3. Kenangan Yang Terus Terlintas

1645 Words
Desah napas menyatu di kamar yang hanya berukuran tiga kali tiga meter itu, suara kecupan beradu dengan penyatuan kulit yang terdengar senada, tertutup selimut tipis yang membuatnya hanya tampak seperti onggokan yang terus bergerak. Derit ranjang seirama dengan gerakkan dua insan yang memadu kasih penuh gairah di atasnya. “Aku sampai ... aku sampai,” ujar sang pria diikuti lenguhan panjangnya. “Aku juga,” balas sang wanita, lalu ketika selimut itu tersibak sang pria menelusupkan wajah di ceruk leher wanitanya, sementara wanita itu mengerucutkan bibirnya dan memutar bola matanya malas. Anetta, selama mengenal Tharik hanya berpura-pura merasa terpuaskan, bagaimana dia bisa mendapat kepuasan? Pria itu selalu melakukan langsung ke intinya tanpa foreplay yang cukup, bahkan tidak sampai dua menit dia akan memuntahkan lahar hangatnya, dan demi kestabilan finansial, Anetta harus berpura-pura menikmatinya. “Besok belanja sendiri ya sayang, aku transfer aja, mau istirahat capek banget dari Jakarta,” ungkap Tharik sambil menarik tubuhnya terlepas dari Anetta. Hari sudah hampir pagi ketika mereka check in di hotel kecil yang berada tepat di samping karaoke room tempat kerja Anetta. “Iya, Sayang, nanti aku kirim foto parfum yang aku beli ya,” ucap Anetta. Tharik menjawil pucuk hidungnya dan tersenyum lebar. “Iya gitu dong, senyum,” ucap Tharik. “Punya kamu enak banget sih, jadi pengen terus,” goda Anetta membuat Tharik besar kepala. “Nanti lagi, ya, aku pulang sudah pagi,” ucap Tharik. “Ihhh tunggu dulu sebentar,” rayu Anetta menarik Tharik dalam pelukannya hingga keduanya kembali saling b******u meski matahari mulai muncul ke peraduan. Sementara itu, di rumah yang didominasi warna putih. Aura memandang halaman parkir berkali-kali. Sudah semalaman Tharik tidak pulang, sebentar lagi mungkin Zoya akan bangun. Dan benar saja dugaan Aura, gadis mungil itu keluar dari kamarnya, dengan memakai baju tidur model terusan berwarna biru. Satu tangannya memegang lengan boneka pandanya yang sudah setia menemani sejak dia kecil. “Mama,” panggil Zoya, menghampiri Aura yang menatap jendela. Aura langsung berjongkok dan tersenyum lebar. “Selamat pagi, anak mama yang cantik,” ucap Aura merapikan rambut Zoya. “Mau minum s**u?” tanya Aura. Zoya mengangguk. Aura pun berdiri, menggandeng tangan putrinya menuju dapur. Sepintas orang akan melihat bahwa dia adalah wanita beruntung, sudah memiliki rumah, kendaraan pribadi dan suami yang bisa dibanggakan. Namun ... yang terjadi hanyalah sebuah kehampaan, bahkan dia sangat jarang disentuh oleh suaminya. Terkadang di malam-malam sepinya, Aura hanya bisa menyentuh tubuhnya sendiri yang merasa begitu dahaga. Dia juga mendambakan memiliki adik untuk Zoya, agar hidupnya tidak terlalu terasa sepi, akan tetapi saat dia melihat Zoya yang kekurangan kasih sayang, membuatnya urung. Dia tak mau menghadirkan anak lagi tanpa kasih sayang dari ayahnya. Sosoknya ada, tapi tidak dengan perannya. Aura bisa mendengar decit rem kendaraan roda empat di depan rumahnya, itu pasti Tharik, pikirnya. Setelah memberikan Zoya segelas s**u, dia pun berjalan ke depan, menyambut suaminya seperti biasa. Tharik memandangnya dari atas ke bawah, penampilan Aura memang tak bisa diselamatkan. Dia memang tampak rapih dengan blouse putih dan celana bahan itu. Namun, dia sangat tidak seksi. Beberapa bagian tubuhnya bahkan nyaris rata membuat Tharik tidak b*******h sama sekali, berbeda dengan Anetta yang seksi dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Mas, mau mandi dulu, atau mau sarapan? Aku sudah masak sop ayam dan juga