutus kegaduhan.
"Kau memang salah, bangsat!" Arby balas menunjuk Beno yang menyela ucapannya. Ia menahan diri untuk tidak melayangkan bogeman sekali lagi kepada Beno. "Laki-laki yang tidak pandai menjaga integritasnya dengan cara meniduri kakak calon istrinya sendiri tak patut kusebut laki-laki. Pakai rok saja kau sana!"
Elara termangu. Tak sedikit pun air mata mengalir di pipinya. Saking syoknya, ia hanya bisa melirik pada Tira yang balas menantangnya dengan tatapan seperti biasa. Tatapan sinis yang menyemburkan racun berbisa dalam satu kali hunus.
"Kenapa harus Beno, Ti?" bisik Elara pedih. "Kenapa harus Beno yang lo ambil dari gue?" Dadanya kian sesak. Lalu tanpa disadari, tangisnya meledak. "Ini nggak adil. Kenapa harus Beno? Gue nggak punya siapa-siapa kecuali Arby dan Beno. Kenapa harus Beno? Apa sebenarnya dosa gue ke elo?"
"Mbak, tenang." Arby merengkuh bahu Elara erat-erat. "Kita ke kamar, yuk."
"El, maafin aku," Beno berlutut di depan Elara dan berusaha meraih jemari perempuan itu. "Maafin aku, El. Maaf."
"Kenapa jadi kayak gini, Ben? Aku salah apa? Aku kurang apa?" rintih Elara pedih. Bingung, ia menatap Beno. Laki-laki itu hanya bisa menunduk dengan mata merah.
Hubungannya dengan Beno baik-baik saja. Mereka berencana menikah dalam enam bulan ke depan, bahkan sudah memesan cincin serta membayar WO segala. Kini, tiada angin tiada hujan, tiba-tiba badai itu memporak-porandakan dirinya tanpa persiapan apa pun. Beno–nya adalah pria paling baik hati setelah Arby yang ia punya. Mengapa Beno sedemikian tega?
Satu lagi, mengapa harus Tira?
"Kamu nggak salah apa-apa." Beno menggeleng. "Aku yang khilaf. Maaf."
Arby berdecak sinis. Dengan merenggutkan tangan Elara, pertautan dua sejoli itu pun terlepas paksa. Bukan hanya Elara yang hancur, Arby pun sama. Hubungannya dengan Beno sudah seperti saudara kandung saking dekatnya.
Dengan tersaruk-saruk Elara mengikuti Arby yang menyeretnya ke kamar. Langkahnya terasa sangat berat.
Namun beberapa saat kemudian, saat Elara menengok ke samping, kepedihan dan amarah yang tadinya digulung oleh kebingungan itu meledak melihat Tara menyembunyikan seringaian puas di sudut bibirnya.
Elara seakan-akan diberi kekuatan dahsyat. Ia merenggutkan tangan Arby. Secepat kilat ia berlari ke arah Tira, merenggut kerah blusnya, kemudian ia melayangkan tangannya sekuat tenaga ke pipi perempuan itu.
Tira terpekik kesakitan.
Belum sempat orang-orang tersadar dari kebingungan, Elara mendaratkan tangannya berkali-kali, membabi buta. "Puas lo, hah? Puas lo ngambil semuanya dari gue?!" pekiknya.
"Sakit!" pekik Tira. Pipinya merah. Darah mengalir di sudut bibirnya. "Papa tolong!"
"El, sudah El!" Beno berusaha menarik pinggang Elara.
"Jangan sentuh gue!" bentak Elara. "Najis gue disentuh sama laki-laki busuk kayak elo!"
Beno mundur seketika dengan raut terluka.
"Apa dosa gue ke elo, hah?! Kenapa lo ambil semuanya dari gue?!" pekik El menjambak rambut Tira. Perempuan itu terpaksa mendongak. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Elara. Ia kembali menghunjamkan telapak tangannya ke pipi mulus Tira.
Tira menahan sakit sambil menyeringai sinis. Ia berupaya membalas tapi tak punya tenaga. "Ini belum seberapa, El. Belum seberapa," bisiknya.
"El, cukup!" bentak sang ayah berusaha memisahkan kedua putrinya.
Elara terjerembab ke lantai. Tenaganya lenyap. Air matanya bersimbah.
Ia pernah menganggap bila suatu hari nanti dirinya kehilangan Beno, dirinya tidak akan apa-apa. Bisa jadi karena hubungan mereka sudah berjalan begitu lama membuat rasa itu kian terasa biasa. Mengalir seperti air.
Namun, benarkah kandasnya kisah cinta itu rasanya biasa-biasa saja? Nyatanya tidak. Kehilangan Beno adalah salah satu episode terburuk dalam hidupnya.
Luka karena pengkhianatan adalah rasa sakit terhebat di dunia!
***
Hai haii....
Kita ketemu lagi, Gaes. Kali ini cerita mainstream aja yah, hihihihi ??
Seperti biasa nitip prolog dulu, isinya kapan-kapan ?♀️?♀️