sambal ati ampela mas—“ “Aku mau tidur,” potongnya sambil berjalan dan meninggalkan istrinya. Zoya menatap ayahnya, mengulurkan tangan seperti meminta dipeluk, namun Tharik mengabaikannya begitu saja dan langsung masuk kamar. Suara pintu kamar yang tertutup membuat Zoya mencebikkan bibirnya hampir menangis. “Sayang, kan ada mama. Papa pasti lagi capek karena baru pulang kerja,” ucap Aura memeluk Zoya. Zoya menahan tangisnya dan mengangguk. Aura berusaha membujuknya, “sekarang Zoya mandi, terus kita makan di taman ya,” ucap Aura. “Asikkk, ayo mandi!!” ujar Zoya yang langsung riang mendengar ajakan ibunya. Aura tersenyum, hanya Zoya saat ini yang membuat hidupnya bersemangat. Dia pun memandikan putrinya, memakaikan pakaian yang bagus. Dia juga menyiapkan kotak makanan untuk putrinya dan berjalan santai bersamanya ke taman yang ada di kompleks perumahan. Beberapa tetangga menyapa mereka dengan ramah, banyak juga orang yang berolah raga di sekitar taman. Ada area gym luar di taman ini berdampingan dengan permainan untuk anak-anak seperti perosotan dan jungkat-jungkit juga permainan lain yang membuat anak-anak betah bermain di taman. Bahkan di dekat taman ada aula yang biasa dipakai untuk warga berkumpul dan mengadakan lomba di hari-hari tertentu. “Lho Zoya sudah pulang? Bukannya kemarin ke Jakarta?” tanya salah satu ibu muda yang seusia dengan Aura, usia anaknya dengan usia Zoya pun sama, mereka bahkan berteman akrab. “Iya hanya dua hari, soalnya ayah Zoya ada urusan,” ucap Aura. “Lho, kan long weekend, kenapa enggak libur lebih lama?” “Biasa lah, dia enggak bisa ninggalin pekerjaannya,” tutur Aura sambil duduk di kursi taman. Sementara Zoya dan temannya sudah berlarian di taman, sesekali mereka menghampiri ibu mereka untuk menyuap makanan. Aura selalu menutupi tentang rumah tangganya, sehingga tak pernah ada yang tahu apa yang terjadi dengan kehidupannya yang sebenarnya. Sekedar duduk di taman seperti ini, memandang orang lalu lalang dan anaknya yang berlarian ceria pun bagi Aura sudah cukup. Bukankah dia yang menginginkan pernikahan dulu? Demi bisa keluar dari rumah ayahnya yang menurutnya seperti penjara. Namun, bukannya keluar, dia seperti hanya pindah saja dari penjara satu ke penjara yang lainnya. Setelah matahari sudah cukup terik, Aura mengajak Zoya pulang. Di rumah dia melihat Tharik yang masih tertidur pulas di kamar, hanya mengenakan kaos singlet, kemejanya sudah terhampar di lantai, begitu juga dengan celana panjangnya. Aura memungutinya satu persatu, dia menatap kerah kemeja suaminya lalu menarik napas gusar. Dia menemukan bekas lipstik. Ini bukan kali pertamanya. Tahun lalu dia pernah menemukannya, namun Tharik jauh lebih marah darinya. Dia berkata bahwa itu hanyalah lipstik dari teman kerjanya yang tidak sengaja jatuh dan menabraknya. Bahkan saat itu Tharik menamparnya. Sejak itu, Tharik bahkan lebih sering melakukan kekerasan jika Aura terlalu menuntut dirinya. Padahal Aura hanya menuntut perhatiannya, tidak hanya untuk dirinya, namun juga untuk Zoya anak mereka. Dia tak segan meremas pergelangan tangan Aura, menariknya ke kamar dan membantingnya begitu saja ke lantai. Aura menggeleng, memegang baju dan celana itu serta membawanya ke mesin cuci, dia sedang tak memiliki energi untuk berantem. Terserahlah apa yang dilakukan Tharik di luar sana. Dia merasa sudah berlepas diri darinya. Melamun adalah hal yang paling sering Aura lakukan beberapa tahun belakangan, dia memegang atas mesin cuci. Menatap mesin yang berputar itu dengan pandangan mata yang kian lama kian mengabur karena air yang menggenang di pelupuk matanya. Jika ... dia bisa lebih sabar menunggu Barra, mungkin ... dia tengah bahagia sekarang. Aura menunduk, membiarkan air matanya tumpah ruah membasahi pipinya. Hatinya sangat sakit kini. Dia mencoba melupakan Barra selama tujuh tahun belakangan. Namun pertahanannya benar-benar runtuh saat melihat Barra kemarin. Dia makin tampan, wajahnya semakin terlihat dewasa, senyumnya tampak begitu menawan dan ... tatapan mata itu, masih sama! Aura berjongkok, menangis tergugu karena mengenang semuanya seperti sebuah kilas balik yang terus menghantamnya dari segala arah. Benar! Wanita dihadapkan pada dua pilihan dalam hidupnya. Menikahi lelaki yang mencintainya, atau menunggu lelaki yang dicintainya melamarnya. Tapi Aura tidak mendapatkan keduanya, dia memilih menikahi lelaki yang siap menikahinya, memberinya banyak hal yang Aura pikir itu cinta, namun ... berakhir dengan menjebaknya pada pernikahan yang tak lebih parah dari neraka. “Mama ... mama nangis?” tanya Zoya yang menghampirinya dan memegang pipi Aura. Aura dengan cepat menyeka air matanya, “maaf sayang, maaf ... mama hanya ingat hal sedih,” ucap Aura memeluk Zoya. “Mama enggak apa-apa?” tanyanya. Bocah lima tahun itu bahkan tampak jauh lebih dewasa dari anak seusianya kini. “Enggak Sayang,” ujar Aura lalu dia mendengar suara langkah kaki seorang, ketika dia menoleh, Tharik sudah berada di belakangnya, menendang mesin cuci yang tengah beroperasi. “Siapkan makan!” perintahnya. Zoya menatap ayahnya dengan mata ketakutan. “Enggak perlu marah-marah, kan?” ketus Aura. Tharik begitu kesal melihatnya, ditarik rambut Aura. “Berani membantah!!” ujarnya. “Papa jahat!!! Papa jangan sakitin mama!!” jerit Zoya sambil memukul-mukul tangan ayahnya. “Sayang, enggak sayang,” ucap Aura menenangkan Zoya. Jambakan Tharik terlepas dari rambut Aura. Wanita itu menggendong Zoya yang menangis dan membawanya ke dapur, entah apa yang diucapkan selanjutnya karena Zoya terlihat sudah tenang dan duduk di dekat mezzanin dapur. Sementara Aura menyiapkan suaminya makan menjelang siang ini. “Zoya, nonton tv aja ya,” ucap Aura sambil menurunkan Zoya, gadis mungil itu berlarian ke ruang televisi. Tharik menarik kursi meja makan dengan kasar dan mengempaskan bokongnya. Aura mulai menata makanan di meja, lalu dia menarik kursi untuk duduk di dekat suaminya. “Mas,” panggil Aura. “Hmmm,” dehem Tharik sambil menyuap makanannya, “Terserah Mas mau marahin aku, kasar ke aku. Tapi please jangan lakukan itu di depan Zoya.” Suara Aura terdengar begitu lemah, begitu pelan dan dihiasi kepasrahan. “Nanti juga dia lupa,” ucap Tharik dingin. Aura hanya menghela napas panjang, dia membalik piring untuknya makan. “Eh mau ngapain?” tanya Tharik. “Makan, aku dari pagi juga belum makan,” jawab Aura. “Jangan makan di sini! Bisa hilang nafsu makanku! Sana pergi yang jauh, kerempeng!” Aura menggeleng tak berdaya dibalik lagi piring itu, dia meninggalkan Tharik yang menikmati makan sendirian sambil memainkan ponselnya. Kini rasa lapar tak lagi menyergap lambungnya, mungkin dia sudah kenyang dengan makian suaminya padanya, mungkin dia sudah kenyang dengan permasalahan hidupnya. Dan ketika dia menatap layar televisi yang menampilkan sosok seorang guru pria yang mengajar bahasa Inggris dengan boneka kesayangannya, air mata Aura lagi-lagi menetes, sosok pria itu mengingatkan Aura pada Barra, dulu Barra kalau marah selalu menggunakan bahasa Inggris, namun dia tak pernah kasar. Dan biasanya justru Aura yang merajuk padanya, lalu dia yang akan meminta maaf meski Aura yang salah. Kini ... adiknya yang akan merasakan itu, ah betapa beruntungnya Leona! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD